“Diagnosis Penyakit” Pendidikan
Dalam pandangan Syed Hasan Ali Nadwi, terjadi sejumlah fenomena naik-turun di dunia Islam yang mengiringi kemunduran Umat Muslim. Pertama, The Evils of Monarchy dimana dunia Islam mulai mengalami “rift between the Church and State” dalam hubungan tatanan “religio-political” Islam. Kedua, “Philosophical Mind Games” dimana para Ilmuwan Muslim mulai beralih dari “Natural Sciences” menuju Ilmu Metafisika dan Teologi Yunani yang merupakan ‘revisian’ dari mitologi Yunani Kuno. Ketiga, maraknya praktik “Religious Innovations–Bid’ah”, yakni infiltrasi tradisi dan praktik pagan dalam masyarakat Muslim. Keempat, wafatnya Salahuddin al Ayyubi, sosok yang menyelamatkan Islam dari tirani Barat yang telah lama berkuasa. Kelima, munculnya “The Tartar Invasion” dimana stabilitas politik yang gagal dipertahankan membuat daerah kaum Muslimin menjadi rentan untuk diserang, diinvasi, ataupun diokupasi. Keenam, disebut dengan “The Conquerors of Muslims Become the Captives of Islam”, peristiwa dimana Kazan, cucu dari Chengiz Khan yang menduduki tahta, masuk Islam. Ketujuh, disebut “The Advent of the Ottoman Turks” ketika kejayaan Turki Utsmani yang ditandai dengan penaklukan Konstantinopel pada tahun 1455 oleh Sultan Muhammad al-Fatih yang saat itu baru berumur 24 tahun. Kedelapan, “The Decline of the Ottoman Turks” atau kemunduran Turki Utsmani yang diawali ketika kekuasaan penerus Sultan Muhammad al-Fatih mulai mengarah pada tirani, permusuhan internal, serta diperparah dengan maraknya gubernur dan jenderal tantara yang korup. Dengan kata lain, pada gagasan Syed Hasan Ali Nadwi, kemunduran Umat Muslim terjadi karena gagalnya memahami Islam dengan pemahaman yang benar.[1]
Sementara itu, tantangan terus berlanjut, di era globalisasi ini terjadi perombakan tradisi dan budaya dengan segala kekayaannya, mulai model pakaian, life style hingga budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Kemajuan bidang informasi di masa kini pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Dalam keadaan ini, keberadaan masyarakat satu bangsa dengan bangsa lain telah menjadi satu, baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, bahkan pendidikan. Muhammad Tholchah Hasan mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya karakter muslim. Secara lebih terperinci, beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi informasi dan komunikasi adalah keberadaan publikasi informasi yang merupakan sarana efektif penyebaran isu; banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi; ekspos persoalan seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku; serta lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal harus mengimport produk teknologi Barat.[2]
Mengutip pendapatnya Abuddin Nata, setidaknya terdapat delapan penyakit yang menimpa masyarakat modern. Pertama, desintegrasi antar ilmu pengetahuan yang berakibat pada terjadinya pengkotak-kotakannya akal fikiran manusia yang cenderung membingunkan masyarakat. Kedua, split personality sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak memiliki watak dan nilai-nilai ketuhanan. Ketiga, dangkalnya rasa keimanan, ketakwaan, serta kemanusiaan, sebagai akibat kehidupan yang terlampau rasionalistik dan individualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan. Kelima, cenderung menghalalkan segala cara, sebagai akibat dari paham hedonisme yang melanda kehidupan. Keenam, mudah stres dan frustasi, sebagai akibat dari terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya, tanpa dibarengi sikap tawakal dan percaya pada ketentuan Tuhan. Ketujuh, lonely sebagai sifat individualistik. Dan kedelapan kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang. Kedelapan hal tersebut merupakan akibat dari kehidupan yang telah begitu jauh terhegemoni oleh budaya global yang didominasi oleh peradaban Barat. Sekularisasi ilmu pengetahuan adalah ciri khas dari peradaban Barat yang sekuler dan liberal. Demikian juga munculnya sifat hedonistik dan individualistik merupakan implikasi dari kapitalisme yang materialistik. Berkenaan dengan hal tersebut, pendidikan memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam menghadapi problematika tersebut.[3]
“Penyakit Terminal” Pendidikan
Kata Prof. Syed M. Naquib Al-Attas, bahwa “ilmu yang yang sifatnya telah bermasalah, sebab ia telah kehilangan tujuan hakiki karena tidak dapat dicerna dengan adil. Akibatnya ia membawa kekacauan dalam kehidupan manusia bukannya keharmonisan dan keadilan: ilmu yang nampaknya benar tetapi lebih produkif kearah kekeliruan dan skeptisme, ilmu buat pertama kali dalam sejarah, membawa kekacau balauan pada isi alam semesta: hewan, tumbuhan, dan logam.” Ilmu tidak lagi memiliki tujuan yang jelas dan tetap. Artinya kita tidak mengetahui kemana arah tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Keadaan yang menimpa dunia pendidikan dewasa ini bersumber dari kekacauan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan oleh pengaruh program sekulerisasi. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran dan makna ilmu sendiri. Sekulerisasi yang melibatkan tiga komponen terpadu, “penolakan unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik dan nilai yang tidak mutlak atau relatif”, bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia, yang merupakan tasawur (world view) Islam, tetapi juga memutuskan ilmu dari pondasinya dan mengalihkannya dari tujuannya yang hakiki. Lanjut Prof. al-Attas berpendapat, bahwa ”Ilmu hendakalah dipadukan dengan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok Islam, setelah unsur-unsur dan konsep-konsep asing dikeluarkan dari rantingnya. Proses inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi atau pengislaman”. Ilmu mesti kembali dikaitkan dengan konsep agama yang memiliki kepercayaan Transeden. Sehingga ilmu tidak hanya dikembangkan demi kepentingan parsial tapi lebih bersifat universal, sebagaimana agama itu sendiri adalah untuk rahmatan lil ‘alamin.[4]
Berikutnya, adalah hilangnya adab yang mengakibatkan dan melahirkan orang-orang-orang zalim (politikus yang tidak beradab), yakni meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.[5] Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.” Lebih lanjut al-Attas menjelaskan, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasadaran dan kejahilan.[6]
Penghujung
Dengan hadirnya globalisasi dalam kehidupan kita, maka setiap perjalanan hidup akan dipaksa menerima pelbagai unsur globalisasi, termasuk system pendidikan di era modern ini. Pendidikan dihadapkan pada berbagai persoalan yang memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap input, proses, maupun output pendidikan. Oleh karena itu, penting bagi pendidikan untuk kembali memperkuat system pendidikan baik secara konseptual maupun praktis. Secara konseptual harus dimulai dengan kembali secara utuh kepada ajaran agama yang mengajak umatnya untuk selalu mengoptimalkan serta menjaga keseimbangan antara wahyu dan akal, kembali kepada Islam dengan membentuk tatanan yang baik dan benar dalam kehidupan.
Penulis: Taufik Hidayat
[1] Azhari Setiawan. 2017. “Syed Abul Hasan Ali Hasani an-Nadwi Tentang Keruntuhan Peradaban, Pandangan Hidup, dan Pendidikan Islam”. Jurnal Tasfiyah Vol. 1 No. 2.
[2] Syamsirin. 2012. “Tinjauan Filosofis Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Globalisasi”. Jurnal At-Ta’dib Vol. 7 No. 2.
[3] M. Miftahul Ulum. 2012. “Revitalisasi Pendidikan Islam: Upaya Menanggulangi Krisis Pendidikan di Indonsia di Era Globalisasi”. Jurnal At-Ta’dib Vol. 7 No. 1.
[4] Andi Wiratama. 2009. “Konsep Pendidikan Islam dan Tantangannya Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Jurnal At-Ta’dib Vol. 5 No. 1.
[5] Jarman Arroisi, Hidayatus Sa’adah. 2020. “Secularization of Education and ITS Implication on Learners”. Jurnal At-Ta’dib Vol. 15 No. 2.
[6] Asmu’i. 2011. “Mencetak Generasi Beradab Melalui ‘Kurikulum yang Integratif’ (Respon atas Gerakan Liberalisasi Pendidikan Islam)”. Jurnal At-Ta’dib Vol. 6 No. 1.