Pelaku Usaha Mikro : Sepakat Butuh Toko Bahan Halal

by

Dalam rangka menyambut wajib sertifikasi halal pada produk makanan dan minuman per-2024 di Indonesia, maka LPH-KHT Muhammadiyah berinisiatif untuk memetakan potensi penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) di pelaku usaha pangan mikro, terutama melihat dari aspek kehalalannya.

Wartapilihan.com, Jakarta— Mengapa LPH KHT Muhammadiyah merasa perlu melihat potensi penggunaan BTP pada pelaku usaha mikro terutama untuk aspek kehalalannya?

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, salah satu kendala pelaksanaan proses sertifikasi halal bagi pelaku usaha (PU) Mikro adalah akses untuk mendapatkan jaminan kehalalan produk yang mereka gunakan. Jaminan tersebut adalah sertifikat halal atas bahan-bahan yang digunakan pada produk. Pasalnya untuk penggunaan BTP bukan sebagai bahan utama, sehingga pastilah penggunaan dan pembeliannya tidak dalam jumlah besar.

Konsekuensinya adalah acap produk BTP yang diperoleh oleh PU Mikro merupakan produk repack/kemas ulang, yang jamaknya informasi terkait asal-usul produsennya sering tidak hadir. Ketiadaan informasi ini menyebabkan kendala dalam proses sertifikasi halal produk-produk PU Mikro jamaknya.

Saat ini penggunaan BTP sudah tidak dapat dihindari untuk digunakan di pelaku usaha pangan. Penggunaan BTP di dalam produksi pangan antara lain ditujukan untuk (1) mengawetkan makanan, (2) membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak di mulut, (3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, (4) meningkatkan kualitas pangan dan (5) menghemat biaya.

Aturan penggunaan BTP di Indonesia ditetapkan dan diatur pada per-BPOM No 29 Tahun 2017 untuk pengawasannya , sementara terkait jenis BTP dan jumlah penggunaannya ada di per-BPOM No 11 Tahun 2019 dan khusus untuk perisa terdapat pada per-BPOM No 11 Tahun 2021.
Berdasarkan hal tersebut LPH-KHT Muhammadiyah melakukan survei secara daring terhadap PU Mikro Kecil. Survei tersebut terkait penggunaan BTP secara umum dan pola pembelanjaan PU terhadap ketersediaan BTP untuk keperluan proses produksinya.

Survei dilakukan secara daring dengan menggunakan google form terhadap 185 responden yang berlokasi hampir diseluruh Indonesia. Responden terbanyak berasal dari Jawa barat dengan skala usaha lebih dari 91% adalah kelompok PU Mikro dan sisanya adalah PU Kecil. Pelaku usaha Mikro berdasarkan PP No 7 Tahun 2021 adalah pelaku usaha yang memiliki modal diluar tanah dan bangunan sebesar kurang dari 1 Milyar. Responden dari survei ini memiliki produk yang berupa siap saji, produk kemasan dengan masa simpan yang kurang dari 7 hari (tidak perlu izin edar) dan produk kemasan yang lebih dari 7 hari.
Dari hasil survei, BTP yang paling banyak digunakan adalah perisa, pewarna, pemanis dan pengemulsi. Data hasil survei juga dibandingkan dengan data impor BTP yang diizinkan dan diawasi oleh kompeten otoriti dalam hal ini BPOM.

Data impor tahun 2019 sampai dengan 2022 terkait perisa menunjukkan bahwa kelompok perisa yang diimpor berupa bahan atau senyawa perisa, seperti antara lain, yeast ekstrak, lemon oil serta keju bubuk dan parut. Sementara pemanis merupakan BTP yang juga banyak digunakan oleh PU Mikro dalam survei ini.
PU Mikro dalam survei ini 65,09% membeli BTP dalam bentuk eceran dan kemasan utuh, sedangkan 15,38% dalam bentuk eceran dan grosir dengan kemasan utuh. Selebihnya PU Mikro membeli dalam bentuk grosir dan repack sebesar 1,18% serta ecer dan repack sebanyak 7,1%.

Figure 1 Jenis bentuk kemasan BTP yang sering digunakan

Jumlah BTP yang dibeli oleh PU Mikro dalam survei ini 58,43% dalam jumlah kurang dari 100g, dan 500-1 kg ada sebanyak 12,5%, kemasan sebesar 100-250 g sebanyak 9,64% dan sebanyak 6,63% membeli BTP dalam jumlah 250-500 g.

Figure 2 Jumlah BTP yang sering dibeli tiap jenisnya

Dari pembelian sejumlah BTP tersebut, responden menyatakan bahwa 87,43% informasi terkait dengan BTP didapat secara utuh, 10,18% informasi terkait dengan BTP ada yang tersedia dan tidak, sementara 1,8% BTP yang dibeli oleh PU Mikro dalam survei ini menyatakan informasi terkait BTP tidak lengkap bahkan 0,6% menyatakan tidak tersedia informasi terkait BTP yang mereka beli.

Keju bubuk atau pun parut merupakan bahan yang dari perspektif kehalalan merupakan produk yang beresiko. Dari hasil survei ini, sungguhpun perisa memiliki persentase tertinggi yang dibeli oleh PU Mikro, namun berdasarkan data impor 2019 sampai dengan 2022, bahan perisa yang dimasukkan ke NKRI berupa bahan perisa. Sehingga diduga PU Mikro membeli BTP perisa yang merupakan produk lokal.

Tabel 1. Data impor BTP perisa

Sementara jika kita melihat data impor untuk kelompok pengemulsi, maka kelompok ini sangat mengkhawatirkan. Gelatin merupakan salah satu item dari kelompok pengemulsi yang diimpor. Dari tahun 2019 hingga 2022 menunjukkan tren impor yang meningkat. Dan sudah dapat dipastikan bahwa gelatin yang dijual ke PU Mikro dalam bentuk repack yang boleh jadi tidak memiliki informasi pada kemasannya.

Diperkirakan ada sekitar 6,63% sampai dengan 9,64% PU Mikro membeli BTP dengan jumlah 250 sampai dengan 1 kg. Penggunaan gelatin tidak sebesar penggunaan bahan lain, namun lebih besar dari jumlah BTP perisa.

Tabel 2. Data Impor BTP Pengemulsi

Sumber : Data primer Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022 BPS Statistik Indonesia.

Hal menarik dari survei ini adalah penggunaan pemanis, jika ditinjau dari data impor 2019 sampai dengan 2022, impor pemanis terbanyak adalah sakarin, selain aspartame. Sakarin dapat digolongkan positive list dari segi perspektif kehalalannya. Sementara aspartame memiliki titik kritis kehalalannya dari segi sumber dan proses.

Tabel 3. Data Impor Pemanis

Sumber : Data primer Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022 BPS Statistik Indonesia.

Dari segi harga, maka pemanis sakarin akan jauh lebih murah dibandingkan dengan aspartame. Namun angka impor untuk sakarin juga cukup tinggi dan cendrung meningkat. Penggunaan sakarin sebagai BTP tidak bisa digunakan untuk produk umum. Ada aturan yang ditetapkan terkait jumlah maksimal per kategori produk dan per ADI (Acceptable Daily Intake). Pada per-BPOM No 11 Tahun 2019, Penggunaan BTP Pemanis Buatan seperti sakarin tidak dapat digunakan pada produk Pangan yang khusus diperuntukkan bagi bayi, anak usia di bawah tiga tahun, ibu hamil dan/atau ibu menyusui. Konsekuensinya, penggunaan BTP tersebut haruslah disebut dalam daftar komposisi, untuk memberikan informasi kepada konsumen bahwa produk mengandung pemanis buatan, dan tidak dikonsumsi oleh anak balita dan Ibu Hamil menyusui. Sejauh pengamatan kami, produk produk mikro kecil masih banyak yang belum mengetahui batasan penggunaan pemanis selain gula.

Penguat rasa atau yang disebut masyarakat sebagai MSG merupakan BTP yang juga banyak digunakan oleh PU Mikro dalam survei ini. Kelompok penguat rasa yang terdata dalam catatan impor adalah asam glutamate dan bahkan garam glutamate yaitu MSG. Asam glutamate sebenarnya merupakan bahan yang digunakan untuk pembuatan MSG. Sungguhpun di Indonesia banyak pabrik besar penghasil MSG, namun data impor juga menunjukkan trend meningkat untuk kedua kelompok penguat rasa.

Dari perspektif kehalalan, asam glutamate sebagai bahan pembuat MSG merupakan produk microbial yang memiliki titik kritis kehalalannya.

Tabel 4. Data impor BTP Penguat rasa

Sumber : Data primer Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022 BPS Statistik Indonesia.

Dari ketersediaan informasi yang diperoleh terhadap BTP yang digunakan, ada 10% responden yang tidak memiliki informasi BTP yang dibeli, bahkan ada kurang dari 1% responden tidak mendapatkan informasi yang diperlukan terkait sumber BTP yang mereka gunakan. BTP dari perspektif kehalalan harus ditinjau dari sumber dan proses produksinya. Gelatin merupakan BTP yang dapat berfungsi sebagai pengemulsi atau stabilizer. Gelatin merupakan bahan yang dapat berasal dari sapi, ikan dan babi. Sumber yang digunakan umumnya merupakan bahan sisa dari proses utamanya seperti kulit jangat dan tulang. BTP lain yang memiliki titik kritis kehalalan seperti pengemulsi yang berasal dari asam lemak dan garamnya, gliserol, pewarna alami seperti beta caroten, pemanis seperti aspartam.

Pelaku usaha Mikro sering memiliki masalah jika harus menggunakan salah satu BTP yang mereka perlukan. Masalah tersebut menjadi bertambah rumit jika pemilik toko tidak memiliki kepedulian untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh PU mikro yang mungkin dalam proses sertifikasi halal.

Hasil survei yang dilakukan oleh LPH-KHT Muhammadiyah, menunjukkan hampir 100 persen responden sepakat memerlukan toko bahan halal untuk memenuhi kebutuhan bahan untuk produksi mereka. Tentunya hasil survei terhadap harapan dari responden agar toko bahan halal tersedia, sebenarnya menjadi salah satu fungsi dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan penduduk negeri ini yang mayoritas muslim. Karena halal adalah kebutuhan penduduk mayoritas negeri ini.

Di Eropa, masalah allergen menjadi cukup krusial. Kurang dari 1 persen penduduknya bermasalah dengan bahan bahan allergen, namun pemerintah Uni Eropa mengakomodasi kepentingan masalah allergen ini dengan ketersediaan wajib klaim dari PU yang menggunakan bahan allergen.

Lalu bagaimana pemerintah di NKRI mensikapi kebutuhan halal untuk mayoritas penduduk negeri ini?

Elvina A.Rahayu.MP
General Manager Lembaga Pemeriksa Halal – Kajian Halalan Thayyiban (LPH KHT) Muhammadiyah

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *