Melawan Trauma Inner Child

by
http://www.kesekolah.com

Orangtua pemarah akan mencetak anak pemarah. Ketika anak pemarah itu jadi orangtua, ia akan lakukan hal yang sama pada anaknya: menjadi pemarah ulung. Bagai lingkaran setan, sikap marah diwariskan turun-temurun jika tak dilakukan perbaikan diri.

Wartapilihan.com, Jakarta –Ego yang tinggi dan rasa lebih baik, kadang hal itu yang menguasai diri sehingga merasa layak untuk marah. Seorang ibu bertanya, ia lahir dari keluarga yang tidak utuh (broken home). Semenjak itu terjadi, orangtuanya selalu memarahinya dan cenderung temperamental.

Hingga ketika ia memiliki seorang anak, cenderung melakukan hal yang sama pada anaknya. Tak jarang ia frustasi karena kesulitan mengendalikannya. Sang ibu merasa memiliki kepribadian ganda, kadang lembut kadang pemarah. Bagaimana cara memperbaiki dirinya?

Elly Risman sebagai psikolog sekaligus pakar parenting mencoba menjawabnya. Ia mengatakan, pengasuhan sebetulnya hanyalah penerusan kebiasaan. Anak yang dulunya dibesarkan dengan banyak les, biasanya akan me-les-kan pula anak-anak mereka. Anak yang dibesarkan dengan pendidikan agama yang baik akan menitikberatkan agama pada pengasuhan anak mereka kelak. Dan, anak yang dipukul akan menjadi orang tua yang pemukul juga.

“Semua tergantung kebiasaan bagaimana orang tersebut diasuh dulu. Tentunya ada pengecualian bagi mereka yang belajar menjadi lebih baik dan memiliki keinginan kuat untuk menghentikan kebiasaan itu, ya bisa. Tapi umumnya, pengasuhan diturunkan,” tutur Elly, dalam Fanpage Facebook Yayasan Kita dan Buah Hati, Kamis, (5/10/2017).

Namun Elly menegaskan, sifat marah ialah suatu yang manusiawi. Sifat baik dan jahat di dalam diri pasti ada. Namun demikian, memukul bukan cara yang dianjurkan untuk melampiaskan kemarahan tersebut.

Pada dasarnya, anak tidak mudah untuk diberitahu karena proses kognitifnya yang masih dalam tahap perkembangan menuju dewasa. “Jadi, anak Ibu yang semakin susah untuk diberi tahu dan selalu berargumen hanya membuktikan bahwa anak Ibu adalah manusia normal dan sehat, dan bahwa otaknya berkembang. Itu dulu yang perlu Ibu pahami,” Elly menambahkan.

Meski sang ibu menyangka itu merupakan kepribadian ganda, hal itu harus digubris, menurut Elly. Pasalnya, orang dengan kepribadian ganda tidak akan ingat apa yang baru saja dia lakukan, sehingga ia tidak menyesal telah meluapkan marah atau memukul.

Marah yang Sehat

Direktur Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati ini menjelaskan, ada cara-cara yang dapat dilakukan agar marah menjadi berfaedah. Salah satunya, berkomunikasi dengan anak setelah emosi sudah reda dan dalam keadaan santai. “Ibu jelaskan kenapa Ibu marah, kenapa dia tidak boleh mengulangi perilakunya lagi, dan cara mengatasi marahnya secara sehat,” tutur Elly.

Elly mencontohkan, “Maaf ya Kak tadi (atau kemarin, atau 2 hari yang lalu Kakak Mama pukul. Mama marah sekali Kakak mengepalkan tangan begitu, mau melawan Mama. Mama tahu kakak marah, tapi cara begitu sangat, sangat salah. Allah marah kalau kita melawan orangtua seperti itu. Kakak pikir boleh ya mukul mama? Gak boleh dan gak pernah boleh. Jadi yang boleh apa? Kakak bilang ke Mama bahwa Kakak marah, dan kenapa Kakak marah. Jadi Mama tahu dan Mama akan coba bantu membuat kakak gak marah lagi. Tapi cara tadi salah dan Mama tidak akan pernah mau lihat kakak melakukan itu lagi, paham?

Kenapa? Karena: (1.) Allah melarang kita kasar pada orang tua; (2.) Kalau Kakak begitu, Mama akan marah juga dan gak sengaja nyakitin Kakak dan Mama gak mau nyakitin Kakak. Jadi kalau lain kali kakak marah, bilang, “KAKAK MARAH!” Lalu rasanya mau pukul sesuatu? Ambil bantal, pukul bantal boleh. Tapi pukul Mama? Jangan pernah. Kakak ngerti?

Dengan kalimat tersebut kakak belajar, Elly menekankan, jika seseorang melakukan kesalahan, ia mesti minta maaf. Baik kepada orangtua, kepala sekolah, maupun presiden. Kedua, marah ialah bagian menjadi manusia. “Kalau kita melarang anak untuk marah, berarti kita mengambil haknya sebagai manusia, gak adil,” imbuh Elly.

Meluapkan marah ada banyak cara. Bisa membentak, memukul, dan lainnya. Idealnya dapat meniru cara Rasulullah dengan berwudhu atau diam, tapi jika orangtua pun belum bisa begitu, dapat diajarkan cara peluapan marah yang benar dan ‘sehat’. “Cara Ibu belum sehat karena memukul itu tidak benar. Tapi karena Ibu meluapkan marah dengan salah, makanya Ibu minta maaf,” ujarnya.

Elly menegaskan, cara orangtua marah akan jadi contoh bagi anak untuk meluapkan kemarahan. Jika anak melihat diri memukul, maka anak akan berpikir hal tersebut sebagai cara marah yang benar.

“Jadi kitapun harus memperbaiki diri. kalau kira-kira sudah mau marah, emosi sudah setinggi hidung (jangan tunggu sampai ke ujung rambut, nanti keburu meledak) cari cara menyalurkannya dengan baik,”

“Bagaimana? Cara orang beda-beda, ada yang pergi menjauh dari sumber kemarahan, ada yang diam, ada yang wudhu, ada yang tidur, ada yang mengalihkan perhatiannya ke sesuatu hal yang lain, ada yang mengatur pernafasan, istigfar, makan es krim dan lain sebagainya, Ibu harus mencari cara yang sesuai dengan karakter Ibu,” Elly melanjutkan.

Hal yang betul-betul Elly tekankan, anak-anak yang dipukul, kelak akan menjadi orang dewasa yang memukul. Maka dari itu, semarah apapun orangtua, sebaiknya tidak memukul karena memiliki akibat yang buruk, baik dalam jangka panjang maupun pendek.

“Anak bisa depresi, apatis, kehilangan kepercayaan diri, menyakiti sesama, sulit berkonsentrasi, gangguan makan, sering sakit, kemampuan verbal yang menurun, dan ribuan efek lainnya yang bertahan jauh lebih lama daripada kesalahan yang dia lakukan dan kemarahan yang Ibu luapkan, yang kesemuanya tidak bisa Ibu sembuhkan dengan plester,” pungkas dia.

Setiap orangtua akan dimintai pertanggungjawaban atas semua yang kita lakukan pada anak kita, setiap detiknya, setiap sentinya, apakah itu baik atau buruk, menyenangkan atau menyakitkan, sepanjang hidup mereka. “Jadi jangan sampai salah meluapkan marah,” tutup Elly.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *