Wartapilihan.com, Jakarta – Puluhan nelayan yang tergabung dalam Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) hari ini, Selasa (11/7) menggelar aksi di depan Dinas Lingkungan Hidup dan Kesehatan (LHK), Cililitan Besar, Cawang, Jakarta Timur. Nelayan tersebut menuntut pemerintah menghentikan kegiatan reklamasi karena dinilai merugikan dan mematikan kegiatan usaha para nelayan.
“Apa nelayan tradisional tidak penting untuk bangsa ini? Seharusnya dia (pemerintah) tidak begitu, kalau mereka masih menikmati hasil laut, biota laut, ikan, kerang, harusnya ajak duduk diskusi nelayan ini. 85% pesisir habis sama reklamasi,” kata Khalil (51), nelayan Muara Angke kepada Warta Pilihan.
Secara psikologis, Khalil tidak merasa iri dengan orang darat (penikmat hasil laut) yang mendapatkan keuntungan dan kenikmatan hasil laut. Sebab, lanjut dia, para nelayan tersebut berjuang untuk bangsa Indonesia berdasarkan amanat UUD 1945.
“Kami mencari nafkah untuk menghidupi anak dan isteri sangat pedih rasanya, kita sudah tiga tahun mengalami kesengsaraan. Adanya reklamasi, semua nelayan tradisional sangat menjerit. Yang namanya laut ada saja hasilnya, tapi kalau dilanjutkan kembali (reklamasi) bisa jadi kami nanti sampah-sampah masyarakat karena tidak memberikan kemanfaatan untuk rakyat ini,” ungkap lelaki separuh baya asal Indramayu ini.
Khalil menuturkan, sebelum ada orang-orang asing di dekat wilayahnya, kehidupannya sangat baik. Dulu, ia memiliki 3-4 perahu untuk usaha nelayan. Namun sekarang akibat reklamasi, perahu tersebut rusak karena jarang digunakan dan tersisa 1 perahu. Itupun sudah tidak layak.
“Bayangkan saja mas, hak-hak nelayan dirampas semua. Dimana tanggungjawab pemerintah setelah adanya reklamasi? Saya membayangkan kalau reklamasi dilanjutkan, jantung Ibukota direbut oleh penguasa-penguasa yang tidak memerdulikan rakyatnya sendiri, nelayan-nelayan tradisional akan kelaparan dan dia (para nelayan) seperti sampah kehidupan,” tegas Bapak dari 5 anak ini.
Khalil berharap, Gubernur terpilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dapat amanah sesuai dengan tanggung jawab konstitusi dan undang-undang dasar 1945. Sebab, simpul dia, wilayah nelayan adalah di pesisir seperti yang disampaikan Soekarno.
“Kebijakannya harus pro rakyat dong, makanya saya bersumpah waktu diskusi AMDAL di Kelurahan Pluit untuk membela kepentingan kita semua. Nelayan tradisional adalah tulang punggung bangsa Indonesia,” tutupnya.
Secara bersamaan, Dinas LHK menggelar diskusi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) namun dilakukan secara tertutup, sejumlah media dan nelayana kecewa karena tidak bisa mengikuti diskusi.
Aksi sempat diwarnai sikutegang antara nelayan dengan pegawai Dinas LHK dan aparat Kepolisian karena dilarang mengikuti diskusi dan menemui pihak Dinas. “Udah bubarkan aja rapatnya, udah, Nggak ada gunanya juga buat nelayan. Kasian anak istri saya di rumah nunggu,” ketus salah satu perwakilan aksi. ||
Ahmad Zuhdi