Wartapilihan.com, Kuala Lumpur – ‘’Paspor jangan lupa.’’ Astaghfirullah, pesan whatsapps dari Furqan itu jadi kejutan yang menggembirakan di Selasa (4/4) pagi. Tanpa membawanya, bagaimana bisa masuk ke Negeri Jiran untuk menghadiri Malaysia International Halal Showcase (Mihas) di Kuala Lumpur, 5-8 April 2017. Untung perjalanan ke sana belum jauh dari rumah. Syukran ya, Furqan dari chanelmuslim.com (ini huruf n-nya memang satu lho ya).
‘’Pak, sorry, berhenti sebentar, ada yang ketinggalan,’’ kataku segera pada Nazirwan, driver grabcar yang kutumpangi menuju Bandara Soetta. Dengan ramah urang awak ini memarkir Honda Mobilio-nya di halaman sebuah toko swalayan.
‘’Ma, tolong Fadlan anterin paspor ke depan x-mart di Villa Pamulang ya. Ketinggalan. Di laci almari,’’ pesanku pada istri melalui ponsel China.
Tak berapa lama, datang anak bungsu kami naik Revo bekas. ‘’Ini Pak, paspornya,’’ kata santri Pesantren Media Parung, Bogor, itu. ‘’OK, makasih yo Le, hati-hati pulangnya.’’
Perjalanan dilanjut. Driver kita ngajak ngobrol. Walau sudah mengundurkan diri dari sebuah BUMN, bicaranya masih bernada ‘’pelat merah’’. Misalnya, menganggap isyu PKI cuma pepesan kosong.
Saya coba jelaskan apa itu komunisme dan PKI. Organisasi boleh mati, tapi manifestasi tetap maujud. Misalnya gerakan anarkisme yang dilandasi kebencian kaum miskin terhadap kaum kaya. Gerakan ini semakin subur oleh kesenjangan sosial yang kian melebar. Entahlah, apakah Nazirwan mudeng saat kuterangkan apa itu index gini.
Dalam perjalanan paruh kedua, Nazirwan curhat tentang istrinya yang masih manja walau sudah tua. Tapi, meski mengaku sering ribut, pria ini menegaskan tetap menghargai keluarga besar istrinya. Mereka sudah banyak membantu ekonomi keluarga dia.
Sekitar jam 08.30, kami tiba di terminal keberangkatan 2D. Sisa uang tol tak kuambil. Ongkos pun kubulatkan ke atas, jadi Rp 150 ribu. ‘’Buat parkir, Pak,’’ kataku sambil menggotong kopor dan ransel dari bangku tengah mobil.
Sepuluh menit di pelataran terminal, baru sadar kalau ponsel masih nyangkut di mobil, sedang di-cas. Malangnya, Mobilio Nazirwan sudah hilang berlalu. Ponsel China satu lagipun, lupa dibawa.
Kupinjam hp ke seorang tentara yang duduk di bangku informasi. ‘’Coba pinjam ke mereka,’’ sahutnya sambil menunjuk sekelompok porter bandara di sebelahnya.
Tiga porter kupinjam hp-nya, hasilnya nihil. Yang satu habis pulsa, satu lagi tidak diangkat-angkat, dan yang ketiga sami mawon.
Sempat galau antara berangkat atau tidak, akhirnya kuputuskan tetap pergi. Pasrah pada Ilahi, sambil berharap skenario yang aman; Ponselku diantar ke rumah yang tak jauh dari kediaman Nazirwan, atau ditemukan Furqan. Peluang kedua ini sangat kecil, lantaran ponselku terkunci password. Tapi, bukankah tak ada yang tak mungkin jika sudah takdirnya.
Masuk ke konter maskapai AA, kuminta print out tiket dengan menyebut namaku, nama Furqan rekan seperjalanan, dan jam penerbangan.
Di ruang tunggu, kudinginkan diri dengan sebotol teh dari kedai mesin otomatis. Kubuka laptop, coba menghubungi Furqan lewat internet. Namun ikhtiar ini gagal. Fasilitas free-wifi bandara menghendaki konfirmasi kode akses lewat ponsel. Yo wislah.
Sambil duduk dan kadang berdiri, kuamati calon penumpang yang datang. Satu-dua tampaknya seperti Furqan, tapi ternyata bukan. Sampai lelah mata melotot, sehingga konsentrasi mulai buyar.
Nah, saat meleng setelah setengah jam menunggu, tiba-tiba terdengar suara Furqan. ‘’Woe, hp ketinggalan ya?’’ kata wartawan asal Bengkulu ini sambil mengangsurkan ponselku.
‘’Alhamdulillah,’’ sambutku sambil nyengir lega selega-leganya. Skenarionya benar-benar seperti harapan saya. Cerita Furqan menemukan ponsel kurang menarik lagi jadinya, karena hati ini sibuk bersyukur.
Hal pertama yang kulakukan adalah memberi bintang lima dan catatan penghargaan khusus untuk Nazirwan di aplikasi grab. Juga mengiriminya sms dengan isi senada. I
Redaksi : Nurbowo