Hingga awal pandemi, ketergantungan Indonesia akan produk impor sangat terasa merugikan masyarakat. Banyak produk pangan seperti bawang putih dan gula pasir mengalami kenaikan harga yang luar biasa.
Hal ini tentunya menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar lebih terfokus pada persediaan pangan yang berasal dari dalam negeri atau melakukan substitusi impor pada produk-produk yang masih bisa diproduksi oleh petani Indonesia.
Langkanya kebutuhan pangan saat pandemi seperti saat ini, tentu sangat meresahkan masyarakat yang tengah banyak kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Kenaikan harga pangan pun membuat sulit bagi pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, 30% konsumsi rumah tangga Indonesia dalam pembentukan produk domestic bruto (PDB) masih diperuntukkan belanja bahan makanan. Bahkan Amanta (2020) menghitung pada masa pandemi, 60% porsi pendapatan rumah tangga miskin habis hanya untuk belanja makanan. Inflasi pada harga produk makanan akan lebih menyengsarakan masyarakat miskin tersebut.
Pada produk pertanian domestik, ancaman rendahnya produksi pertanian Indonesia dapat disebabkan oleh bangkrutnya usaha tani karena mahalnya faktor produksi pertanian, seperti pupuk, yang sebagian komponen bahan bakunya masih diimpor. Sedangkan pemberlakuan karantina nasional oleh sebagian besar negara di dunia membuat proses ekspor dan impor menjadi terhambat. Belum lagi rendahnya daya beli masyarakat yang membuat harga produk pertanian rendah sehingga produsen produk pertanian merugi. Bahkan kehilangan pendapatan membuat sebagian masyarakat bergantung pada bantuan pangan dari pemerintah
Kedua fenomena tersebut bagaikan buah simalakama bagi pemerintah. Ketergantungan pada produk impor sangat rentan pada guncangan eksternal seperti sulitnya bongkat muat pelabuhan dan kebijakan negara asal yang mendahulukan keamanan pangan dalam negerinya. Sedangkan usaha mendorong petani untuk menanam terbentur oleh daya beli masyarakat yang sedang turun, sehingga beberapa komoditas, seperti buah dan sayuran, harganya saat ini sangat rendah. Dampak lain pandemi memang berkurangnya aktivitas yang mengonsumsi produksi pertanian secara massal, seperti usaha pariwisata yang melingkupi perhotelan, restoran, akomodasi dan pesta-pesta rakyat lainnya, berandil besar pada tidak terserapnya hasil pertanian.
Ketahanan negara tidak dapat terlepas dari ketahanan pangannya. Tidak mungkin suatu negara mampu mempertahankan eksistensinya, jika rakyatnya kelaparan. Kekurangan pangan dapat memicu gejolak sosial dan ekonomi yang dapat membahayakan stabilitas ketahanan nasional.
Undang-undang No. 18/2012 menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah cukup dan meratanya ketersediaan pangan serta akses yang luas penduduk terhadap pangan, baik secara fisik maupun ekonomi.
Dari semua kebutuhan pokok, beras merupakan komoditas yang paling utama bagi rakyat Indonesia. Sebab, beras merupakan sumber pemenuhan karbohidrat dan makanan utama rakyat Indonesia. Proyeksi FAO (2020) menyatakan dunia akan menghadapi krisis pangan. Selama ini, 25 hingga 50 persen kebutuhan beras nasional berasal dari impor, padahal dengan adanya pandemi, negara eksportir pangan lebih mengutamakan persediaan pangan nasional masing-masing (Sandiaga Uno, 2020).
Berlandaskan pada realitas tersebut, pemerintah telah melakukan langkah strategis untuk mengamankan cadangan logistik pangan nasional, yakni dengan membuka food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah yang pada tanggal 08 Oktober 2020 telah ditinjau oleh Presiden Jokowi. Lumbung pangan khusus menanam padi dan singkong, dua komoditas utama yang digunakan sebagai sumber karbohidrat rakyat Indonesia, saat ini sudah tergarap 32 ribu Hektar lahan sawah padi dari target 165 ribu Hektar pada akhir tahun 2021.
Proyek lumbung pangan merupakan salah satu langkah pemerintah menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, khususnya dalam rangka mengantisipasi kerawanan pangan dimasa depan. Namun, ahli dari IPB yakni Santoso (2020) menyatakan ada resiko kegagalan dari proyek tersebut. Pasalnya, penanaman pada lahan eks gambut yang mengandung sulfat masam dan berderajat keasaman tinggi alias kurang subur serta potensi adanya konflik kepemilikan lahan.