Implementasi alternatif, komplementer, dan integratif dari kedokteran terus menarik daya tarik global.
Wartapilihan.com, Jakarta– Di wilayah dengan keyakinan agama yang kuat dan tersebar luas, metode pengobatan modern maupun agama atau spiritual semakin dianggap menjadi bagian penting dari perawatan pasien secara holistik. Hal tersebut juga inheren dengan keperluan pasien dan keluarganya untuk meningkatkan pemahaman tentang bagaimana pelbagai faktor turut mempengaruhi beragam keputusan medis.
Dalam Islam sendiri, terdapat suatu praktik medis yang dikenal sebagai Pengobatan Nabi (al-Tibb al-Nabawī) (Lihat: Hussein, Asim Abdelmoneim; Albar, Mohamed Ali; Alsanad, Saud Mohamed. 2019. “Prophetic Medicine, Islamic Medicine, Traditional Arabic, and Islamic Medicine (TAIM): Revisiting Concepts and Definitions”. ACTA Scientific Medical Sciences Vol. 3 No. 8). Pengobatan ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. selaku pola terbaik yang patut diikuti oleh orang-orang beriman dan bertaqwa.
Pelbagai aspek dalam hidupnya telah menjadi sumber penilaian hukum dan pedoman umum dalam urusan umat sejak awal Islam, termasuk dalam urusan kesehatan dan pengobatan. Karena kesehatan sangat penting dan merupakan bagian dari kesejahteraan manusia, maka tidak mengejutkan bahwa umat Islam, selama berabad-abad mencurahkan begitu banyak upaya untuk merekam dan merenungkan kembali pelbagai hal yang diajarkan Nabi tentang menjaga kesehatan yang baik serta mencegah dan menyembuhkan penyakit.
Popularitas Pengobatan Nabi (al-Tibb al-Nabawī) juga mencerminkan kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW. (Lihat: Ozturk, Levent. 2016. “Prophetic Medicine (al-Tibb al-Nabawi): is Historicity or Fiction?”. European Journal of Multidisciplinary Studies Vol. 1 No. 2). Dan penderitaan yang disebabkan oleh penyakit yang sedang dialami dinilai sebagai ujian spiritual dari Allah Yang Maha Pencipta, ujian keimanan kepada-Nya, sekaligus menghapus dosa dan kesalahan.
Permulaan Ilmu Pengobatan dalam Islam
Di Arab pra-Islam, tidak banyak yang diketahui tentang kontribusi orang-orang Arab Jahiliyah. Mereka menjalani kehidupan nomaden dan sedikit kontribusi mereka dalam pengobatan. Sedangkan dalam Islam, banyak sekali hal yang diwariskan Nabi Muhammad SAW..
Beliau bertindak sebagai dokter yang sukses dan cara-cara penyembuhannya kepada para sahabat telah termaktub dalam banyak hadits. Dampaknya sangat signifikan, terbukti sejumlah sahabatnya telah berhasil merawat pasien setelah mengikuti nasehat dan petunjuk Rasulullah SAW.
Jamak diketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW. menggunakan tiga metode penyembuhan, yakni penggunaan madu, bekam, dan kauterisasi. Tetapi, beliau juga melarang penggunaan kauterisasi jika tidak sesuai dengan penyakitnya. Ibn Hajar al-‘Asqalani menegaskan, bahwa Nabi Muhammad SAW. tidak menyukai metode ini (kauterisasi), karena menyebabkan rasa sakit dan bisa membahayakan pasien, karena tidak ada anestesi pada masa itu (Lihat: Deuraseh, Nurdeen. 2003. “A Hadith of The Prophet (SAW.) on Healing in The Three Things (al-Shifa’ fi Thalatha): an Interpretational”. Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine Vol. 3 No. 6).
Nabi Muhammad SAW. adalah orang pertama yang menerangkan sifat menular kusta, kudis, dan penyakit seksual yang menular (Baca: Conrad, Lawrence I.; Wujastyk, Dominik. 2017. “Contagion: Perspectives from Pre-Modern Societies”. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.). Tetapi, selalu ada penyebab dan obatnya untuk setiap penyakit.
Keyakinan bahwa terdapat obat untuk setiap penyakit mendorong umat Islam untuk terlibat dalam penelitian biomedis dan mencari obat untuk setiap penyakit yang mereka ketahui. Banyak penulis awal Pengobatan Islam dikenal menganjurkan praktik medis yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (Lihat: Obaidullah, Muhammad. 2007. “Medical Science and Islam: an Analysis of The Contributions of The Medieval Muslim Scholars”. Paper at the International Conference on “Islamic Science and Technology (InSIST)”, 2008).
Sekilas Mengenai al-Tibb al-Nabawi
“Kitab al-Tibb” yang disarikan dari “Sahih al-Bukhari” mencerminkan pandangan Imam Bukhari tentang ruang lingkup medis dalam Islam. Ruang lingkup medis juga dijelaskan dalam “Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari” karya Ahmad b. Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852/1449) dan “Umdat al-Qari Sharh Sahih al-Bukhari” karya Abu Muhammad Mahmud Ahmad al-`Ayni (w. 855/1452). Diantara yang dinyatakan, yakni ketika hendak melakukan tindakan medis, manusia harus mengetahui masalah dan penyebab pernyakit tersebut, juga harus mencoba menyelesaikannya dengan mempertimbangkan kandungan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. yang berkaitan dengan obat-obatan serta buku-buku kedokteran kuno dan kontemporer pada masanya.
Ibn Hajar dan Ibn Ahmad al-Ayni memang dikenal sangat peduli dalam memberikan ruang lingkup kedokteran Nabi secara luas dan rasional. Mereka mengklarifikasi kata al-Tibb dalam perspektif bahasa dan medis. Ibn Hajar, misalnya, berpendapat bahwa kata al-Tibb dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan al-hadhaq bi al-shai` (pengetahuan yang sempurna tentang hal dan keterampilan dalam melakukan tindakan medis) dan mereka yang memiliki keterampilan pengobatan dan penyembuhan disebut sebagai Tabib.
Setelah memahami hal ini, Ibnu Ahmad al-Ayni menggarisbawahi, bahwa obat adalah pengetahuan tentang keadaan tubuh manusia (Ahwal Badn al-Insan) dalam kesehatan dan penurunan kesehatan (akibat penyakit) serta bertujuan untuk menjaga kesehatan dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memulihkan kesehatan.
Melanjutkan penjelasan di atas, bahwa pemulihan kesehatan merupakan tujuan kedua dari pengobatan Islam. Pada dasarnya, pemulihan kesehatan dalam Islam terdiri dari sejumlah terapi atau perawatan yang bermacam, tetapi terutama menggunakan seteguk madu, bekam, dan kauterisasi. Kemudian, obat-obatan, penyembuhan secara psiko-spiritual, dan intervensi bedah yang diperkenalkan ketika telah banyak Muslim yang belajar dari peradaban lain. Seperti dalam pengobatan Yunani, pengobatan Islam memberikan perbedaan yang sangat jelas antara mufradah (sederhana) dan obat murakkabah (majemuk).
Berkaitan dengan ini, terdapat saran untuk menghindari pengobatan penyakit dengan obat majemuk jika efeknya melemah dari tubuh. Hal ini merupakan teori yang sangat menarik dan sebenarnya memberikan pencegahan penyakit beresiko tinggi, karena obat-obatan majemuk biasanya memiliki lebih banyak efek samping. Masyarakat yang makanannya sederhana cenderung memiliki sedikit penyakit, dan pengobatan mereka juga terdiri dari obat-obatan sederhana. Tetapi, untuk masyarakat kota yang terbiasa dengan makanan majemuk, maka dibutuhkan obat yang majemuk pula (Deuraseh, Nurdeen. 2006. “Health and Medicine in The Islamic Tradition Based on The Book of Medicine (Kitab al-Tibb) of Sahih al-Bukhari”. JISHIM Vol. 5).
************
Banyak dari penulis tentang Pengobatan Islam membahas aspek historis, filosofis, dan sosiologis unsur-unsur yang telah mempengaruhi pengobatan Islam.
Pertama, pengobatan Islam harus dibedakan dari Pengobatan Nabi (al-Ṭibb al-Nabawī), karena pengobatan Profetik dikembangkan selama masa Nabi Muhammad SAW. serta termasuk pengetahuan herbal, praktik kebersihan, diet, dan latihan.
Kedua, pengobatan Islam juga dapat diartikan sebagai pengetahuan dan praktik medis yang dimulai sejak periode awal Islam hingga yang saat ini sedang dipraktekkan oleh dokter Muslim baik di negara muslim maupun non muslim.
Ketiga, dalam perspektif Islam, meskipun pengobatan Islam menggabungkan teknik medis modern dalam pelayanan penyembuhan, tetapi tetap dokter Muslim dan pasien harus selalu mengakui bahwa “Kesembuhan yang paling utama adalah dari Allah.” (Saniotis, Arthur. 2012. “Islamic Medicine and Evolutionary Medicine: a Comparative Analysis”. JIMA Vol. 44).
Penulis: Taufiq Hidayat