( Cuplikan dari Orasi Pengukuhan Guru Besar IPB: Prof. Dr. Arif Satria, SP., M.Si)
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas seluruh rahmat dan karunia-Nya yang dilimpahkan kepada kita semua.
Pada kesempatan ini, perkenankan saya untuk menyampaikan orasi ilmiah berjudul: Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif Baru Analisis Tata Kelola Sumber Daya Alam.
Substansi orasi ini merupakan sintesis teori-teori baru dan rangkaian penelitian internasional dan nasional yang saya tekuni hingga saat ini, baik sendiri maupun bersama tim.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati
Indonesia diprediksi menjadi negara maju pada tahun 2045 yang hanya dapat dicapai dengan strategi pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga memerhatikan aspek lingkungan.
Hal ini karena hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah krisis lingkungan :
• Diperkirakan limbah plastik yang mengalir ke laut oleh 192 negara pantai pada tahun 2010 bisa mencapai 12,7 juta ton, dan Indonesia berada di peringkat kedua terbesar setelah China
• Data KLHK (2019) juga menyebutkan dari 125 juta hektar kawasan hutan, sekitar 35 juta hektar dalam kondisi rusak berat atau berupa lahan tidak berhutan.
Krisis lingkungan juga dapat berdampak kepada tingkat ketahanan pangan. Dalam Food Sustainability Index (FSI) tahun 2018, Indonesia mendapat skor 59,1, tertinggal dari Ethiopia 68,5 yang dulu kita kenal sebagai daerah kelaparan. Indeks Ketahanan Pangan Global 2019 Indonesia berada di urutan 62 dunia dan kelima di Asia Tenggara, namun, Food Loss and Waste (kehilangan dan pemborosan pangan) Indonesia tergolong tinggi, yaitu 300 kg/kapita/tahun dan tergolong nomor dua di dunia.
Krisis lingkungan dan sumber daya alam sebagaimana di atas adalah krisis tata kelola. Oleh karena itu diperlukan perbaikan tata kelola dengan dua perspektif baru, modernisasi ekologi (ecological modernization) dan ekologi-politik (political ecology) untuk membedah, mengurai, memahami sumber masalahnya, serta memberikan tawaran solusi.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati,
Modernisasi ekologi merupakan upaya adaptasi ulang masyarakat industri terhadap lingkungan hidupnya dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern dan teknologi maju untuk daya dukung alam dan pembangunan berkelanjutan.
Istilah Modernisasi Ekologi pertama kali digunakan oleh Joseph Huber, yang mencetuskan teori “greening of industry”. Huber menekankan perlunya perbaikan lingkungan secara fundamental melalui strategi berbasis inovasi dan teknologi untuk menciptakan penggunaan sumber daya alam yang efisien dan co-benefits bagi ekologi dan ekonomi.
Modernisasi ekologi menggarisbawahi bahwa rasionalitas ekologi diperlukan untuk mengimbangi rasionalitas ekonomi, sehingga kegiatan produksi dan konsumsi dapat memberikan manfaat bagi ekonomi dan sekaligus ekologi. Akhir dekade 1990an aplikasi modernisasi ekologi meluas hingga ke manajemen, seperti Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14000.
Asumsi utama modernisasi ekologi adalah pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis, dan bertumpu pada tiga strategi:
(a) Ekologisasi produksi, seperti produksi bersih tanpa limbah yang merusak;
(b) Perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk pro-ekologis;
(c) Menghijaukan (greening) nilai sosial dan korporat beserta prakteknya.
Ragam gerakan sosial seperti car free day, kampanye earth hour, gerakan anti kantong plastik, penggunaan tumbler, adalah contohnya. Ada juga contoh menarik di sebuah kabupaten yang membuat tradisi baru dalam upacara pernikahan yang mewajibkan pemberian mahar berupa bibit pohon yang harus tanam. Inilah contoh upacara pernikahan yang “green”.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati
Sementara itu pendekatan ekologi politik tumbuh sebagai bagian dari evolusi keterlibatan ilmuwan sosial ke dalam isu-isu ekologi. Diawali dengan kajian ekologi manusia, kemudian Julian Steward (1968) mengenalkan teori ekologi budaya. Pasca 1980 berkembang tiga teori penting dalam ranah relasi manusia dan lingkungan hidupnya, yakni teori ekologi politik (political ecology), teori politik lingkungan hidup (environmental politics), dan teori sosiologi lingkungan (environmental sociology). Intinya, ekologi politik merupakan bidang kajian yang mempelajari aspek-aspek sosial politik terhadap pengelolaan lingkungan. Asumsi pokoknya bahwa perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral dan teknis, melainkan merupakan bentuk politicized environment. Artinya, persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul yang melibatkan aktor-aktor pada tingkat lokal, regional, maupun global. Beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor ini :
(a) Biaya dan manfaat perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata,
(b) Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan
(c) Dampak sosial ekonomi yang berbeda akibat perubahan lingkungan tersebut mempunyai implikasi politik.
Dalam ekologi politik ada dua pendekatan yang dominan, yaitu pendekatan aktor dan pendekatan kritis. Pendekatan aktor mengkaji kepentingan, karakteristik dan tindakan dari para aktor dalam konflik politik dan ekologi. Pendekatan aktor-strukturalis ini melihat persoalan degradasi lingkungan sebagai akibat dari kekuatan kapitalisme atau kebijakan negara yang berdampak pada masyarakat lokal dan lingkungan. Sementara pendekatan kritis dimulai dari masalah “domination of nature”.
Dalam bukunya One Dimensional Man, Marcuse secara eksplisit menegaskan bahwa “dominasi terhadap alam terkait dengan dominasi sesama manusia” (Forsyth 2003). Hal ini terjadi karena “manusia dan alam dilihat sebagai komoditas dan nilai tukar semata sehingga dehumanisasi menjadi tak terhindarkan dan begitu pula eksploitasi terhadap alam”. Perspektif kritis mulai mengangkat pendekatan konstruktivisme yang menekankan bahwa lingkungan dan sumber daya alam adalah hasil konstruksi sosial. Ini adalah antitesis terhadap positivisme lingkungan yang menganggap bahwa tafsir terhadap perubahan alam adalah tunggal. Positivisme lingkungan tidak melihat dimensi sosial budaya dan sejarah sebagai variabel penting pembentuk perspektif orang tentang alam. Hutan dan laut bagi positivisme lingkungan adalah biofisik, namun bagi masyarakat tradisional hutan dan laut memiliki makna lain sebagai jalan hidup dan sistem kebudayaan.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati Pada dasarnya, krisis lingkungan dan sumber daya alam (SDA) adalah krisis tata kelola (governance). Hal ini bermakna bahwa krisis lingkungan dan SDA adalah kegagalan mengatur tindakan para aktor yang berkepentingan terhadap sumber daya.
Bagaimana karakteristik para aktor, khususnya negara, pasar, dan masyarakat?
Pertama, tentang negara.
Modernisasi ekologi menempatkan negara sebagai solusi krisis lingkungan. Negara berperan besar dalam dua hal utama :
(a) Kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup, dan
(b) mendirikan lembaga-lembaga pemerintah yang bergerak dalam tata kelola lingkungan hidup baik nasional maupun daerah.
Boleh dikatakan, Indonesia termasuk negara yang progresif menerapkan modernisasi ekologi. Sementara itu ekologi politik melihat adanya kontestasi negara dan masyarakat maupun insitusi di dalam negara itu sendiri karena negara memiliki dua fungsi sekaligus : aktor pengguna dan aktor pelindung sumber daya alam.
Sebagai contoh, terjadinya konflik kepentingan ketika di dalam kawasan konservasi juga terdapat kandungan mineral atau minyak dan gas bumi yang layak secara finansial dan ekonomi untuk ditambang. Sebagai aktor pengguna, negara sering diasosiasikan sebagai bagian dari operasi kapitalisme global. Perusahaan multinasional berkepentingan terhadap peran negara untuk memperlancar urusan praktik eksploitasi sumber daya alam.
Akan tetapi secara empiris, tidaklah terbukti bahwa antara kapitalisme dan negara selalu sejalan. Banyak konflik yang terjadi antar keduanya, seperti adanya kebijakan negara yang membatasi exploitasi sumber daya untuk kepentingan produksi jangka panjang.
Keterbatasan lainnya adalah Negara terlalu besar untuk mengatasi masalah lokal dan terlalu kecil untuk mengatasi masalah global. Karena itulah peran organisasi multilateral menjadi penting untuk kontrol lingkungan global. Namun demikian forum global juga bukan tanpa kontestasi. Negara maju sangat mendominasi forum global tersebut karena riset-risetnya yang sangat kuat dan meyakinkan untuk dijadikan regulasi lingkungan global.
Migrasi penyu memerlukan penanganan secara multilateral. Laut di dunia tidak bebas lagi, semua diatur lembaga multilateral (RFMOs). Indonesia yang ada di samudera India tidak cukup kuat melawan dominasi Jepang dan Australia di CCSBT dan negara-negara Eropa di IOTC. Untuk menangkap tuna di laut internasional tersebut harus menjadi member dari RFMO
Kedua, tentang pasar.
Pasar dapat dimaknai sebagai aktor dan sekaligus sebagai pendekatan. Pasar sebagai aktor tercermin dalam pelaku swasta, yang dikategorikan menjadi tiga tipe:
(a) swasta yang yang tidak peduli lingkungan, seperti gerakan “climate denial” di Amerika Serikat yang tidak mengakui terjadinya perubahan iklim,
(b) swasta yang mengakomodasi kepentingan lingkungan, yang sering melakukan “greenwash” karena melakukan kegiatan peduli lingkungan namun pada saat yang sama juga kegiatan usahanya mengancam lingkungan,
(c) swasta yang mengembangkan green business dengan pemanfaatan teknologi karbon rendah
Secara ekologi politik, swasta tipe pertama banyak disorot karena banyak menyebabkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya memarjinalisasi masyarakat. Hal ini tidak lain sebagai wujud operasi kapitalisme masa lalu. Namun demikian kehadiran modernisasi ekologi menjadi penting untuk memunculkan “green capitalism” yang berusaha merekonsiliasi urusan bisnis dan lingkungan.
Namun demikian, dalam ekologi-politik green capitalism bukan tanpa masalah. Berbagai aksi ekslusi terjadi untuk menutup akses nelayan pada wilayah tradisional mereka sendiri akibat “pengklavlingan” oleh perusahaan wisata bahari yang sejatinya adalah “green”. Inilah “Tragedy of Enclosure”, sebuah tragedi oleh dominasi negara atau bisnis dalam menguasai sumber daya alam, yang menutup akses masyarakat local.
Sementara itu pendekatan pasar ada tiga, yaitu quota yang dapat diperjualbelikan, pembayaran atas jasa lingkungan (payment for ecosystem services atau PES) dan ecolabelling. Pendekatan quota telah digunakan menjadi instrumen pengelolaan perikanan di negara maju, seperti Individual Transferable Quota (ITQ). Penerapan sistem ITQ di Australia dan Selandia Baru, awalnya dianggap bermasalah karena menutup akses suku aborigin dan maori dalam menangkap ikan.
Intinya pendekatan quota bermasalah ketika para pelaku di dalamnya tidak setara. PES merupakan sebuah mekanisme yang dibangun untuk memberikan kompensasi kepada individu maupun kelompok masyarakat yang telah berjasa dalam menjaga sumber daya dan lingkungan, sehingga jasa lingkungan tetap memberikan manfaat sosial serta bertujuan untuk membiayai konservasi.
Ecolabelling merupakan consumer-driven instrument yang menuntut perhatian produsen untuk lebih serius mewujudkan produksi yang berkelanjutan. Ecolabelling ditemukan pada produk-produk pertanian, perikanan dan kehutanan
Ketiga, tentang masyarakat.
Pendekatan modernisasi ekologi kurang mempertimbangkan masyarakat sebagai aktor, padahal aktor masyarakat di akar rumput adalah yang terlemah dalam politicized environment dibandingkan dengan negara dan swasta. Masyarakat hampir selalu mengalami proses marginalisasi dan umumnya rentan akibat adanya degradasi lingkungan.
Laporan FAO (2018) menyebutkan tahun 2030 perubahan iklim akan menambah jumlah orang miskin hingga seratus juta jiwa dan harga pangan melambung hingga 12%, padahal 60% pengeluaran orang miskin untuk pangan. Dalam pengelolaan SDA, masyarakat juga bertahun-tahun tidak diperankan secara optimal, yang sebenarnya merupakan kecenderungan umum dunia ketiga pasca kemerdekaan dimana banyak terjadi proyek nasionalisasi sumber daya alam dan menuntut peran negara yang lebih besar.
Namun masalahnya beriringan dengan kemerdekaan Negara-negara baru pasca perang dunia kedua, terjadi proyek modernisasi yang begitu masif. Modernisasi membawa perubahan sosial yang begitu besar, dan memunculkan mitos-mitos tentang kelemahan masyarakat tradisional miskin yang dianggap tidak mampu mengelola sumber daya alam. Mitos tersebut dibantah oleh Studi Satria et al. (2004) yang membuktikan masyarakat pesisir sebenarnya mampu mengelola sumber daya alam, dan ini semakin memperkuat apa yang ditulis oleh Forsyth (2003) tentang perlunya dekonstruksi mitos-mitos lama:
a) orang miskin penyebab kerusakan lingkungan, padahal orang kaya menggunakan sumber daya lebih banyak dan memiliki dampak lingkungan yang lebih besar dari orang miskin.
b) orang miskin tidak peduli terhadap lingkungan, padahal orang miskin sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya mengingat mereka sering tergantung pada lingkungan untuk hidup.
c) orang miskin kurang memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk memperbaiki lingkungannya, padahal orang miskin dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, khususnya ketika insentif dan informasi tersedia.
Namun sayangnya pengetahuan tradisional mereka seringkali diabaikan. Namun demikian, berdasarkan riset Satria et al. (2016; 2004a; 2004b) pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (PSM) di Indonesia sejak era otonomi daerah memperlihatkan keragaman model, yang menurut asal usul pembentukannya dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
(a) PSM berbasis adat,
(b) PSM Berbasis revitalisasi adat,
(c) PSM non adat,
Berdasarkan orientasinya dapat dikategorikan ke dalam 4 tipe:
(a) Konservatif,
(b) Hybrid-Rendah,
(c) Hybrid-Tinggi, dan
(d) Status quo.
Contoh masyarakat yang mampu mengelola sumberdaya local dengan baik antara lain Awig-awig, Sawen, dan Sasi. Di Lombok Barat, dulu ada sistem sawen yang merupakan aturan kapan orang boleh menebang pohon di hutan, menanam padi, serta menangkap ikan. Untuk mengatur sawen, di hutan ada otoritas lokal yang bernama mangku alas, di sawah ada mangku bumi, dan di laut ada mangku laut. Masing-masing mangku tersebut membangun koordinasi dan kolaborasi dalam pengelolaan masing-masing ekosistem. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa hutan-sawah-laut merupakan satu kesatuan, dan hutan sebagai buana alit. Hutan dianggap sebagai “ibu” karena merupakan sumber air yang kondisinya akan berpengaruh pada ekosistem di hilir. Sawen tersebut mengajar kita bagaimana mengintegrasikan hulu-hilir. Jepang juga punya contoh yang baik tentang PSM melalui koperasinya.
Bapak/Ibu Hadirin yang saya hormati
Berikut ini adalah contoh tata kelola kawasan konservasi laut di Indonesia, yang melibatkan negara, pasar, dan masyarakat. Negara memiliki kelebihan dan kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya Konflik pusat-daerah dan sectoral yang membuat konservasi laut tidak efektif. Konservasi laut laut di Indonesia dikelola oleh 3 rezim besar, yaitu UU 5/1990, UU Perikanan, dan UU PWP-PPK.
Pendekatan pasar juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelemahannya ditunjukkan Studi Muswar & Satria (2011) bahwa proses ecolabelling mendukung edukasi pada nelayan untuk penangkapan ikan ramah lingkungan, namun secara ekonomi tidak memberikan dampak yang signifikan karena tidak ada perbedaan harga yang diterima nelayan.
Masyarakat juga punya kelebihan dan kelemahan. Satria et al menunjukkan sejumlah rezim masyarakat yang bermasalah :
a) PSM hybrid tinggi dan rendah yang bermasalah karena menciptakan ketidakadilan intra-komunitas, yaitu ketika nelayan lokal tidak bisa mengakses sumber daya alam akibat wilayah perairan “dikaveling” oleh investor wisata bahari atas restu tokoh adat, seperti terjadi di Papua.
b) Ada juga system sasi yang membuat Nelayan lokal juga tidak menikmati sumber daya ikan yang bernilai ekonomi tinggi akibat mekanisme lelang hasil sasi yang sering dimenangkan investor luar sebagaimana terjadi di Maluku.
c) Ada lagi contoh PSM di lamalera tentang paus, yang terus menuai kontroversi secara ekologis, namun memiliki muatan sosiologis yang sangat dalam.
Bapak/Ibu Hadirin yang saya hormati
Modernisasi ekologi mengusung pendekatan negara dan pasar, namun keduanya juga banyak kelemahan. Ekologi politik mencoba mengangkat peran masyarakat, namun ternyata juga banyak keterbatasan. Ketidakadilan dalam hubungan negara-masyarakat atau pasar-masyarakat telah banyak ditemukan. Pendekatan serba negara, pendekatan pasar secara murni, dan pendekatan self-governance masyarakat tidak menjamin terciptanya keberlanjutan dan keadilan. Karena itu perlu tata kelola baru yang memadukan antara pendekatan modernisasi ekologi dan ekologi politik dengan sejumlah prinsip yang patut dijadikan kerangka baru, yaitu basis normatif, saintifik-teknokratik, dan basis regulatif.
Pertama, secara normatif, kita harus mengacu pada Undangundang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemamuran rakyat”. Narasi “dikuasai negara” tersebut menunjukkan bahwa negara diberi amanah untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar dapat mewujudkan cita-cita Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Relasi negara-masyarakat dan pasar-masyarakat haruslah berisi muatan keadilan.
Kedua, Basis Saintifik-Teknokratik, yang mengusung konstruktivisme. Kelemahan tata kelola lama adalah terlalu kuatnya pendekatan apriori terhadap konsep ilmu lingkungan dengan dominasi rasionalitas ekologi yang sangat positivistik. Pemisahan antara prinsip politik dan prinsip ekologi akan sama-sama bermasalah. Forsyth (2003) menegaskan bahwa:
(a) Kalau terlalu bertumpu pada prinsip politik semata maka kebijakan lingkungan tidak akan mampu menyentuh faktor biofisik, sehingga yang muncul adalah ketidak-akuratan, dan
(b) Kalau terlalu bertumpu pada prinsip lingkungan semata maka yang muncul adalah ketidakadilan.
Disinilah pendekatan transdisiplin menjadi jawaban atas dilema tersebut. Salah satu pendekatannya dengan ilmu keberlanjutan (sustainability science) yang memadukan sains dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dengan sejumlah prinsip inklusivitas dan keadilan. Dan IPB sudah memelopori pengembangan sustainability science ini.
Ketiga, Basis Regulatif tentang Keadilan Akses yang mengatur bagaimana interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat. Belajar dari kegagalan negara, pasar, dan bahkan masyarakat dalam tata kelola sumber daya alam, maka diperlukan formula baru yakni bentuk tata kelola jejaring-adaptif (adaptive-network governance) dengan sejumlah ciri, yaitu: d) basis hubungan antar pelaku adalah kepercayaan (trust), e) instrumen pengelolaan berbasis kolaborasi, f) peran negara bersifat persuasif, g) orientasi pada mutual benefits, dan h) interaksi antar aktor bercirikan learning dan interdependen.
Beberapa contoh formula tata kelola baru konservasi laut adalah adanya kerjasama negara dan masyarakat seperti KKPD dan Sasi yang harmonis di Raja Ampat serta Eco-Trust di Gili Trawangan yang merupakan kolaborasi masyarakat local dengan pengusaha wisata bahari.
Hadirin sekalin yang berbahagia
Pokok-pokok ciri jejaring-adaptif tersebut memang tidak mudah, lebih-lebih Indonesia masih dalam transisi demokrasi dan kesetaraan antar aktor belum seimbang. Namun demikian, demokrasi memberikan ruang agar titik temu dapat terjadi, yang dapat diperankan oleh masyarakat sipil baik akademisi, media, maupun LSM. Hal ini harus dipahami sebagai penguatan demokratisasi tata kelola sumber daya alam. Oleh karena itu, upaya memadukan modernisasi ekologi dan ekologi politik dalam tata kelola sumber daya alam menjadi keniscayaan. Hal ini karena negara, pasar, dan masyarakat tidak bisa lagi dipertentangkan. Juga antara akurasi berbasis inovasi dan teknologi dengan isu keadilan adalah sesuatu yang harus menyatu.
Dengan demikian, sudah saatnya tata kelola baru sumber daya alam di Indonesia mencari titik temu dan memadukan rasionalitas ekologi, rasionalitas ekonomi, dan rasionalitas moral, dan rasionalitas politik.