Politik merupakan bagian dari dakwah. Jangan sampai kita buta politik, atau kita akan digilas oleh politik.
Wartapilihan.com, Jakarta – Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, KH Achmad Cholil Ridwan Lc, menuturkan, aktivitas dakwah dan politik bagi seorang muslim tak dapat dipisahkan. Wakil Ketua MUI tersebut mencontohkan, Rasulullah menghabiskan hidupnya untuk dakwah, tapi juga beliau memperjuangkan Daulah Islam dan menduduki jabatan politik sebagai Imam Daulah (kepala pemerintahan).
“Ke depan, Dewan Dakwah sebagai yayasan tetap menjalankan program dakwah bilhal, bil-lisan, bil-amwal, tetapi pribadi Dewan Dakwah wajib berpolitik,’’ tandasnya dalam silaturahmi Keluarga Besar Dewan Dakwah di Aula Masjid Al Furqon, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (29/7).
Silaturahmi diikuti ratusan peserta dari unsur Pembina, Pengawas, Pengurus Harian, dan lembaga-lembaga di lingkungan Dewan Dakwah. Acara juga dihadiri anggota keluarga eks Masyumi seperti pengacara M Luthfie, penyair Taufiq Ismail, dan lain-lain.
Pimpinan Pesantrean Al Husnayain yang akrab disapa Kyai Achor melanjutkan, jangan sampai kita buta politik. ‘’Kata Pak Natsir, kalau buta politik maka kita akan digilas oleh politik. Politik merupakan bagian dari dakwah,” ujarnya bersemangat.
Ia mempersilakan seluruh kader Dewan Dakwah untuk beraktivitas politik praktis melalui partai politik untuk memperjuangkan Islam. Jika perlu, membentuk parpol sendiri yang benar-benar idiologis.
“Parpol yang saya usulkan adalah parpol dengan ideologis-Islami untuk menjadi wadah kader Dewan Dakwah. Sehingga, suatu saat umat Islam bersatu dalam satu partai dan selalu memenangkan Pilkada dan Pilpres,” imbuhnya.
Selain beraktivitas, Kyai Achor juga mengajak jamaah untuk menggiatkan jihad. Pengertian jihad, terangnya, tidak hanya konfrontasi di medan perang tapi juga dapat dengan mengerahkan pikiran, ilmu, tenaga, dan harta yang dimiliki.
“Jihad adalah mengerahkan segala potensi. Seorang Kapolri misalkan, dia harus menggunakan jabatanya untuk kepentingan Islam di jalan Allah SWT. Jangan malah sebaliknya. Kita buktikan bahwa kita bukan mukmin abal-abal, mukmin ecek-ecek,” tandasnya.
Pembina Dewan Dakwah, Dr Adian Husaini, menuturkan, Dewan Dakwah didirikan pada 17 Dzulqa’dah 1386 H/27 Februari 1967. Para pendirinya tokoh-tokoh Islam terkemuka di Indonesia, yang juga para pendiri bangsa (founding fathers), seperti Dr. Mohammad Natsir (Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia), Prof. HM Rasjidi (Menteri Agama Pertama), Mr. Mohammad Roem (Menteri Luar Negeri RI, dan penandatangan Perjanjian Roem-Van Roejen), Mr. Sjafroedin Prawiranegara (Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia pertama), Mr. Burhanuddin Harahap, Prawoto Mangkusasmito, Prof. Kasman Singodimedjo, Osman Raliby, HM Yunan Nasution, Datok Palimo Kayo (mantan Duta Besar di Irak), dan sebagainya.
Ketika itu, rezim Orde Baru baru saja memegang tampuk kekuasaan. Umat Islam sangat berharap rezim ini akan mengakomodasi aspirasi Islam. Harapan itu begitu besar, mengingat belum lama, umat Islam dan TNI bahu-membahu dalam melawan kekuatan komunis di Indonesia.
Namun, harapan itu ternyata tidak terwujud. Gelagat rezim Orde Baru untuk menindas aspirasi politik dan ideologi Islam sudah semakin menonjol. Islam dianggap sebagai ancaman bagi program politik dan pembangunan ala Orde Baru, yang kemudian ternyata mengikuti skenario ‘pembangunanisme’ ala IMF. Stabilitas nasional – termasuk stabilitas ideologi – dijadikan prioritas. Pancasila, bukan saja dijadikan sebagai dasar negara, tetapi kemudian dikembangkan sebagai ‘pandangan hidup’ dan ‘pedoman moral’ bangsa. Padahal, masing-masing agama sudah memiliki sistem dan nilai moral sendiri.
Proses de-Islamisasi dilakukan secara bertahap dan sistematis. Dalam politik, misalnya, partai Masyumi tidak diizinkan untuk dihidupkan kembali. Secara bertahap, berbagai penataan di bidang politik dilakukan. Pada pemilu pertama era Orde Baru, tahun 1971, ada sekitar 2.500 tokoh-tokoh Masyumi dilarang untuk dicalonkan. Tahun 1973, dilakukan fusi partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nama partai ini sudah tidak khas Islam lagi. Yang tersisa adalah simbolnya (Ka’bah) dan asasnya (Islam). Secara bertahap, simbol Ka’bah pun diganti dengan gambar bintang. Dan tahun 1983 keluar Undang-undang asas tunggal untuk partai-partai yang mewajibkan semua partai politik berasaskan Pancasila. Tahun 1985, ketentuan asas tunggal ini dikenakan untuk Ormas.
Menghadapi situasi dakwah yang seperti itu, para tokoh Islam yang dulunya aktif dalam Partai politik Masyumi, mulai merumuskan langkah dakwah yang baru. Mereka kemudian berkumpul di Masjid al-Munawarah Tanah Abang Jakarta.
Dari situlah tercetus ide pembentukan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, yang secara resmi didirikan pada 27 Februari 2007. Posisi ketua umum diamanahkan kepada DR M Natsir dengan Sekretaris Umum Buchari Tamam. [Ahmad Zuhdi]