Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) beberkan data sebagai catatan akhir tahun tentang jumlah laporan pengaduan kasus tentang anak. KPAI telah menerima 3.849 kasus terhitung dari Januari 2017 hingga sekarang.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Dr. Susanto, MA selaku ketua umum KPAI mengatakan, kualitas dan kompleksitas kasus kekerasan terhadap anak semakin meningkat.
“Hal ini dapat dilihat misalnya kasus video pornografi yang korbannya lebih dari 750 ribu anak serta kasus-kasus bullying yang masih terjadi di sekolah-sekolah di tanah air,” kata Susanto, kepada Warta Pilihan, Jum’at, (29/12/2017).
Susanto memaparkan, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, berdasarkan laporan pengaduan KPAI jumlah korban dan pelaku usia anak mencapai 28.284 orang dengan jumlah korban dan pelaku berjenis kelamin laki-laki.
“Hal ini mengkonfirmasi berbagai temuan kementrian dan lembaga bahwa anak laki-laki memiliki kerentanan yang tinggi baik sebagai pelaku maupun korban. Pada tahun 2017, anak laki-laki sebanyak 1.234 atau 54% dan anak perempuan sebanyak 1064 atau 46% sebagai korban dan pelaku,” tutur dia.
Terlebih, berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM, Anak yang berada di LPKA meningkat sebanyak 90 anak (2.319 menjadi 2.409) dan di LPAS meningkat 180 anak (905 menjadi 1.084) pada tahun 2017 dibandingkan dengan tahun 2016.
Kini, Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum masih menjadi kasus tertinggi di KPAI dengan kasus sebanyak 1209 kasus, diikuti dengan kasus bidang Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 593 kasus, dan kasus pornografi dan cybercrime sebanyak 514 kasus. Sejak tahun 2016, kasus bidang pornografi dan cybercrime jumlah kasusnya bertambah dan menggantikan posisi bidang pendidikan.
Pada kasus anak berhadapan dengan hukum, anak sebagai pelaku kekerasan sebanyak 530 sedangkan anak sebagai korban 477.
“Dari data tersebut, KPAI berpandangan bahwa kerentanan anak saat ini tidak lagi hanya menjadi korban tetapi juga menjadi pelaku. Meskipun anak pelaku tersebut juga merupakan ‘korban’ dari problem pengasuhan di keluarga maupun situasi lingkungan yang kurang mendukung,” tukas Susanto.
Salah satu faktor anak yang demikian ialah karena tingginya perceraian yang mencapai 19,9% pada tahun 2016 menyebabkan konflik orang tua yang berdampak kepada anak. Padahal, menurutnya, seharusnya kepentingan terbaik bagi anak menjadi prioritas orang tua.
“KPAI mendorong reformasi hukum perlindungan anak paska perceraian orang tua dengan mendorong kepastian hak kuasa asuh, pemenuhan hak akses bertemu, dan pemenuhan hak nafkah. Selain itu, KPAI mendorong Presiden untuk meratifikasi the Hague Convention on Child Abduction sebagai dorongan mekanisme pemenuhan hak anak dari ‘penculikan’ oleh salah satu orang tua di level nasional,” tandasnya.
Kasus-kasus pornografi dan kejahatan seksual terhadap anak di dunia maya pun menjadi problem serius di era digital. Pada satu kasus pornografi dan kejahatan terhadap anak di dunia maya bisa jadi tindakan kriminalitasnya sedikit. Namun demikian, korbannya bisa ratusan bahkan ribuan.
“Diperlukan upaya maksimal untuk melakukan identifikasi korban kekerasan seksual terhadap anak di dunia maya agar mereka mendapatkan rehabilitasi optimal. Selain itu, literasi internet sehat kepada anak-anak sudah harus menjadi keharusan di era globalisasi yang perlu diikuti dengan kebijakan informatika yang ramah anak,” pungkasnya.
Ia menekankan, peran banyak elemen masyarakat sangat penting untuk mengoptimalkan perlindungan anak. “Sebagai ikhtiar untuk mewujudkan Indonesia Ramah Anak, maka peran orang tua, keluarga, sekolah, kelompok-kelompok masyarakat, komunitas adat, kelompok lintas agama, perlu mengoptimalisasikan perlindungan anak dalam setiap peran yang dilakukan,” imbuh Susanto.
Eveline Ramadhini