Wartapilihan.com, Suriah – Pada hari yang panas terik Agustus lalu, Mohammad Mustafa dan istrinya menitipkan anak-anak mereka di rumah tetangganya di Aleppo karena bekerja.
Mohammad yang bekerja sebagai guru di bagian barat kota menerima panggilan telepon hari itu. Ia diberitahukan bahwa serangan udara telah menghantam rumah tetangganya di sebelah timur yang dikuasai pemberontak.
Pada saat ia tiba kembali di rumah, semua sudah terlambat. Anak laki-lakinya yang berumur 11, Hasan, tewas karena ledakan di seberang ruangan yang menuju kakaknya Sham, tiga tahun dan tetangganya, Marwa, 17 tahun, yang menjaga mereka.
Marwa memeluk Sham sebagai upaya untuk melindunginya dari ledakan itu. Sham selamat, tetapi Marwa dan Hasan tidak.
Keesokan harinya, Mohammad kembali bekerja untuk terus mengajar anak-anak Suriah lainnya.
“Saya merasa bahwa saya harus membalas dendam kepada para penjahat, dan balas dendam saya adalah untuk melanjutkan pesan saya, karena mereka mencoba untuk membunuh kehidupan di dalam diri kita,” kata Mohammad kepada Al Jazeera, “Sebagai seorang warga sipil, saya tidak punya cara lain untuk melawan.”
Pendidikan anak-anak Suriah telah lama berada di bawah titik krisis.
Sejak awal perang pada tahun 2011, negara ini telah mengalami kemunduran pendidikan yang pernah tercatat dan angka pendaftaran sekolah telah menurun drastis. Setidaknya, 1,7 juta anak usia sekolah Suriah tidak bersekolah dengan 1,35 juta lainnya berisiko putus sekolah. Sebelum krisis, pemerintah Suriah sesuumbar bahwa tingkat partisipasi pendidikan dasar mencapai 98 persen.
Menurut UNICEF, lebih dari 4.000 serangan terhadap sekolah-sekolah sejak perang dimulai. Satu dari tiga sekolah telah rusak, hancur, atau diubah peruntukannya oleh kedua belah pihak yang berperang, sementara setidaknya 150.000 guru telah tewas atau meninggalkan negeri Suriah.
Awalnya, ada upaya untuk menjaga anak-anak Aleppo di sekolah yang telantar, tetapi Mohammad dan guru-guru lain di daerah yang dikuasai oposisi kemudian mulai mengatur. Hal itu tidak mudah tanpa adanya anggaran; sebagian guru harus bekerja secara sukarela.
Anggota komunitas di Aleppo timur, wilayah yang dikuasai oleh oposisi, membentuk direktorat pendidikan baru yang bertanggung jawab untuk mengawasi semua sekolah dan guru. Mereka menunjuk Mohammad sebagai kepala.
Kemudian, pada akhir 2015, Inggris memberikan dana untuk program sebesar 15 juta dollar yang bertujuan memberikan pendidikan bagi anak-anak Suriah meskipun konflik sedang berlangsung.
“Serangan memuakkan yang menargetkan sekolah tidak dapat ditoleransi atau diabaikan. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, tempat anak-anak dapat belajar dan tumbuh, tidak menjadi target bom dan tempat perlindungan,” kata Priti Patel, Sekretaris Pembangunan Internasional Inggris.
Inggris dan donor lain sekarang membantu untuk mendanai gaji lebih dari 7.000 guru di 1.200 sekolah yang melayani 350.000 siswa di daerah oposisi yang memegang Aleppo dan Provinsi Idlib. Dana tersebut juga telah membantu untuk memberikan dukungan infrastruktur, seperti pemanas ruangan dan alat bantu dasar belajar-mengajar, termasuk papan tulis.
Untuk Mohammad dan rekan-rekannya, bantuan telah menjadi “game-changer”.
“Di bawah bayang-bayang perang, menawarkan setiap tingkat pendidikan sangat sulit karena ketidakmampuan kita untuk berfungsi dengan baik dan dengan tidak adanya anggaran hampir tidak ada yang bisa kami lakukan,” katanya Mohammad.
Setelah Rusia terlibat dalam konflik Suriah pada musim gugur 2015, terjadi peningkatan dalam serangan udara yang menargetkan sekolah. Pada 2015, terdapat total 69 serangan pada sekolah dan pada bulan Oktober 2016, jumlah itu melonjak menjadi 308.
Sebagai tanggapan, guru mulai membuat kelas-kelas kecil, sekolah informal yang kecil di ruang keluarga, ruang bawah tanah, dan masjid. Di kota Aleppo, Direktorat Pendidikan mencoba untuk mendirikan sebuah sekolah di hampir setiap blok kota untuk meminimalkan jumlah waktu anak menghabiskan waktu di jalan-jalan.
Bahkan kini Rusia “mengikuti kami dengan rudal yang bisa mencapai ruang bawah tanah, tiga atau empat meter di bawah tanah, dan bahkan tempat penampungan di ruang bawah tanah tidak aman lagi,” kata Mohammad.
Naluri dasar untuk bertahan hidup mulai lebih besar daripada keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Keluarga terpaksa mengirim anak-anak mereka mencari pekerjaan atau makanan.
Mohammad dan rekan-rekannya mencoba memperpendek jam sekolah dan mengajarkan keterampilan yang dapat membantu siswa untuk mendapatkan uang, tetapi mereka kalah dalam pertempuran. Pada akhir Desember, mereka yang tetap bertahan, termasuk Mohammad dan keluarganya, dievakuasi oleh pasukan rezim menguasai Aleppo timur.
Hari ini, Mohammad terus mengerjakan di pedesaan Aleppo. Beberapa murid-muridnya berasal dari daerah yang pernah dipegang oleh ISIS, termasuk Manbij dan Azaz.
“Ide-ide yang ISIS yang dimasukkan ke dalam pikiran siswa lebih berbahaya daripada tidak memiliki pendidikan sama sekali,” kata Mohammad. Menurut UNICEF, lebih dari 600.000 anak-anak di Suriah saat ini atau telah hidup di bawah kendali ISIS.
Setiap kali perang di Suriah berakhir, itu akan menjadi beban bagi pemuda yang akan memikul bagian terbesar dalam membangun kembali negara mereka untuk masa depan, Mohammad mencatat.
“Revolusi kita bukan revolusi yang bisa dimenangkan oleh orang-orang bodoh, jadi kami harus bergantung pada pengajaran generasi muda,” katanya. “Mereka harus bangkit dan tahu arti pembebasan dan kebebasan, dan tahu bagaimana menggunakan kebebasan itu setelah kami mendapatkannya.” Demikian dilaporkan Al Jazeera.
Reporter: Moedja Azim