Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Anak perlu dibantu orangtuanya untuk mengenali emosinya sendiri agar mengenal dirinya dan mampu memahami situasi.
Wartapilihan.com, Jakarta —Di banyak negara, pendidikan usia dini menekankan pada mengenali perasaan. Di ruangan anak, dinding penuh ditempeli dengan gambar berbagai jenis ekspresi, seperti senang, takut, marah, sedih, penasaran, dan lain lain.
Menurut Elly Risman selaku pakar parenting, melalui gambar gambar yang disajikan, anak dibantu untuk mengenali perasaan mereka sendiri. “Mengenali perasaan sendiri adalah langkah awal menemukan solusi atas masalah yang sedang dihadapi,” kata Elly, di Facebook Yayasan Kita dan Buah Hati, Senin, (5/3/2018).
Ia prihatin karena hal ini justru kontras dengan pendidikan di Indonesia. Menurutnya, masih banyak pendidikan di masa anak anak kecil, yang jauh lebih menekankan pada kemampuan kognitif dibandingkan aspek emosi.
“Padahal, kemampuan kognitif baru bisa berkembang baik setelah 7 tahun. Ini karena neokorteks di otak yang bertanggungjawab untuk kemampuan kognitif baru mulai matang di usia 7 tahun,” lanjut Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati ini.
Dampaknya, banyak anak Indonesia yang tumbuh dengan kemampuan minim terhadap kendali emosinya.
“Jangankan mengendalikan emosi, mengenali dirinya sedang merasakan perasaan apa, itu pun sudah sulit. Inilah yang kemudian melahirkan generasi alay yang mudah galau dan bete. Lebih sering bersikap negatif terhadap lingkungannya daripada sikap positif,” tukas dia.
Anak, menurutnya, perlu mengenali perasaannya, dan orangtua perlu membantu itu sehingga dia benar-benar mengenali dirinya dan mampu memahami situasi.
Anak yang tidak terbiasa mengenal perasaannya, akan mudah larut dalam emosi negatif dan sulit mencari solusi atas masalahnya sendiri.
“Dari sini bisa dilihat, bahwa anak cerdas bukanlah yang ditempa kemampuan baca-tulis-hitung sejak dini. Justru anak cerdas adalah anak yang tumbuh dengan mengenali dan memahami perasaannya, sehingga tahu caranya berpikir mencari solusi, dan mampu berempati pada orang lain,” tambah psikolog ini.
Selain emosi dibedakan menjadi emosi positif dan negatif, di antara keduanya terdapat emosi netral. Elly
menjelaskan, emosi netral adalah kategori emosi yang tidak jelas posisinya. Kadang dapat diklasifikasikan sebagai emosi positif dan bisa juga sebagai emosi negatif, misalnya terkejut dan heran.
Emosi positif, contohnya sayang, cinta, bahagia, gembira, senang, ceria, bersyukur, dan lainnya. Emosi negatif, contohnya marah, sedih, tersinggung, benci, jijik, muak, dan lainnya.
“Emosi positif berperan penting memunculkan kesejahteraan emosional (emotional well-being) dan membantu mengatur emosi negatif. Jika emosi anak positif, maka anak akan lebih mudah dalam mengatur emosi negatif yang tiba-tiba datang.
Misalnya saat anak sedang merasa bahagia, tiba-tiba ada yang mengejeknya, maka anak lebih sulit untuk tersinggung. Sebaliknya, jika emosi anak negatif, maka masalah sepele pun bisa jadi memicu konflik besar,” lanjut Elly.
Jika anak lebih sering berada dalam emosi positif, Elly menekankan, maka hati dan jiwanya akan tumbuh sehat. Sebaliknya, jika emosi anak sering berada dalam emosi negatif, maka hatinya hampa, dan jiwanya kosong. “Anak seperti ini kelak akan sulit menghadapi hidup, dan sulit menjalani relasi sosial yang sehat,” tukas dia.
“Pilihan ada di tangan kita sebagai orang dewasa terdekat bagi anak kita, yang mampu mengkondisikan anak kita, dan mengisi jiwa anak kita dengan emosi positif atau negatif. Mari selalu menghidupkan suasana keluarga dengan emosi positif,” ajak Elly.
Eveline Ramadhini