Memuji Anak dengan Tepat

by
Memuji anak. Foto: wanita.me.

Pernahkan Anda memuji anak Anda saat ia memenangkan lomba mewarnai atau ketika mendapat rangking bagus di kelas? Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa cara memuji anak yang tidak tepat justru lebih berisko membuat anak melakukan tindakan curang.

Wartapilihan.com, Jakarta –Terdapat dua penelitian yang mengungkapkan, saat memberikan pujian pada anak secara tidak benar dan tepat dapat menjadi bumerang dan berisiko pada perkembangan karekter anak di kemudian hari.

Professor Kang Lee, bersama dengan rekan peneliti internasional, melakukan dan telah menerbitkan penelitian terkait cara memuji anak. Professor Kang Lee berasal dari Universitas Toronto, Ontario Institute, Fakultas Pendidikan (OISE) yang telah diterbitkan dalam jurnal Psychological Science

Dalam penelitiannya, ia mengemukakan, memuji anak-anak karena kepintarannya membawa konsekuensi yang tidak diinginkan.

“Hal ini tentu saja berisiko merusak motivasi mereka untuk berprestasi lebih baik lagi karena usaha dan kinerja yang mereka lakukan justru tidak diperhatikan,” tutur Lee, berdasarkan laman id.asianparent.com, Sabtu, (14/4/2018).

Studi ini mengungkapkan, anak-anak prasekolah di Cina yang menerima pujian karena “sangat pintar” lebih mungkin untuk menipu atau melakukan kecurangan. Sebaliknya, anak-anak yang menerima pujian karena mereka telah melakukan sebuah usaha yang sangat baik, atau tidak mendapat pujian karena kepintarannya, justru kecil kemungkinannya untuk melakukan sebuah kecurangan.

“Anak-anak prasekolah di Cina yang mendapatkan pujian karena kecerdasan atau kepintarannya, mereka cenderung bersedia melakukan tindakan curang saat melakukan sebuah tes dan permainan agar mereka bisa menang,” tukas dia.

Memuji anak dapat menyebabkan kecurangan, menurut Lee yang telah 20 tahun meneliti alasan soal anak melakukan kecurangan, ia menjelaskan, begitu anak-anak belajar bahasa, mereka juga akan belajar untuk tidak jujur.

“Memuji anak karena kecerdasan mereka dapat membuat mereka merasa tertekan untuk berprestasi setiap saat. Akibatnya, mereka cenderung takut gagal atau menjadi sumber kekecewaan orangtua atau guru mereka,” ungkap Lee.

Ketakutan inilah yang kemudian akan menuntun mereka melakukan kecurangan, bahkan menipu hanya untuk bisa memenuhi harapan atau ekspektasi yang tinggi.

“Kami bahkan terkejut bahwa anak usia tiga tahun sudah mampu melakukannya,” ujar Lee.

Penelitiannya ini telah membuktikan, adanya kaitan antara hubungan kemampuan anak untuk mengatakan kebohongan secara meyakinkan dan perkembangan kognitif dan sosial mereka.

Berdasarkan penelitian ini, Profesor Lee memberikan pesan agar menghindari label ‘pintar’ saat memuji anak. “Lebih tepat untuk memuji anak atas upaya yang mereka lakukan atau dengan mengacu pada tindakan tertentu,”

Lee menyarankan untuk menggunakan pernyataan seperti, “Usaha kamu hebat,” atau “Kamu sudah bekerja dan berusaha dengan baik,” daripada berkata, “Kamu pintar!”

Pada saat yang sama, ia juga menyarankan agar orangtua tidak perlu kehilangan harapan jika sudah mengetahui bahwa anak telah melakukan kecurangan. Saat memuji anak, Lee juga menekankan untuk menggunakan pernyataan yang mengedepankan upaya anak untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Sementara itu, Carol Dweck Ph.D juga melakukan penelitian senada. Penelitian tersebut menunjukkan, cara kebanyakan orangtua memuji anak mereka membuat anak memiliki pola pikir yang salah terhadap proses belajar.

“Ada pola pikir yang disebut fixed mindset (pola pikir tetap) yang membuat anak merasa bosan di sekolah atau bahkan tidak merasa tertarik saat mereka harus mengeluarkan usaha lebih keras untuk melakukan sesuatu,” tutur Carol, dari laman smartparenting.com.

Dweck menjelaskan, dengan pola pikir yang tetap ini anak akan menganggap bahwa jika seseorang dilahirkan dengan kecerdasan maka mereka tidak perlu bersusah payah untuk belajar agar bisa sukses di sekolah.

“Sayangnya, anak dengan pola pikir seperti ini juga menganggap bahwa tujuan mereka di sekolah adalah terlihat pintar setiap saat apapun caranya. Mereka benci terlihat bodoh sehingga mereka akan menghindari tugas-tugas yang tidak mereka kuasai sehingga membuat mereka terlihat kurang cerdas,” ungkap Dweck.

Lebih lanjut, Dweck menyatakan orangtua juga menginginkan anaknya memiliki pola pikir dewasa yang disebut growth mindset. Pola pikir ini berakar dari keyakinan bahwa kepintaran diperoleh dan dikembangkan dari gabungan usaha, kerja keras, dedikasi, pembelajaran dan pengajaran dari pihak lain.

“Anak-anak yang memiliki pola pikir dewasa percaya seseorang harus bekerja keras jika ingin mendapatkan sesuatu. Seorang anak yang memiliki pola pikir ini akan berusaha selalu belajar di setiap waktu tak peduli apapun,” ujarnya.

Anak dengan pola pikir dewasa juga meyakini bahwa kerja keras membuat kemampuan mereka semakin aktif dan kegagalan adalah proses alami dari sebuah pembelajaran.

“Mereka tidak bersembunyi atau lari dari masalah saat membuat kesalahan, kecuali anak-anak yang memiliki fixed mindset,”

Penelitian Dweck ini juga menunjukkan bahwa pujian dari orang tua adalah faktor terbesar yang memengaruhi kedua pola pikir ini. Namun, kebanyakan orangtua tidak menyadari, cara mereka memuji anak malah menempatkan anak pada pola pikir fixed mindset.

“Hal ini terjadi ketika Anda memuji hasil akhir dari apa yang dilakukan anak tanpa memuji usahanya, atau sekedar memuji bahwa dia anak pintar,” papar Dweck.

Akibatnya, anak dengan fixed mindset akan menghindar saat menemui tantangan yang ia pikir takkan bisa ia lewati, atau menemui hal yang ia tahu diluar kemampuannya.

Lebih lanjut Dweck menjelaskan, anak akan memiliki growth mindset jika kita memuji usaha dan kerja keras atas hasil yang ia raih, menghargai apa yang ia lakukan demi mendapat prestasi tersebut.

“Anak dengan pola pikir ini akan selalu tangguh menghadapi tantangan apapun karena mereka percaya, dengan kerja keras apapun bisa mereka raih,” pungkasnya.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *