Tindakan penyalahgunaan tergugat (pemerintah) semakin nyata ketika kewenangan tergugat berdasarkan Perppu, digunakan tergugat secara surut kebelakang (retro aktif), dengan menjadikan bukti-bukti yang terjadi sebelum Perppu terbit, sebagai dasar untuk menerbitkan objek sengketa.
Wartapilihan.com, Jakarta – Organisasi masyarakat (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan menjalani sidang putusan di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta Timur pada Senin (7/5), terkait status badan hukum HTI yang dibekukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 9 Juli 2017.
Kuasa hukum HTI Muhammad Iqbal mengatakan, dalam fakta persidangan, objek yang diterbitkan tergugat tidak mencantumkan dasar hukum yang jelas dan memadai. Peraturan-peraturan yang dijadikan dasar mengingat oleh tergugat dalam objek sengketa hanya mengatur mengenai dasar kewenangan.
Padahal, keabsahan suatu keputusan TUN tidak sekadar dinilai dari kewenangannya saja, melainkan juga prosedur dan substansi. Selain itu Dasar yuridis objek sengketa juga tidak mencantumkan pasal yang menjadi dasar mengambil putusan.
Atas dasar itu, kata Iqbal, penerbitan objek sengketa oleh tergugat terbukti telah menimbulkan ketidakpastian hukum, karena diterbitkan tanpa dasar hukum yang jelas. Sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum.
“Tidak ada satupun tertulis pasal yang dilanggar oleh penggugat, yang kemudian dijadikan dasar untuk menerbitkan objek sengketa,” kata Iqbal kepada media di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (4/5).
Selain itu, penerbitan objek sengketa dilakukan tergugat tanpa memanggil penggugat secara terbuka dan tidak ada satupun saksi tergugat yang dapat menjelaskan proses penerbitan objek sengketa.
Sehingga, terbukti proses penerbitan objek sengketa dilakukan tergugat secara sepihak dan tertutup. Proses tertutup itu dapat dibuktikan dari korespondensi antara tergugat dan Menkopolhukam melalui surat Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia Nomor B-999/Polhukam/De-III/HK.04.04.1/7/2017 Perihal Pertimbangan Pencabutan Status Badan Hukum.
“Bukti tersebut menunjukkan, pihak yang terlibat dalam proses penerbitan objek sengketa hanya tergugat dan menkopolhukam saja, tanpa melibatkan penggugat. Proses hukum tertutup ini jelas bertentangan dengan asas keterbukaan,” jelas Iqbal.
Ia menuturkan, konsideran objek sengketa tidak dapat menjelaskan dasar peraturan yang penggugat langgar, bahkan tanpa ada putusan pengadilan terlebih dahulu yang menyatakan ajaran Khilafah terbukti bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, namun tergugat langsung menerbitkan objek sengketa.
Menurutnya, tindakan penyalahgunaan tergugat semakin nyata ketika kewenangan tergugat berdasarkan Perppu, digunakan tergugat secara surut kebelakang (retro aktif), dengan menjadikan bukti-bukti yang terjadi sebelum Perppu terbit, sebagai dasar untuk menerbitkan objek sengketa.
“Artinya, tergugat secara sewenang-wenang melanggar asas tidak menyalahgunakan wewenang,” tegasnya.
Iqbal menandaskan, dalam pengambilan putusan, majelis hakim wajib memperhatikan pasal-pasal tertentu peraturan, perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin hukum.
Majelis Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan dengan alat bukti tertulis yang diajukan oleh penggugat dan tergugat, serta para saksi dan ahli yang dihadirkan dalam persidangan.
“Hakim juga tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan dan diucapkan di muka umum,” pungkasnya.
Ketua DPP HTI Rahmat S Labib mengatakan, Kementerian Hukum dan HAM tidak berhak membubarkan ormas. Ia beralasan yang berhak membubarkan ormas adalah Pengadilan.
Terkait pembubaran HTI, Labib mengaku pihaknya tidak pernah mendapatkan peringatan sama sekali, apalagi pembinaan. Ia juga menambahkan, pemerintah tidak pernah menyebut alasan dan dasar pembubaran HTI. Padahal, kata Labib, HTI selama ini hanya menyampaikan dakwah.
“Menkumham sampai detik ini tidak menyebutkan kesalahan Hizbut Tahrir. Bayangkan, polisi yang diberikan kewenangan saja menuliskan pasal yang dilanggar pengendara dalam surat tilang. Tapi, Menkumham jelas-jelas melakukan hal yang bertentangan dengan hukum,” ungkapnya.
“Lalu mereka menganggap bahwa khilafah itu membahayakan, sementara khilafah hanya mengajarkan shalat, zakat, tidak ada yang bertentangan dengan UU,” sambung dia.
Rohmat menuturkan berawal dari ucapan penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang melahirkan Aksi Bela Islam, umat Islam terus menyuarakan keadilan dan menyerukan umat agar tidak memilih pemimpin kafir. Salah satu Ormas yang turut dalam seruan itu adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Akibat peristiwa itu, HTI menjadi bulan-bulanan pemerintah karena kekalahan Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Bahkan, dalam Perppu Ormas, pemerintah yang didapuk sebagai pembina, menurutnya justru bukan membina organisasi dan anggotanya, tetapi terkesan membinasakan.
“Jika hakim menggunakan akal sehatnya, tidak mudah terintervensi oleh siapapun dan apapaun, maka hakim mengabulkan gugatan HTI,” pungkasnya.
Direktur Forjim Institute Nuim Hidayat bercerita film jurus mabok Cina tentang balas dendam. Balas dendam antar teman, balas dendam antar kerajaan dan kadang balas dendam antar anggota keluarga. Maaf atau ‘ngalah’ dalam istilah Islam dan Jawa, hampir-hampir tidak dikenal dalam tradisi mereka.
“Maka janganlah heran setelah Ahok dipenjara, pendukung Ahok menyusun strategi ‘politik balas dendam’. Dan sebagai korbannya adalah Muhammad al Khaththath, Buni Yani, Alfian Tanjung, Habib Rizieq dan HTI. Kalau musuh membunuh satu orang, maka kita harus membunuh sepuluh orang, begitu kira-kira prinsip politik mereka,” kata Nuim.
Akibat prinsip itu, lanjut wartawan senior, Al Khaththath harus mendekam di penjara tiga bulan tigabelas hari. Alfian mendekam di jeruji besi lebih dari 40 hari dan kini masih di penjara. Entah berapa lama pidana ingin dikenakan mereka ke Buni Yani, Habib Rizieq atau pimpinan HTI.
“Politik dan kekuasaan memang menggiurkan dan kadang mematikan. Menggiurkan, karena di diri manusia ada nafsu untuk menjadi ‘pemimpin’. Mematikan karena nafsu politik bisa membunuh dan menghancurkan bangsa atau dunia,” tutup Nuim.
Ahmad Zuhdi