Malam itu kami menjelajahi beberapa tempat di Merauke, menyusuri tempat-tempat simbol masyarakat bumi Cenderawasih.
Wartapilihan.com, Merauke –Udara sejuk Kota Merauke sejak sore pukul 15.00 menyelimuti hotel tempat kami tinggal. Tidak jauh dari Pelabuhan Papan Pintu Air, hanya sekitar 2 kilometer tempat kami malam itu beristirahat.
Sejak pagi, kami bersiap-siap untuk pelepasan Kapal Kemanusiaan (KK) Papua. Kapal muatan 120 ton itu mengangkut 100 ton bantuan pangan berupa beras ke Kota Asmat, Kabupaten Agats. Sejumlah media elektronik tampak menyiapkan tripod dan memfokuskan posisi kamera men-shoot gambar.
“Silakan kepada media untuk menempati tempat yang kami sediakan,” ujar Fitri, MC yang juga reporter program Delik di RCTI.
Mendengarkan paparan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) membuat kami ternganga dengan kekayaan Sumber Daya Alam di bumi Cenderawasih. Namun, entah kemana kekayaan emas, tembaga, nikel, uranium, batu bara, padi, dan potensi laut membuat salah satu kota yang berada di Agats menyebabkan 71 balita meninggal. 66 diantaranya karena campak, dan 5 lainnya terkena gizi buruk.
“Kami tegaskan, tidak boleh ada lagi orang Papua mengalami gizi buruk!,” jelas President ACT Ahyudin.
Pasalnya, Ahyudin mengatakan Merauke bukan hanya lumbung padi untuk bumi Papua, tapi juga nasional. Hal itu dibenarkan Ketua Divisi Regional Badan Urusan Logistik (Bulog) Yudi Wijaya dalam paparannya saat pembukaan pelepasan Kapal Kemanusiaan.
“Tahun kemarin stok beras kita dari 17 mitra Bulog sebesar 30.000 ton. Tiap tahun angkanya terus meningkat. Kabupaten Merauke dari target yang ditetapkan oleh Presiden RI, dapat menempati posisi kedua dalam penyerapan beras,” papar dia.
Semakin terheran dengan pernyataan tersebut, kami menanyakan kepada Anggota DPRD Tingkat I dari Fraksi PKS. Perlu diketahui, pada tahun 2017 dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua mencapai Rp 11,67 triliun, yaitu Rp 8,2 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 3,47 triliun untuk Provinsi Papua Barat. Jumlah ini meningkat pada 2018 menjadi Rp 12,3 triliun, yakni Rp 8 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 4,3 triliun untuk Provinsi Papua Barat.
“Terkait alokasi dana Otsus, kami mengusulkan ke Kabupaten Kota untuk melakukan evaluasi pelaksanannya di lapangan. Untuk Asmat, delapan puluh persen sudah kita alokasikan,” ucap Kusmanto.
Usai acara dan berbincang-bincang dengan masyarakat sekitar Pelabuhan, kami kembali ke hotel. Aktifitas sejak di Bandara Mopah hingga di Pelabuhan Papan Pintu Air membuat saya dan Andru wartawan Monday ternyenyak tidur dari pukul 17.00 hingga 19.30 WIT.
Suasana Malam Kota Merauke
Setelah shalat Jama Qashar Magrib dan Isya, saya membuka pesan WhatsApp (WA). Ada 64 pesan belum terbaca dan 3 panggilan tidak terjawab dari Akbar. Akbar ini adalah teman satu kuliah saya di Ma’had Utsman Bin Affan, Jakarta.Dia asli Bugis Makassar tapi lahir dan besar di kota Merauke.
“Ana dari tadi telpon dan chat Antum tapi tidak di balas, ana ikut tabligh akbar dulu ya,” ujarnya dalam pesan WA. “Bang saya masih di Coreinn (nama hotel tempat kami bermalam), kira-kira mau jam berapa kesini?,” tanyaku, memastikan. Lima menit berselang dia balas, akan bergerak menuju hotel. “Tunggu ya, ana kesitu,” katanya.
Tidak lama, kami bertemu di resepsionis hotel. Suasana penuh keakraban menyapa kami malam itu. Terakhir jumpa dengan dia tahun 2012 ketika saya menjabat Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dulu, Akbar adalah pembina kami di BEM dan membersamai kami kerjasama dengan LDK Al-Fatih Urindo (Lembaga Dakwah Kampus Universitas Respati Indonesia).
Saat ini, Akbar sebagai Sekretaris Umum di BKPRMI Kota Merauke (Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid se-Indonesia). Sejak mahasiswa, ia memang gemar berorganisasi. Tidak hanya di BKPRMI, ia juga pernah aktif di KAMMI, WAMY, BEM, LDK, IPM, PII, dan LSM Kemanusiaan. Akbar mengatakan tantangan dakwah di Merauke adalah rawan pendangkalan aqidah, namun letaknya rata-rata di pedalaman bukan di perkotaan.
Setelah berbincang hangat, kami diajak Akbar untuk mengelingi beberapa tempat di Merauke. Kami sempat melewati Pelabuhan Besar dan aktivitas tetap berjalan dimana ada tiga kapal besar akan mengangkut kontainer. Dia mengajak kami ke Pelabuhan untuk memantau kapal yang akan berangkat ke Agats.
Setelah dari Pelabuhan, kami melewati Tugu Pepera (perjuangan pembebasan rakyat) simbol masyarakat Kota Merauke dalam melawan kolonialisme dan imperialisme. Tidak jauh dari Tugu Pepera, kami melintasi RSUD Merauke dan Rumah Sakit Angkatan Laut. Jarak 20 meter dari RS AL, terdapat Gedung Negara.
“Nah, disini tempat Bupati (Merauke) dan Wakil Bupati melakukan pertemuan formal dan informal,” ceritanya. Dalam gerbang tersebut tertulis Izakood Bekay Izakood Kai yang bermakna Satu Hati, Satu Tujuan. Tepat disamping Gedung Negara, terdapat Gereja Katolik Paroki Santo Fransiskus Xaverius Katedral yang terletak di Jalan Raya Mandala Nomor 32, Merauke.
Tidak jauh dari sana kami bertolak ke Masjid Agung di Merauke bernama Masjid Al-Aqsha. Sebelum menuju Masjid Al-Aqsha, kami melewati Kodim 1707/Merauke, makam pahlawan Trikora dan Jalan Para Komando, nampak di sepanjang jalan para pedagang buah masih menjajakan barang dagangannya.
“Sekarang ini lagi musim rambutan, banyak sekali disini rambutan,” terang Akbar sambil melaju motornya.
Dari pelataran Masjid Al-Aqsha, nampak 5 petugas sedang berada di pos penjagaan. Kami menghampirinya dan salah satu petugas menanyakan kepada kami. “Asli mana mas?,” tanyanya. “Jakarta Pak,” jawab saya. Ternyata, petugas itu adalah orang Purwodadi, Jawa Tengah. Mereka akrab dengan Akbar sehingga langsung mengawali pembicaraan dengan kami.
“Ini masih dalam tahap Islamic Center. Belum rampung, masih 80 persen,” kata Akbar kepadaku.
Di kawasan Masjid Al-Aqsha, terdapat Lembaga Pengembangan Tilawah Qur’an (LPTQ) dibawah Kemenag Papua dan Pos Kesehatan. Nantinya, Masjid Al-Aqsha akan menjadi pusat pendidikan dan pengembangan keislaman masyarakat Papua.
Waktu menunjukkan pukul 23.05 WIT kami berpamitan dengan beberapa petugas di Masjid tersebut. Tidak jauh, kami mengelilingi Tugu Libra (lingkaran Brawijaya) yang terletak di Jalan Brawijaya. Tugu ini merupakan simbol nol kilometer Merauke yang terkenal dengan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”.
“Hayuuk kita makan dulu, sudah lapar ini,” ajak Akbar kepada kami. Kami diajak ke salah satu Kafe Bola yang terletak di Seringgu Jaya. Saya, Akbar dan Irfan memesan Nasi Goreng Rusa dan Andri hanya secangkir Kopi Papua.
Tidak mahal, satu porsi hanya Rp 25 ribu lengkap dengan telur mata sapi dan pelengkap seperti kerupuk, mentimun, tomat, bakso, dan sosis. Kami menyantapnya dan membicarakan hal-hal strategis sesekali bercanda dan menanyakan teman-teman satu angkatan.
Waktu menunjukkan pukul 23.20, kami kembali ke hotel dan diantar oleh Akbar serta Irfan. Tak lama mengobrol, keduanya pamit secara bergantian. Rencananya, esok hari, Ahad (4/2), kami bersama ACT akan menjumpai Para Petani yang sedang melakukan aktivitas di sawah dan petani yang berada di Bulog.
Ahmad Zuhdi