(Catatan dari acara Diskusi Buku ‘Moderasi Beragama’, terbitan Kementerian Agama RI)
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Pada tanggal 8 Oktober 2019, saya memenuhi undangan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjadi pembicara dalam acara peluncuran dan diskusi buku berjudul ‘Moderasi Beragama’ terbitan Kementerian Agama RI (2019). Pembicara lain adalah Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, dan Elga Sarapung, seorang rohaniwan Kristen dan aktivis dialog antar agama. Moderatornya, Ulil Abshar Abdalla yang pernah memimpin Jaringan Islam Liberal (JIL).
Sejatinya, yang diundang adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Karena beliau tidak bisa hadir, saya diundang sebagai penggantinya. Majlis peluncuran dan diskusi buku ini tampak cukup istimewa. Selain meluncurkan dan memberi ceramah pendahuluan, Menteri Agama juga mengikuti diskusi sampai tuntas. Aula HM Rasjidi dipenuhi sekitar 200 undangan, yang terdiri atas para rektor Perguruan Tinggi Agama Islam, Kakanwil Kemenag, perwakilan majelis-majelis agama, dan juga wakil-wakil beberapa lembaga negara.
Di awal paparan, dengan nada bercanda, saya sampaikan kepada para hadirin, bahwa saya hadir dalam diskusi itu, terutama karena melihat nama Ulil Abshar Abdalla sebagai moderator. Sudah 17 tahun saya tidak berjumpa dengan dia. Dulu, sekitar tahun 2000-2002, kami cukup sering bertemu dan berdiskusi dalam berbagai forum, bahkan berdebat tentang berbagai topik pemikiran Islam.
Saya sampaikan dalam forum diskusi, bahwa saya senang mendengar Ulil Abshar sekarang sudah mengajar Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali. Kitab itu juga menjadi salah satu kitab utama yang diajarkan di pesantren kami, Pesantren at-Taqwa Depok. Pada 28-29 September 2019, mahasiswa kami di Attaqwa College (ATCO), telah menyelesaikan mata kuliah ‘Konsep Ilmu Imam al-Ghazali’.
Bahkan, sejak duduk di bangku SMPN Padangan Bojonegoro, saya sudah mulai mengaji kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Ketika di Bogor, saya sempat berguru kepada KH Abdullah bin Nuh di Pesantren al-Ghazali. Kemudian, saya mengambil program Doktor Peradaban Islam di ISTAC-IIUM yang didirikan oleh Prof. Syed Muhamamd Naquib al-Attas.
Saya belajar pemikiran Prof. Naquib al-Attas terutama melalui murid utama beliau, yaitu Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Ketika di ISTAC, saya sempat mengambil mata kuliah Pemikiran Imam al-Ghazali selama 1 semester. Saya menulis makalah tentang kedudukan Imam al-Ghazali dalam Perang Salib.
Prof. Naquib al-Attas adalah cucu Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas (Habib Kramat Empang) yang makamnya kini banyak diziarahi, termasuk oleh Pak SBY, Pak Jokowi, dan Habib Rizieq. Suatu saat, saya pun sempat memasuki sebuah kamar yang ‘dirawat khusus’, peninggalan Habib Kramat Empang Bogor.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, kondisi umat Islam sekarang, secara mendasar sama persis dengan kondisi di zaman Imam al-Ghazali. Karena itu, saya meyakini, pemikiran Imam al-Ghazali masih sangat relevan untuk dikaji dan dijadikan rumusan untuk mengatasi problematika utama umat Islam, yaitu hilang adab (loss of adab).
Begitulah, perjalanan pengenalan dan sikap saya tentang pemikiran Imam al-Ghazali. Maka, dalam acara diskusi buku tersebut, saya pun kemudian berseloroh, “Tapi, saya tidak yakin kalau Ulil Abshar serius mengikuti pemikiran Imam al-Ghazali, sebab jika mengikuti pemikiran Imam al-Ghazali, pasti tidak liberal.” Tampak para hadirin di depan saya senyum dan tertawa. Saya juga tertawa, karena memang bercanda.
Lalu, masih dengan bercanda — meskipun agak serius — saya mengajak para hadirin untuk menjadi saksi, bahwa hari itu Ulil Abshar Abdalla sudah berhenti menjadi liberal. Sebab, saya bilang, sebagai moderator diskusi, ia tidak boleh liberal.
Dan itu sesuai dengan definisi ‘moderasi beragama’ yang digariskan dalam buku Kemenag tersebut: “Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.” (hlm. 7)
Pada bagian lain, disebutkan contoh paham liberal yang menyimpang dari sikap moderasi beragama: “Mereka yang berhenti pada cara pandang, sikap, dan perilaku beragama secara liberal akan cenderung secara ekstrem mendewakan akalnya dalam menafsirkan ajaran agama, sehingga tercerabut dari teksnya… Pandangan keagamaan sebagian sarjana Muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah misalnya, adalah contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem kiri.” (hlm. 48).
Karena itu saya katakan, bahwa pada hari itu (8/10/2019), insyaAllah, Ulil Abshar Abdalla sudah bertobat dari liberalisme. Sebab, berpikiran dan bersikap liberal tidak sesuai dengan konsep “moderasi beragama” yang ditulis dalam buku tersebut.
Saya tidak tahu apa isi hati Ulil Abshar setelah mendengar candaan saya. Kami terbiasa saling bercanda meskipun memiliki banyak perbedaan pemikiran. Semoga saja Ulil Abshar makin serius mengikuti pemikiran Imam al-Ghazali dan meninggalkan paham liberalisme yang pasti tidak membahagiakan, karena berpijak pada ketidakyakinan dan ketidakpastian.
Apresiasi dan Kritik
Tentang isi buku ‘Moderasi Beragama’, saya memang menyatakan, bahwa saya nyaris sulit untuk memberikan kritik secara mendasar. Sebab, saya memahami, bahwa buku ini adalah ‘hasil kompromi’. Bukan satu karya ilmiah utuh sejenis Tesis atau disertasi doktor. Dan jelas tidak ada buku yang sempurna. Ketika itu pun sejumlah kritik saya sampaikan.
Tetapi, secara umum, saya memberikan apresiasi atas kerja keras Kemenag yang berhasil merumuskan konsep ‘moderasi beragama’ yang selamat dari konsep “Islam moderat” yang dirumuskan sejumlah ilmuwan garis keras AS, seperti Daniel Pipes dan Samuel Huntington. Bahwa, menjadi ‘muslim moderat’ versi beberapa ilmuwan garis keras AS itu, memang identik dengan ‘muslim liberal’!
Beberapa tahun sebelumnya, pada 10 Juni 2009, saya sudah diundang oleh Balitbang Kemenag untuk mendiskusikan satu buku berjudul ‘Siapakah Muslim Moderat?’. Sejumlah ilmuwan AS menjelaskan, bahwa istilah “muslim moderat” memang merupakan proyek AS. John L. Esposito mengatakan: “Jadi, moderat sama dengan muslim progresif atau liberal selain konservatif dan tradisionalis.” (hal. 142). Kolumnis Daniel Pipes menulis: “Jika Islam militan merupakan masalah, maka solusinya adalah muslim moderat…” (hal. 2).
Setelah proyek ‘Islam moderat’ itu diluncurkan, maka beramai-ramailah orang muslim menyatakan diri sebagai ‘moderat’. Tapi, Daniel Pipes menyarankan, agar jangan percaya begitu saja pada orang muslim yang mengaku-aku moderat. Mereka harus dites pemikirannya. Sederet pertanyaan ia siapkan. Diantaranya: (a) Apakah perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki? (b) Apakah anda menerima keabsahan agama lain? (c) Bolehkah Muslim berpindah agama? (e) Bolehkah Muslimah mengawini laki-laki non-Muslim?
Itulah sejumlah pertanyaan ala Daniel Pipes untuk menguji apakah si muslim yang mengaku-aku moderat itu benar-benar moderat atau tidak! Silakan dicoba untuk menjawab dan mengkategorikan diri Anda sendiri. Apakah Anda termasuk muslim moderat atau muslim militan/radikal.
Itulah yang yang saya maksudkan, bahwa buku Moderasi Beragama terbitan Kemenag ini keluar dari jeratan makna ‘muslim moderat’ model Daniel Pipes dan sejumlah ilmuwan garis keras di AS. Karena itu, dalam hal ini, saya mengapresiasi kerja keras tim penulis buku ‘Moderasi Beragama’ yang berani menyatakan, bahwa paham dan sikap liberal tidak termasuk dalam moderasi beragama. Dalam buku ini, paham liberal dikategorikan sebagai paham ekstrim kiri!
Dialog Ilmiah
Dalam forum diskusi itu juga saya sampaikan, bahwa kehadiran buku ‘Moderasi Beragama’ itu bisa dikatakan sebagai ‘semacam kelanjutan tradisi dialog ilmiah’ yang panjang dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dialog ilmiah adalah cara terbaik untuk mencari titik kesepakatan antar berbagai kekuatan ideologi politik yang berbeda. Tapi, dialog itu harus berdasarkan pada ilmu.
Dalam sejarah, Indonesia memiliki tradisi dialog ilmiah antara berbagai tokoh yang berbeda aliran ideologi politiknya, terutama antara kubu nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Para pendiri bangsa secara terbuka menyampaikan ide-ide mereka melalui media massa, dan kemudian menimbulkan polemik secara ilmiah. Misalnya, perdebatan antara Soekarno vs A. Hassan, dan Soekarno vs Natsir. Itu terjadi di tahun 1920-an.
Dialog ilmiah yang cukup tajam kemudian terjadi di BPUPK dan Majlis Konstituante. Tapi, banyak tokoh pendiri bangsa kemudian terbukti mengutamakan dialog ilmiah dalam menyikapi perbedaan pendapat. Akhirnya mereka bisa mencapai titik temu kompromi dalam berbagai hal, sehingga menghindarkan bangsa dari peperangan dan perpecahan.
Jadi, penerbitan buku Moderasi Beragama ini, bisa diletakkan dalam perspektif upaya melanjutkan tradisi dialog ilmiah antara berbagai aspirasi ideologis. Tampak, bahwa penjelasan tentang makna ‘wasathiyah’ dalam buku ini bukanlah ‘konsep dan penjabaran ideal’ menurut Islam, sebagaimana bisa kita jumpai dalam berbagai kitab Tafsir tentang makna ‘ummatan wasatha’ dalam QS al-Baqarah ayat 143.
Karena itu, dalam diskusi tersebut saya usulkan agar ada penjabaran dan penajaman konsep ‘moderasi beragama’ lebih lanjut bagi umat Islam, yaitu ‘penguatan paham ahlus sunnah wal-jamaah’ di Indonesia.
Upaya ‘mencari titik temu’ semacam inilah yang dulu (tahun 1945) dilakukan oleh Bung Karno ketika mengambil inisiatif mengumpulkan Sembilan Tokoh anggota BPUPK. Mereka kemudian sukses menghasilkan kesepakatan ‘Piagam Jakarta’. Banyak pihak tidak puas dengan hasil kesepakatan itu. Tapi, Bung Karno menegaskan, bahwa itulah hasil kompromi maksimal yang bisa dihasilkan. Dalam proses sejarahnya, Piagam Jakarta kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945, hingga kini.
Tradisi dialog ilmiah ini perlu dirawat terus-menerus untuk menjaga agar kapal ‘NKRI’ tidak pecah. Para ulama telah bersepakat tentang pentingnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan merawat NKRI. Karena itu, fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari tentang kewajiban mempertahankan kemerdekaan Indonesia, didukung oleh seluruh kaum muslimin Indonesia. Di atas kapal NKRI inilah, umat Islam – sebagai umat mayoritas – terus berjuang mewujudkan aspirasi idealnya dengan cara-cara dakwah yang damai dan konstitusional. Begitu juga umat beragama lainnya.
Catatan kritis
Dalam diskusi tersebut, saya menjawab pertanyaan dua orang peserta, tentang perspektif melihat agama lain. Saya tidak sepakat dengan seorang peserta yang menyarankan, agar seorang yang beragama tidak melihat agama lain, dari perspektif agamanya sendiri. Tapi, melihat agama lain dari perspektif yang netral.
Sebagai seorang muslim, saya memegang konsep agama saya, termasuk dalam melihat agama lain. Jangan sampai seorang muslim menjadi kafir atau netral agama, meskipun hanya dalam pemikiran. Sebab, selangkah lagi, pemikiran itu bisa menjadi keyakinan, sehingga menjadi ‘kafir sempurna’, kafir pikiran dan keyakinan.
Justru kesadaran akan perbedaan dan keragaman pemikiran itulah yang menjadi awal keberhasian dialog ilmiah. Sebagai muslim, saya meyakini, bahwa Nabi Isa adalah nabi, bukan Tuhan atau anak Tuhan. Tapi, saya tetap bisa berdialog dengan teman-teman yang memiliki pandangan dan keyakinan berbeda dengan saya. Islam melarang untuk memaksa seorang memeluk agama Islam.
Catatan kritis lain terhadap buku itu adalah pemaparan tentang Konsili Vatikan II yang hanya mengutip dokumen Nostra Aetate, dan tidak menyinggung sama sekali dokumen Ad Gentes. Sebab, dalam dialog antar agama, perlu disinggung juga hal-hal yang ‘sensitif’, seperti masalah misi Kristen dan isu Islamisasi. Konsili Vatikan II tidak menghasilkan Pluralisme Religius. Itu dibuktikan dengan keluarnya Dekrit ‘Dominus Iesus’ dari Vatikan tahun 2000.
Terakhir, saya menjawab pertanyaan salah satu peserta yang bicara tentang relativisme Tafsir al-Quran. Masalah ini juga disebut dalam buku Moderasi Beragama. Bahwa, menurut saya, tidak semua pruduk akal manusia itu bersifat relatif. Termasuk produk Tafsir al-Quran. Ada tafsir yang bersifat mutlak kebenarannya, dan tunggal maknanya. Misal, tafsir bahwa ‘khinzir’ adalah ‘babi’. Tidak mungkin ada tafsir lain, semisal bahwa ‘khinzir’ adalah ‘ayam’.
Karena itu, saya sebutkan konsep ilmu dalam Kitab Aqidah tertua yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu, yaitu Kitab Aqaid Nasafiah, bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga: dengan panca indera, akal, dan khabar shadiq. Jadi, jangan ada pemisahan yang tajam, bahwa agama adalah mutlak, karena berasal dari Tuhan, sedang tafsir agama adalah relatif, karena berasal dari akal manusia.
Sebab, produk akal dan panca indera yang disepakati sebagai ijma’, maka kebenarannya bersifat pasti dan mutlak pula. Tentu, semua itu dalam batas manusia. Sebab, kita memang tidak diperintahkan, dan tidak mungkin mencapai derajat kemutlakan Tuhan. Jadi, tidak patut manusia berpikir dalam ranah Tuhan, karena kita manusia; kita bukan Tuhan, sehingga tidak patut mengaku hanya tahu kebenaran relatif, dan tidak pernah mencapai kebenaran mutlak!
Karena itu Tafsir al-Quran yang benar, yang disepakati oleh para ahli ilmu di bidang al-Quran dan Tafsir al-Quran, maka nilainya bersifat mutlak benar. Sedangkan Tafsir ‘milkul yamin’ model satu disertasi di Yogya, yang dijadikan pengabsahan hubungan seks di luar nikah, adalah Tafsir Bathil jiddan; tafsir liberal yang salah total!
Demikianlah catatan singkat dari acara Peluncuran dan Diskusi Buku ‘Moderasi Beragama’ terbitan Kemenag, 8 Oktober 2019 lalu. Saya berharap, tradisi ilmu dan dialog ilmiah terus kita kembangkan menjadi bagian dari kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia sehari-hari, sehingga negeri muslim terbesar di dunia ini, ke depan akan menjadi negeri yang hebat, negeri yang sejahtera, adil dan makmur, dalam naungan Ridha Allah SWT. Aamin. (PP At-Taqwa Depok, 10 Oktober 2019).