“Sebagai perbandingan, saat ini tercatat ada sekitar 193 negara di dunia dan hanya 21 negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Artinya, mayoritas negara-negara di dunia tidak ada yang melegalkan (pernikahan sejenis),” jelas Rita Soebagio.
Wartapilihan.com, Jakarta –Beberapa waktu lalu, Hakim MK menyetujui gagasan substansi JR perzinaan dan perilaku seksual sesama jenis untuk diatur dalam Undang-Undang. Namun, MK menyerahkan pembentukan UU pada DPR.
Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Rita Soebagio melihat pencantuman unsur objektif “anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama” dalam pasal a quo merupakan kemenangan kaum homoseksual dan sebagian anggota Tweede Kamer Belanda yang afirmatif terhadap praktek homoseksualitas.
“Selama ini belum ada peraturan yang secara tegas dan jelas melarang praktik cabul homo dan lesbi di Indonesia, sementara kampanye gerakan LGBT semakin meluas,” ujar Rita kepada Warta Pilihan, Selasa (30/1).
Lebih lanjut, ia menjelaskan para pendiri bangsa Indonesia sama sekali tidak mencitakan Indonesia sebagai negara netral agama atau negara sekuler. Namun Pancasila dan pembukaan UUD 1945 sarat dengan muatan nilai-nilai keagamaan sebagai dasar berdirinya Indonesia.
“Hari ini kita melihat seolah-olah negara hilang dari konteks sosial masyarakat. Maka itu, negara tidak boleh lepas tangan dengan gesekan yang semakin besar antara pendukung LGBT dan masyarakat secara luas,” tuturnya.
Rita menerangkan konsep HAM yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konsep HAM Pancasila yakni HAM yang berketuhanan Yang maha Esa. Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 memberikan batasan konstitutional mengenai pelaksanaan Hak Asasi Manusia. HAM dilaksanakan untuk tujuan memanusiakan manusia, dan hendaknya Indonesia menganut HAM partikular yang menghargai dan menyerap nilai dan kearifan lokal, karena HAM di Indonesia dibatasi oleh norma, agama, dan budaya yang berlaku.
“Sebagai perbandingan, saat ini tercatat ada sekitar 193 negara di dunia dan hanya 21 negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Artinya, mayoritas negara-negara di dunia tidak ada yang melegalkan (pernikahan sejenis),” jelas dia.
Perilaku seks sesama jenis, kata Rita, ini merupakan kasus yang memperlihatkan bahwa obyektivitas ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan hal yang sulit diterapkan, bahkan dalam dunia ilmu pengetahuan yang sekuler sekalipun. Paradigma dasar genetik atau lingkungan untuk perilaku seks sesama jenis mendapatkan tekanan dan campur tangan kepentingan pihak tertentu sedemikian rupa, sehingga membuat hasil penelitian ilmiah yang masih prematur dipublikasikan dan dianggap sebagai kepastian ilmiah, ahkan dalam buku kuliah dipelajari oleh mahasiswa psikologi tingkat awal.
“Perlu diingat bahwa perilaku homoseksual dan perilaku seks menyimpang lainnya sangat berpotensi untuk menyuburkan penyakit HIV AIDS dan berbagai jenis penyakit kelamin lainnya yang menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Barat,” tukasnya.
Ketua Bidang Kajian dan Hukum AILA Dinar Kania Dewi menambahkan, homoseksual dalam lintas peradaban merupakan perilaku seksual menyimpang yang pelakunya ditindak tegas karena akan merusak tatanan sosial di masyarakat. Dalam catatan sejarah, memang aktivitas kaum homoseksual muncul di setiap zaman dan di berbagai belahan dunia.
“Namun keberadaan tersebut tidak berarti menunjukkan penerimaan masyarakat secara sosiologis maupun kultural. Konsep ini sampai kapan-pun tidak diakui dan tidak dapat diterima dalam budaya keluarga Indonesia,” pungkasnya.
Kuasa Hukum AILA Feizal Syahmenan usai melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, Senin (29/1) menuturkan, norma hukum yang dibuat terkait perilaku menyimpang seksual bertujuan agar masyarakat tidak melakukan tafsir ganda dan menyerahkan persoalan tersebut kepada institusi penegak hukum.
“Tidak perlu terlalu khawatir (rutan akan penuh), justru saya lebih khawatir kalau tidak ada aturan. Kalau tidak ada aturan orang bisa main hakim sendiri dengan alasan menjaga ketertiban masyarakat, susah kan, tidak ada tolak ukurnya. Lebih baik ada aturannya,” tegasnya.
Feizal mengatakan anggapan rutan penuh tidak benar. Dia mencontohkan UU Korupsi, UU Narkotika, dan sebagainya, tidak membuat penjara penuh karena ada proses-proses hukum.
“Jadi tidak benar juga kalau semua LGBT akan dipenjara, yang bilang gitu siapa. Kan tidak langsung penjara. Semua kembali ke prosedur yang berlaku, ada proses pengadilan. Dan negara juga berkewajiban untuk membina masyarakatnya agar sesuai dengan Pancasila itu tadi,” tutupnya.
Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tegas dinyatakan bahwa negara hanya mengakui hubungan perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Ahmad Zuhdi