Wartapilihan.com – Mohammad Natsir, dikenal sebagai negarawan yang juga tokoh pergerakan Islam pada saat sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Ia lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Menurun dari kakeknya yang merupakan seorang ulama, ia nantinya akan teguh mempelajari dan berpendirian pada agama Islam.
Sebelum mempelajari agama, M. Natsir mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun sebelum ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang. Hanya beberapa bulan disana, kemudian ia pindah ke HIS Solok dan tinggal dirumah saudagar yang bernama Haji Musa. Ia mulai belajar agama pada malam hari di Madrasah Diniyah setelah pada siang harinya belajar di HIS Solok. Setelah tiga tahun, ia kembali ke HIS di Padang bersama kakaknya. Kemudian pada tahun 1923 ia bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan di sinilah belau mulai aktif mengikuti organisasi dan bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij serta Jong Islamieten Bond. Setelah lulus dari MULO, ia selanjutnya pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) sampai tamat pada tahun 1930. Selama di sana, tepatnya pada tahun 1928 hingga 1932, ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Pada masa-masa inilah, ia memperdalam pendidikan Islam yang telah dipelajarinya di Sumatera Barat dan teguh untuk mempelajarinya lebih dalam pada Ahmad Hassan di Bandung. Ia memperdalam pengetahuan agamanya termasuk juga dalam bidang tafsir Al-Qur’an, hukum Islam, serta dialektika[1].
Sepanjang pertengahan 1930-an di Bandung pula, M. Natsir muda banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim dan selalu bertukar pikiran perihal kaitan Islam dengan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang di pimpin Soekarno. Selain itu, M. Natsir juga mulai aktif di PNI.
Kiprahnya dalam menjaga idealisme Islam dan Nasionalis telah dimulai sejak Natsir muda aktif dalam organisasi PNI. Dalam benak Natsir muda saat itu, mulai timbul kesadaran dalam membangun Nasionalisme yang terinspirasi dari keaktifan ketua PNI saat itu, yaitu Soekarno. Dalam setiap kampanye maupun pada rapat-rapat PNI, Soekarno selalu menyuarakan ide Nasionalisme berbasis keindahan Indonesia nan kecantikannya dan kecintaan pada tanah air yang sangat gemilang.[2] Namun, Natsir muda mulai merasakan kegelisahan ketika ide Nasionalisme tersebut cenderung meminggirkan nilai-nilai Islam yang saat itu menjadi agama mayoritas tanah air. Apalagi ketika partai yang ia geluti saat itu mulai menyatakan netral agama agar tidak timbul perpecahan di kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia.[3]
Kegelisahan Natsir muda terjawab setelah ia berguru pada Haji Agus Salim. Jawabannya menekankan bahwa konsep nasionalisme Soekarno yang cenderung pada kecintaan buta kepada tanah air yang cantik bukanlah nasionalisme yang diisyaratkan oleh Islam. Nasionalisme menurut Islam adalah semangat membela tanah air berlandaskan semangat beribadah untuk mencari ridha Allah[4]. Jawaban dari Haji Agus Salim inilah kemudian yang membentuk idealisme Natsir muda untuk menyeimbangkan pemikiran nasionalisme Soekarno. Dengan nama samaran Is, Natsir muda menerbitkan sebuah artikel berjudul “Indonesisch Nationalisme” yang dimuat dalam majalah Pembela Islam No.36 Oktober 1931.
“Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-Islaman.”
Keteguhan Natsir terhadap prinsip nasionalisme dalam Islam tersebut berhasil membuat Soekarno mulai tertarik membaca buku agama setelah Soekarno menjalani pembuangan oleh pemerintah Belanda di pulau Ende, Flores. Melalui Tuan Hassan, mentor M. Natsir sekaligus pendiri majalah Pembela Islam Soekarno dikirimkan buku-buku agama. Meskipun pada akhirnya Soekarno tetap dalam pendirian nasionalismenya ketika ia diminta untuk menulis artikel dalam majalah Pandji Islam, antara lain, “Memudahkan Pengertian Islam”, “Apa sebab Turki memisahkan Agama dari Negara?”, dan “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara” yang mendapat respon keras dari para pembela Islam. Sehingga pada akhirnya, M. Natsir merespon dengan menerbitkan artikel berjudul, “ Sikap Islam terhadap Kemerdekaan Berfikir” dan “Persatuan Agama dengan Negara” dalam majalah Pembela Islam [5].
Bagi M. Natsir, Islam bukan agama yang hanya terkait dengan ibadah ruhiyah namun Islam adalah Agama yang kamil. Bagi orang sering memisahkakan Agama dan Negara, Natsir menjawab dengan mengutip seorang orientalis HAR.Gibb, “Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization”. M. Natsir menambahkan bahwa Islam bukan sekadar kebudayaan yang sempurna, Islam adalah satu falsafah hidup, satu levensfilosofie, satu ideologi, satu sistem perikehidupan, untuk kemenangan manusia sekarang dan di akhirat nanti. [6] |
Penyusun : Nur Eka Oktavia Suryani
[1] Disadur dan diubah dari http://www.biografiku.com/2014/01/biografi-mohammad-natsir-pahlawan.html
[2] Anwar Haryono dan Lukman Lakiem, Muhammad Natsir Pemikiran dan Sumbangannya untuk Indonesia, hal 10-11 dalam Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir, hal 55
[3] Ajip Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, hal 57-58 dalam Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir, hal 56
[4] Anwar Haryono dan Lukman Hakiem, Muhammad Natsir Pemikiran dan Sumbangannya untuk Indonesia, hal 11 dalam Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir, hal 56
[5] Ajip Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, hal 253-356 dalam Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir, hal 58
[6] M. Natsir, Capita Selekta 2, hal 221 dalam Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir, hal 79