PBNU: Peran MUI Sangat Penting, Mempersatukan Ormas pada Dinding Ukhuwah Islamiyah

by

Sebagai tenda besar umat Islam, MUI di usianya yang ke-45 ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus semakin bermanfaat bagi umat dan bangsa.

Wartapilihan.com, Jakarta – Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar menuturkan, sebagai wadah ulama, zuama, dan cendekiawan muslim, MUI memiliki peran sangat penting. Utamanya dalam menjalankan perannya sebagai melting pot, titik temu, rumah besar umat Islam yang terdiri dari banyak kamar namun disatukan dengan dinding ukhuwah Islamiyah.

Menurut dia, MUI selama ini telah menjalankan peran sebagai majlis ini dengan baik. Komitmen ukhuwwah Islamiyyah inilah yang menjadi titik temu dalam warna warni organisasi ke-Islaman di Indonesia.

“Dan saya melihat MUI telah menjalankan fungsi ini secara sangat baik. MUI telah memfungsikan dirinya sebagai majlis, sebagai tempat duduk, di dalamnya berhimpun berbagai ormas Islam yang berbeda-beda, untuk meneguhkan khidmah persatuan umat dan bangsa,” ujarnya pada acara Milad MUI, Jumat (7/8) malam.

Sebagai tenda besar umat Islam, MUI di usianya yang ke-45 ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus semakin bermanfaat bagi umat dan bangsa. “Kami ingin, MUI terus istiqamah mengemban peran sebagai tenda besar ini, perbedaan-perbedaan antra Ormas Islam satu dengan yang lainnya semestinya bisa dijembatani oleh MUI. Ibarat benang-benang yang berupa warna, tugas MUI menjahit benang-benang itu menjadi pakaian yang enak dipakai dan nyaman dipandang,” ujarnya.

Dia berharap MUI terus istiqamah memerankan fungsi dalam menjahit perbedaan yang ada menjadi satu model pakaian yang satu, yang enak dipakai, dan elok dipandang. Pengurus MUI ibarat desainer handal yang meracik warna-warni kain menjadi satu kesatuan dalam satu tema bersatu dalam perbedaan, mencari titik temu atas perbedaan yang bisa disatukan, dan mewujudkan sikap saling memahami atas perbedaan yang tak mesti harus disatukan.

Kiai Miftah menyebutkan, ada tiga kondisi perbedaan di dalam umat Islam yang itu harus dipahami sehingga tetap bersatu di bawah ukhuwah Islamiah. Perbedaan itu, ujar dia, muncul karena perbedaan tafsir terhadap suatu masalah, yang masih mungkin disatukan.

Pada kondisi seperti ini, maka upaya menyatukan menjadi suatu hal yang amat mulia sesuai dengan kaedah “al-khuruj minal khilaf mustahabb”. Sedangkan perbedaan kedua berdasar pada ijtihadi dengan argumen shahih pada wilayah majalul ikhtilaf.

“Perbedaan di titik ini tidak mungkin disatukan. Maka perlu dibangun komitmen saling pengertian atau saling memahami untuk mewujudkan harmoni di tengah perbedaan. Sementara perbedaan ketiga adalah perbedaan yang harus diluruskan karena sudah masuk kategori menyimpang,” katanya.

Menurut dia, dalam Islam, perbedaan pendapat yang ditoleransi adalah perbedaan pendapat yang dengan dlawabith dan hudud, bukan waton suloyo atau asal beda tanpa kaedah yang dibenarkan. “Yang ketiga ini adalah penyimpangan yang harus diluruskan,” katanya.

Pemahaman terhadap jenis-jenis perbedaan itu penting sehingga bijak dalam merespon sebuah perbedaan. Dalam kondisi Pandemi Covid-19 seperti sekarang, menurut Kiai Miftah, salah satu caranya adalah komitmen bersama melalui persatuan.

Adi Prawiranegara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *