Sebagian kalangan justru memperjuangkan ‘politik gay’ (gay politics) dengan mempromosikan berbagai pandangan yang mengesankan seolah-olah orientasi seksual yang menyimpang itu adalah persoalan genetis. Pandangan semacam itu masih diperdebatkan secara akademis, sedangkan semua agama di Indonesia menolaknya secara tegas.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia menyampaikan masukannya terkait RUU KUHP dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI. Kehadiran AILA ini adalah bagian dari penunaian amanah yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang disampaikan oleh Majelis Hakim MK kepada para pemohon judicial review beberapa waktu yang lalu.
Wakil Ketua Aliansi Cinta Keluarga (ALIA) Dinar menuturkan pengaturan delik hubungan seks sesama jenis di atas 18 tahun belum secara resmi ditulis dalam naskah RUU KUHP. Menurutnya, persoalan kesusilaan yang dibicarakan bukanlah permasalahan AILA Indonesia saja, bahkan seluruh elemen bangsa memiliki kepentingan terhadapnya. Keterlibatan banyak pihak seperti MUI, KPAI dan sebagainya dalam proses persidangan judicial review yang berlangsung hampir dua tahun lamanya itu adalah bukti bahwa ada keresahan yang luar biasa dari masyarakat.
“Hubungan LGBT yang suka sama suka juga belum di atur. Padahal, heteroseksual saja dipidana, kena delik. Oleh karena itu, AILA Indonesia berharap para anggota DPR RI yang terhormat dapat memperhatikan aspirasi ini,” ujar Dinar Kania Dewi kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com) di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (29/1).
Selain itu, ia melihat dalam RUU KUHP tidak ada pembahasan orientasi seksual. Menurutnya, orientasi seksual bisa bermacam-macam termasuk perilaku LGBT. “Tidak dihukum dalam RUU KUHP bukan berarti dia legal, tetap saja itu penyimpangan,” tegasnya.
Ketua AILA Rita Soebagio menerangkan beberapa hal yang menjadi catatan RDPU dengan Komisi III. Diantaranya pembahasan terkait pembatasan hubungan seksual di atas 18 tahun. Pembatasan itu terkait dengan kekerasan, persekusi, publikasi, pornografi, dan ancaman.
“Terus yang suka sama suka seperti apa? Tadi disampaikan Pak Arteri (Arteria Dahlan) akan diatur dalam pasal 495. Kita kawal statement ini untuk menjadi statement yang mengikat, bukan sekedar menjadi dagangan politik,” ujar Dinar Kania Dewi.
Terkait orientasi seksual, Rita menyadari hal tersebut tidak dapat diakomodasi di dalam RUU KUHP. Sebab, yang dinamakan orientasi, niat dan lain sebagainya tidak terlihat (abstrak). Kendati demikian, dia meminta agar normanya diatur karena hal tersebut merupakan norma terlarang.
“Pengaturannya seperti apa kita serahkan kepada lembaga berwenang (DPR) dari mulai hulu sampai hilir. Apakah ada Undang-Undang khusus tentang seluruh aktivitas homoseksual termasuk organisasi pendukung yang diakuapdi 119 negara. Sebab, ini adalah komitmen moral semua, yang harus kita kawal bersama sampai sidang paripurna nanti. Pembuktiannya semua ada ada di paripurna,” tutupnya.
Dalam kesempatan sama, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Tifatul Sembiring kepada Warta Pilihan menuturkan bahwa masyarakat semakin resah atas keberadaan LGBT di Indonesia dengan terkuaknya kasus di Cianjur, Depok, Padang, dan Kelapa Gading beberapa waktu lalu.
“Jumlah mereka banyak dan terus bertambah. Kami khawatir ini semacam menular. Penyimpangan seksual yang bisa menyimpang karena pengalaman yang tidak bagus di masa kecil atau bisa juga terkena pengaruh orang yang sudah terkena gays,” kata Tifatul.
Guna mengatasi hal tersebut, politisi PKS itu mengajak semua pihak untuk mengantisipasi, melakukan persuasi, merehabilitasi orang yang sudah terkena LGBT dan melakukan yustisi kepada pihak berwenang terhadap pelaku LGBT.
“Supaya kita bisa memitigasi jumlah ini. Karena tidak ada satu suku dan satu agama-pun di Indonesia yang membolehkan hal ini,” ungkapnya.
Ia menandaskan, dalam pembahasan RUU KUHP jika ada anggota DPR yang terbukti menerima aliran dana dari NGO/LSM Asing maka dapat dihukum bahkan diberhentikan dari jabatannya sebagai anggota legislatif.
“Dana ke DPR kan pakai anggaran DPR sendiri. Tidak boleh ada dana dari asing, tidak boleh ada pengaruh-pengaruh luar,” tegasnya.
Komisi III DPR dari F-PDIP Arteria Dahlan menambahkan, MK yang disebut mengawal konstitusi, justru DPR yang mengawal konstitusi. Dia menilai, banyak hal yang MK putuskan sendiri tanpa pertimbangan rakyat dan DPR.
“Bicara isu strategis seperti LGBT diserahkan ke DPR, biar DPR yang babak belur. Ini fakta. Tapi DPR juga cermat dan sangat hati-hati. Yang namanya laki-laki suka sama laki-laki, kita tidak terima. Tapi kita juga akui ada 7 Juta LGBT yang ber-KTP Indonesia. Karenanya kita harus atur secara berkeadilan, proporsional, dan prikemanusiaan,” papar Arteri dalam RDPU.
Dalam proses pembuatan RUU KUHP, ia menjelaskan untuk hindari persekusi. Sebab, ada pengalaman buruk di Undang-Undang Pornografi karena salah diksi, pihak tertentu dipersekusi dengan mudahnya.
“Ini karya DPR yang sering dicela rakyat. Berani merumuskan norma yang berkeindonsiaan. Tidak hanya bicara hukum universal, tapi juga hukum Indonesia yang Pancasila, berkeagamaan, beradat istiadat, dan kearifan lokal,” imbuhnya.
Sebagai informasi, AILA mengingatkan semua pihak bahwa, dalam putusannya, MK tidak menolak gagasan para pemohon yang hendak mengusulkan perubahan pada Pasal 284, 285 dan 292 KUHP. Hanya saja, penambahan norma yang diminta itu lebih tepat jika dilakukan di DPR. AILA memandang bahwa perilaku seks bebas dan LGBT adalah perbuatan yang jelas-jelas membahayakan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Ahmad Zuhdi