Mengapa Rezim Negeri Muslim Pro-China

by

‘’Sayangnya, negara-negara yang aktif mempersoalkan Uighur bukan dari negara berpenduduk muslim. Tercatat 22 negara mengangkat kasus pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur. Mayoritas adalah Eropa. Satu dari Asia, yakni Jepang. Tak ada negara-negara muslim. Apakah karena adanya kerjasama ekonomi dengan Cina? Atau karena memang negara-negara berpenduduk muslim tidak akrab dengan isu HAM?’’

Demikian lontaran pertanyaan Papang Hidayat, peneliti Amnesty Internasional Indonesia, dalam Diskusi Media Mengungkap Pelanggaran HAM terhadap Uighur yang digelar Forum Jurnalis Muslim pada Jumat, 20 Desember 2019, di Jakarta.

Amnesty Internasional melaporkan, sedikitnya 1 juta warga Uighur dimasukkan dalam pusat-pusat re-edukasi. Di kamp itu, mereka didoktrin, tak boleh menjalankan ajaran agama, dipaksa makan-makanan haram, serta mengalami penyiksaan.

Media-media barat juga melaporkan terjadi penghancuran masjid-masjid bersejarah, pemisahan orang tua dari anak-anak mereka yang dimasukkan dalam institusi khusus, pengawasan dengan teknologi canggih, serta kerja paksa terhadap penghuni kamp reedukasi. RRC selalu berdalih bahwa kamp-kamp tersebut adalah pusat vokasi untuk memberikan keahlian bagi etnis Uighur sekaligus pusat deradikalisasi.

Pada 14 November 2019, Parlemen AS meloloskan rancangan undang-undang (RUU) terkait perlakuan Beijing terhadap minoritas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. RUU itu lolos dengan dukungan 407 suara berbanding 1 suara.

RUU yang dinamakan The Uighur Act 2019 itu bakal memberikan kewenangan pada Gedung Putih untuk menjatuhkan sanksi ke China atas dugaan persekusi pada Muslim Uighur. Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, mengatakan ini adalah cara DPR AS melawan pelanggaran HAM China yang mengerikan terhadap etnis minoritas itu.

“Hari ini martabat manusia dan HAM dari etnis Uighur berada di bawah ancaman dari tindakan biadab Beijing, RUU ini merupakan wujud kemarahan hati nurani dunia,” katanya dilansir dari AFP.

Sebelumnya, seperti dilansir The Guardian, Kamis (11/7), sebanyak 22 negara melalui duta besar masing-masing menulis surat kepada pejabat hak asasi manusia PBB. Mereka mengutuk perlakuan China terhadap warga minoritas muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang, Provinsi terbarat China.

Australia, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman dan Jepang adalah beberapa negara yang ikut menandatangani surat yang dirilis pada Rabu 10 Juli 2019.

Surat itu dikirim ke presiden Dewan Hak Asasi Manusia, Coly Seck, dan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet.

Alih alih malu pada 22 negara Eropa dan Jepang yang mendukung Uighur, duta besar 37 negara termasuk Arab Saudi dan negara-negara Teluk di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) malah menerbitkan surat tandingan.

Surat tersebut dikirimkan untuk Dewan HAM PBB dan Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet pada Jumat (12/7). Isinya, sebanyak 37 negara itu mendukung posisi Cina di Xinjiang dan kebijakan yang mereka lakukan di sana.

“RRC telah mengundang sejumlah dipomat, organisasi internasional, dan wartawan ke Xinjiang untuk menyaksikan kemajuan hak asasi manusia dan hasil dari kontraterorisme serta deradikalisasi,” tulis mereka dalam surat yang diperlihatkan ke publik pada Senin (15/7).

Selain Saudi dan Rusia, surat yang berhasil dilihat Reuters itu turut ditandatangani duta besar dari Korea Utara, Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan sejumlah negara Afrika.

“Menghadapi tantangan besar terorisme dan ekstremisme, Cina telah melakukan serangkaian tindakan antiterorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat-pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan,” tulis mereka lagi dalam surat itu.

Dikatakan, keamanan telah kembali ke Xinjiang. HAM orang-orang dari semua kelompok etnis di sana pun telah dilindungi. Surat tersebut turut menjelaskan bahwa tidak ada serangan teror yang terjadi di Xinjiang selama tiga tahun terakhir dan masyarakat di sana menikmati kebahagiaan dan keamanan yang lebih kuat.

Surat dari 37 negara menambahkan, sejak tiga tahun terakhir tidak ada serangan teror di Xinjiang.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang menyambut baik surat tersebut. “Kami meminta negara-negara terkait untuk menahan diri dari melayangkan tudingan tak berdasar sebelum mengunjungi Xinjiang,” kata dia dalam konferensi pers Selasa (16/12).

Menurut Prof Susanne Schröter, Direktur Institut Islam Global di Universitas Frankfurt, Jerman (dw.com, 23/11) Arab dan negara-negara Islam pro-China karena dua hal. Pertama, China tidak pernah mempersoalkan urusan HAM negara-negara mitranya. Kedua, volume perdagangan China cukup besar.

Susanne memberi contoh Iran yang tidak melayangkan kritik terhadap kebijakan Cina. Cina adalah importir terbesar minyak dari Iran, banyak berinvestasi di sektor migas dan aktif melebarkan hubungan dagang dengan Iran.

Pakistan dan Arab Saudi juga bungkam atas alasan ekonomi. Pangeran Muhammad bin Salman bahkan memuji kebijakan minoritas Cina dan hal serupa diungkapkan berbagai negara Arab. Dalam hal ini pun hubungan ekonomi menjadi faktor penentu.

‘’Banyak negara Islam dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter dan sering mendapat kritik dari negara barat lantaran pelanggaran HAM. Hal ini berlaku untuk Mesir, negara-negara Teluk, untuk Pakistan, Iran dan sejumlah negara lain. China sebaliknya sama sekali tidak tertarik pada urusan HAM. Negara manapun bisa berbisnis dengan Cina tanpa perlu takut mendapat kritik terkait kebijakan internal masing-masing,’’ papar Prof Susanne.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *