Waktu adalah suatu dimensi yang pasti melingkupi kehidupan kita. Setiap benda berada dalam sikon waktu tertentu. Dan Islam sangat menghargai waktu. Banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang waktu.
Wartapilihan.com, Jakarta– Seperti halnya Q.S. al-‘Ashr yang jelas merupakan landasan ideal tentang perlunya menghargai waktu. Bahkan ayat pertama dalam surat tersebut dikaitkan dengan keimanan dan amal nyata jika ingin berhasil dalam hidup. Ini berarti orang yang memanfaatkan waktulah yang akan berhasil.
Juga Q.S. al-Falaq, al-Fajr, al-Qiyamah, al-Lail, ad-Dhuha, az-Zalzalah, al-Qari’ah adalah nama-nama surat dalam Al-Quran yang berbicara tentang waktu atau kejadian-kejadian yang dikaitkan waktu tertentu. Demikian juga dalam banyak ayat Al-Qur’an dibicarakan tentang waktu. Jelas, bahwa waktu merupakan hal yang menyertai hidup manusia dari dunia hingga akhirat kelak. Dalam hadis yang terkenal dijelaskan tentang kerugian yang akan diperoleh jika bermain-main dengan waktu dan keuntungan yang didapatkan bila dapat memanfaatkan waktu secara baik dan benar.
Bahkan pepatah Arab menyebutkan, waktu itu ibarat pedang; bila dimanfaatkan akan berguna dan bila tak cakap memanfaatkannya justru bisa memotong leher sendiri. Waktu harus dikelola dengan baik agar tidak sia-sia; tidak berlalu begitu saja tanpa membawa manfaat yang berarti baik bagi diri maupun orang. Oleh karena itu, penting untuk memahami makna dari waktu itu sendiri, bagaimana konsepnya didalam Islam, bagaimana Islam memberi anjuran agar menghargainya, serta bagaiaman kelindan antara ibadah dan waktu.
Makna Waktu
Bagi Malik bin Nabi, bahwa “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak
dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu selain Tuhan tidak akan mampu melepaskan diri darinya.” (Lihat: Malik bin Nabi. Membangun Dunia Baru Islam (diterjemahkan oleh Syuruth al-Nahdhah). Bandung: Mizan, 1994)
Dari Malik bin Nabi, kita memahami bahwa makna waktu sering tidak disadari oleh manusia, ia terus hadir dan berlalu dalam kehidupan. Padahal, setiap manusia terikat dengan waktu, dan manusia memiliki waktu hidup yang terbatas di dunia. Kalau begitu, waktu menjadi bermakna bilamana manusia menyadari keberadaannya yang tak terpisah oleh waktu dan tidak kekal. Allah Swt. sang pengatur waktu menjadi orientasi atau tujuan bagi manusia untuk dapat membuat waktunya menjadi bermakna. Dengan kata lain, kebermaknaan waktu merujuk kepada keintensifan manusia untuk mendekat kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Konsep Waktu dalam Islam
Dari beberapa sumber, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan al-Qur’an mengenai konsep waktu, yakni:
- Kata al-Ajal, memberi gambaran bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah swt. sendiri.
- Kata al-Dahr, memberi gambaran bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu.
- Kata al-Waqt, digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami, dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.
- Kata al-‘Ashr, memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja keras, memeras keringat dan pikiran untuk beribadah kepada Allah swt.
Penting untuk diketahui bahwa waktu terus berputar dan berlalu tanpa pernah kembali. Dengan demikian, waktu mempunyai tabiat sebagai berikut:
- Waktu Cepat Berlalu.
Allah swt. berfirman dalam QS al-Nazi‘at ayat 46 yang artinya “pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakanakan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.”
- Waktu Tidak Akan Kembali
al-Hasan al-Basriy pernah menyampaikan, bahwa “Tidak ada satu haripun yang menampakkan fajarnya kecuali ia akan menyeru “Wahai anak Adam, aku adalah harimu yang baru, yang akan menjadi saksi atas amalmu, maka carilah bekal dariku, karena jika aku telah berlalu aku tidak akan kembali lagi hingga Hari Kiamat.”
- Aset yang Berharga
Al-Hasan al-Basriy juga pernah berkata, bahwa “Saya melihat ada segolongan manusia yang memberikan perhatian kepada waktu lebih daripada perhatian kalian terhadap dirham dan dinar.”
Menghargai Waktu
Dalam ajaran Islam, disampaikan bahwa ciri-ciri seorang Muslim yang diharapkan adalah pribadi yang menghargai waktu. Seorang Muslim tidak patut menunggu dimotivasi oleh orang lain untuk mengelola waktunya, sebab hal tersebut sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat menghargai waktu sebagai salah satu indikasi keimanan dan bukti ketaqwaan, sebagaimana tersirat dalam surah Al-Furqan/25 ayat 62 yang maknanya: “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”
Sunnah Nabawiah juga mengukuhkan nilai waktu dan menetapkan adanya tanggungjawab
manusia terhadap waktu di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. Ada lima pertanyaan pokok yang akan dihadapkan kepada setiap mukallaf di hari perhitungan kelak, dan ada dua pertanyaan dasar yang khusus berkenaan dengan waktu. Tentang hal tersebut Nabi SAW bersabda: “Dari ibn Umar dari ibn Mas’ud dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tiada tergelincir kedua telapak kaki keturunan Adam di hari kiamat di sisi Tuhannya, sampai ia ditanya tentang lima hal, yaitu tentang umurnya dimana ia habiskan, tentang masa mudanya dimana ia binasakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana belanjakan, dan apa yang telah ia amalkan dari ilmunya” (HR. Tirmidzi).
Ibadah dan Waktu
Mengelola waktu dapat dilaksanakan jika seseorang bersikap konsekuen dengan rencana-rencana yang telah dibuatnya sendiri, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan suatu ibadah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Seyogyanya bagi orang yang berakal selama tidak terkalahkan oleh akalnya mempunyai empat macam saat. Satu saat untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, satu saat untuk mengoreksi dirinya, satu saat untuk bertafakkur tentang ciptaan Allah ‘azza wa jalla, dan satu saat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum” (HR. Ibnu Hibban) (Al-Qardhawi, 2007: 39-40).
Hadist tersebut memesankan suatu hal, yakni hendaknya setiap waktu kita tak terlepas dari ibadah atau bernilai ibadah. Karena salah satu fungsi waktu sebagaimana yang termaktub didalam Q.S. al-Baqarah: 189 berterjemah: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” Walaupun secara tersurat hal yang tersebut adalah haji, tetapi ia bisa bermakna lebih dari itu. Bahwa ibadah-ibadah juga terikat dengan waktu. Seperti dua sisi uang koin yang tak terpisah, seperti itu pula gambaran ibadah dan waktu.
Lebih lanjut, ibadah seperti muhasabah, tafakur, tadabbur, dan sejenisnya juga dilaksanakan dengan menimbang fungsi waktu. Hal tersebut tergambar dalam firman Allah swt. Q.S. al-Furqan ayat 62 yang bunyi terjemahnya: “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa tujuan Allah swt. menjadikan siang dan malam silih berganti agar waktu ibadahnya jelas dan sekaligus introspeksi diri jika ada ibadah yang terlalaikan di siang hari dapat dilakukan pada malam hari, sebaliknya jika ada ibadah yang terlalaikan di malam hari dapat dilakukan pada siang hari. (Lihat: Abu al-Fida’ Isma‘il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz. X. Jaizah: Maktabah Awlad al-Syaikh li al-Turats)
Penutup
Islam memandang waktu sebagai kehidupan yang terus menerus berlalu tanpa seorang pun yang bisa memajukan atau mengundurnya. Seseorang yang ditentukan ajalnya tidak akan dapat menunda ataupun mempercepatnya barang sesaatpun. Sebab penetapan waktu itu merupakan hak preogratif Allah SWT. Oleh karena itu, Islam memandang penting pengelolaan dan pengaturan waktu dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada yang terbuang. Sebaliknya, pengelolaan waktu itu dapat memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat, di dunia maupun di akhirat kelak.
Wallahu a’lam bish showab.
Penulis: Taufik Hidayat