Novel, Hamka, dan Sumayyah

by
Novel Baswedan. Foto : Kompas.

Wartapilihan.com – Novel Baswedan, Hamka, dan Sumayyah hidup di zaman yang berbeda. Tapi, ketiganya merasakan ujian yang sama berupa musibah yang tidak ringan atas aktivitas mereka dalam menegakkan kebenaran. Tapi, hal itu tak akan pernah menyurutkan langkah para penyeru amar makruf nahi munkar untuk terus berjuang.

Selalu Ada

Pada Selasa 11/04/2017 masyarakat dikejutkan oleh berita tragis. Novel Baswedan -penyidik senior KPK- menerima teror berupa penyerangan fisik. Wajah Novel disiram cairan kimia oleh seseorang setelah shalat Subuh berjamaah di masjid sekitar rumahnya, di Jakarta. Diduga kuat hal itu adalah bagian dari serangan balik koruptor yang kasusnya sedang ditangani KPK. Saat ini Novel diketahui sedang menyidik perkara megakorupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik atau E-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun (www.jawapos.com 12/04/2017).

Di antara akibat serangan itu, situs di atas mengabarkan, bahwa jika pada awalnya kemampuan penglihatan Novel yang sebelumnya hanya 10 persen untuk mata kanan dan 5 persen untuk mata kiri, namun setelah mendapatkan perawatan, kemampuan penglihatan Novel menjadi 30 persen.

Bagaimana respon publik? “Upaya pemberantasan korupsi kembali menghadapi ujian berat,” kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo (www.antaranews.com 11/04/2017). Sementara, teror yang dialami Novel itu disebut oleh Koordinator Kontras, Haris Azhar, sebagai serangan yang ‘direncanakan matang, dengan alat yang sudah ditentukan secara spesifik, air keras’ (www.bbc.com 11/04/2017).

Teror atas Novel telah dialaminya beberapa kali. Misal, Novel Baswedan pernah dikriminalisasi lantaran menggarap kasus simulator SIM. Di samping itu, jenis teror lain yang memburunya adalah: Diancam, dipidana, hingga ditabrak kendaraan.

Atas musibah yang menimpanya, banyak pihak yang bersimpati dan terus memberikan dukungan. Anies Baswedan dan beberapa mantan pimpinan KPK termasuk pihak yang memberikan dukungan itu. Dukungan lain diberikan lewat aksi di depan Gedung KPK seperti yang dilakukan Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil. Lalu, sebuah petisi dukungan juga muncul dari Amnesty International Indonesia di situs www.change.org yang juga mendesak ditegakkannya keadilan bagi Novel untuk segera dilakukan. Sementara, Pemuda Muhammadiyah membentuk gerakan ‘Temani Novel’ yang bertujuan untuk mengawal pengusutan kasus tersebut.

Di sisi lain, serangan yang menimpa Novel membuatnya lebih bersemangat dalam memberantas korupsi. Setidaknya hal itulah yang disampaikannya kepada Anies Baswedan ketika menjenguk Novel. “Ini berarti kita maju terus ya Bang (Anies). Kalau begini saya makin semangat,” kata Anies menirukan Novel  (www.republika.co.id 11/04/2017).

Bagi banyak orang, Novel Baswedan adalah pejuang kebenaran. Aktivitasnya memerjuangkan tegaknya kebenaran adalah mulia. Meskipun demikian, secara umum, aktivitas yang seperti itu pasti membuat pihak-pihak yang “terkena” akan mengambil posisi sebagai “musuh”. Maka, di titik ini, resiko mendapatkan penganiayaan, pemenjaraan, atau pembunuhan akan selalu terbuka.

Kita punya catatan bahwa dalam hal memerjuangkan kebenaran tak akan pernah berjalan mulus. Sebab, kapanpun, antara yang makruf dan yang munkar akan selalu berhadap-hadapan. Berikut ini, sekadar menyebut dua kisah yang memperlihatkan betapa dalam memperjuangkan kebenaran itu kita harus siap dengan kemungkinan mendapatkan perlakuan buruk dari mereka yang tak menghendakinya.

Kisah pertama, tentang Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau karib disapa Hamka. Beliau adalah Ulama Besar yang aktif berdakwah di berbagai tempat dan kalangan. Beliau Ulama yang juga sastrawan. Hamka telah menulis sekitar seratus judul buku. Tafsir Al-Azhar adalah karya terbaiknya.

Hamka dihormati masyarakat luas. Tapi, siapa sangka bahwa di zaman Orde Lama, beliau ditahan selama dua tahun empat bulan atas tuduhan makar. Di sebuah pemeriksaan, sang pemeriksa menyebut Hamka sebagai pengkhianat bangsa, sebuah sebutan yang sangat menyakitkan hati bagi seorang pejuang seperti Hamka.

Tuduhan superberat itu tak pernah bisa dibuktikan sampai Hamka dibebaskan sebab hal itu memang hanya sebentuk kezaliman sebuah rezim.

Namun demikian, selalu tersedia hikmah. Bersama kesulitan ada kemudahan. Saat dijemput paksa untuk langsung dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan, Hamka hanya pasrah seraya bertawakkal kepada Allah. “Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu anugerah dari Allah kepada saya. Sehingga, saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Qur’an 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu” (www.sangpencerah.id 04/04/2014).

Kisah kedua, tentang Sumayyah di masa permulaan Islam. Awalnya, Sumayyah seorang hamba sahaya. Dari hasil pernikahannya dengan Yasir dia dikaruniai putra bernama Ammar.

Saat Muhammad Saw datang membawa Islam, tanpa ragu Ammar bersyahadat. Kedua orang-tuanya kemudian mengikuti jejak sang anak bersyahadat. Sementara, kebanyakan orang Quraisy justru sangat anti dan bahkan memusuhi Islam.

Mengetahui Sumayyah dan keluarganya masuk Islam, murkalah  orang-orang musyrikin, terutama Bani Makhzum yang selama ini melindungi mereka. Teror dan siksaan mulai mendera mereka.  Kaum musyrikin memaksa Sumayyah bersama suami dan anaknya melepas keyakinan. Posisi mereka yang rendah, membuat keluarga Sumayyah harus tabah menghadapi tekanan dan siksaan. Mereka hanya bisa memohon pertolongan dari Allah.

Di tengah siksaan yang kejam, Sumayyah dengan penuh keberanian justru menantang Abu Jahal, seorang pemimpin Quraisy yang ditakuti. Abu Jahal murka mendengar seorang perempuan menantangnya. Ia lalu membunuh Sumayyah dengan cara yang keji, demi menutupi rasa gengsinya yang telah ditantang seorang perempuan (www.republika.co.id 24/01/2012).

Di hari itu, di tengah siksaan, Abu Jahal menghujamkan tombak pendek pada tempat kehormatan Sumayyah. Astaghfirullah, Abu Jahal menusuk qubul (kemaluan) Sumayyah dengan tombak pendek. Sumayyah-pun gugur sebagai syahidah pertama karena membela agama Allah.

Tak Surut

Sungguh, betapapun berat derita yang mungkin harus ditanggung para penyeru kebenaran, langkah mereka -kapanpun- tak akan pernah berhenti dan apalagi bergerak mundur. Sebab, mereka sangat faham dan sangat bisa merasakan bahwa bagi siapapun yang bersedia menjadi penolong (agama) Allah, pasti Allah yang akan menjadi penolongnya. []

Penulis : M. Anwar Djaelani,
tinggal di www.anwardjaelani.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *