Pakar Pendidikan: Menghapal Itu Mutlak tapi Kudu Selektif

by
Dr. Ir. Zulfiandri, MSi

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengemukakan pihaknya sedang menggagas konsep kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”. Nadiem menuturkan, konsep yang konon mengambil esensi dari pendidikan Ki Hajar Dewantara, ini diharapkan bisa membebaskan instansi pendidikan agar bisa berubah serta diharapkan bisa menjadi solusi agar anak-anak bisa berkreasi dan berinovasi.

Wartapilihan.com, Jakarta– “Ini yang Indonesia butuhkan di masa depan. Mohon maaf, dunia tidak membutuhkan anak-anak yang jago menghafal,” kata Nadiem saat rapat bersama Komisi X DPR RI di Gedung Senayan Jakarta, Kamis, 12 Desember 2019.

Menanggapi hal itu, Pakar Pendidikan Dr. Zulfiandri menyatakan, dalam taksonomi bloom dan high order thinking (hot), menghapal memang merupakan tangga terendah. Sedang tangga tertingginya adalah sintesa dan evaluasi. Hanya, lanjut Andi, sapaan pakar alumnus IPB ini, tanpa menghapal atau melalui tangga terendah dalam hot, kita tidak bisa menapaki tangga selanjutnya hingga analisis dan sintesis.

”Semua proses belajar pasti melalui metode menghafal. Minimal hafal huruf membaca dan angka untuk berhitung, yang tersimpan di memori kita,” terang Andi. Ada hapalan yang sudah refleks, ada yang kudu dipantik dulu. Ia memberi contoh, moyang manusia, Nabi Adam as, sebelum diuji terlebih dahulu diajarkan oleh Allah tentang nama-nama yang kemudian disuruh sebutkan kembali. Inilah contoh kegiatan menghafal dari manusia pertama.

Selanjutnya dengan menghapal, kita dapat menganalisis. Misalnya, sebut Andi, dengan menghapal suhu api, kita tahu bagaimana cara menghadapi benda panas. Ada yang proses penyimpanannya melalui mata, telinga dan sentuhan.

Dr. Zulfiandri mengakui, proses pendidikan di Indonesia masih meminta peserta didik menghapal hal-hal unuseful dalam kehidupan. Sehingga, hapalan-hapalan semacam ini akan tereduksi dalam jaringan syaraf otak sampai akhirnya hilang. Misalnya, imbuh Andi, jujur saja kita sudah lupa dengan 36 butir Pancasila. ”Karena hapalan ini tidak pernah terpakai dalam kehidupan,” katanya.
Karena itu, kita juga harus selektif dengan hal-hal yang harus dihapal.
”Hapalkan saja yang memang diperlukan atau bermanfaat untuk dunia dan akhirat kita,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *