LPPOM: Jasa Retailer Tetap Harus Disertifikasi Halal

by

JAKARTA — Sertifikat halal untuk jasa retailer membuka penafsiran berbeda di masyarakat. Ini karena dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 dijelaskan, jasa retailer terkait makanan dan minuman termasuk dalam kategori yang wajib bersertifikat halal.

Direktur Utama Lembaga Penyelia Halal (LPH) Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Muti Arintawatil menyampaikan, sejumlah persyaratan wajib diimplementasikan oleh perusahaan untuk memenuhi kewajiban tersebut. Di antaranya memisahkan fasilitas produk yang halal dan haram, sampai kepada troli untuk mengangkut bahan baku.

“Maka sertifikasi halal jasa retailer meliputi proses penanganan arus bahan atau produk yang harus bebas dari najis yang berpotensi mengkontaminansi bahan atau produk halal,” kata Muti pada kegiatan Media Gathering bertajuk “Jual Produk Non-Halal, Jasa Retailer Tetap Harus Disertifikasi Halal” di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Lebih detail, Muti menjelaskan ruang lingkup tersebut meliputi pergudangan​, distribusi (penerimaan barang)​, penanganan dan penyimpanan, serta pemajangan​ (display). Ini berarti seluruh produk yang bersertifikat halal terjamin tidak terkontaminasi najis.

“Produk yang ditangani retailer yang ingin mendapatkan sertifikat halal harus diidentifikasi dan ditangani sesuai standar. Ada tiga kategori produk dalam jasa retailer yang perlu penangan berbeda,” ujarnya.

Pertama, ungkap Muti, produk yang jelas halal, seperti buah dan sayur atau memiliki sertifikat halal tidak perlu penanganan tertentu. Kedua, terdapat penanda yang jelas untuk produk haram seperti daging babi dan minuman keras, kedua jenis ini harus dipastikan secara fasilitas tidak mengontaminasi produk yang sudah halal.

“Ketiga, produk yang belum jelas status kehalalannya, tetapi bebas babi ditangani khusus agar tidak mengkontaminasi produk yang disertifikasi halal. Artinya seluruh proses hingga makanan disajikan kepada konsumen harus benar-benar halal secara syar’i,” ujar dia.

Pada kesempatan sama, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftahul Huda menjelaskan terkait tiga kategori status halal makanan dan minuman. Pertama, ada yang halal seperti sayur-mayur, telur, dan sebagainya.

Kedua diharamkan secara sharih dalam nash, seperti babi, khamr, dan sebagainya. Dan ketiga berada pada wilayah abu-abu, belum jelas status kehalalan atau keharamannya. Disinilah kemudian Komisi Fatwa MUI bekerjasama dengan berbagai ahli untuk meneliti kehalalan suatu produk, termasuk dengan auditor halal.

“Dalam hadits, inilah yang disebut dengan syubhat, yaitu samar-samar, karena antara yang halal dan haram sudah jelas, innal halala bayyinun, wal harama bayyinun, wa baynahuma mustabihatun. Maka itu, kejujuran menjadi asas penting bagi seorang auditor halal,” ujarnya.

Berkaitan dengan produk makanan minuman dengan penamaan “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine” yang mendapat sertifikat halal, ia mengatakan bahwa ini tidak sesuai dengan ketetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat disertifikasi Halal.

“Secara fiqih sah saja, tetapi secara standar MUI, ini tidak sesuai. Kenapa kita menolak, karena untuk menutup celah agar nama-nama tersebut tidak disalahgunakan, dalam kaidah ushul fikih disebut dengan sadd adz-dzara’i atau saddu dzar’iyyah,” tuturnya.

“Berbeda dengan Bir Pletok yang sudah dikenal masyarakat luas sebagai minuman herbal untuk menyegarkan, itu dibolehkan dan disebut sebagai urf (adat atau tradisi),” jelasnya menandaskan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *