Wartapilihan.com, Suriah – Enam tahun kekerasan dan pertumpahan darah telah melahirkan krisis kesehatan mental pada anak-anak Suriah yang dampaknya akan dirasakan selama beberapa dekade, kata badan amal internasional, Save the Children, pada hari Selasa (7/3).
Dalam laporan yang disebut sebagai survei kesehatan mental terbesar di dalam wilayah Suriah selama perang, badan amal tersebut menemukan bahwa anak-anak Suriah semakin dilumpuhkan oleh ketakutan atau kemarahan.
Sebagian besar anak-anak—dua pertiga di antaranya telah kehilangan orang yang dicintai, kehilangan rumah akibat pengeboman, atau terluka—memperlihatkan tekanan emosional yang parah dan tidak memiliki dukungan psikologis, katanya, “dengan orang tua yang berjuang sendiri untuk mengatasi hal tersebut”.
Hal tersebut berakibat pada gangguan dan kesulitan untuk tidur, perilaku menyakiti diri sendiri, dan usaha bunuh diri. Beberapa di antaranya telah kehilangan kemampuan untuk berbicara.
Penelitian ini berdasarkan pada wawancara di tujuh provinsi dengan lebih dari 450 anak-anak, orang tua, guru, dan psikolog, terutama di daerah yang dikuasai pemberontak termasuk Idlib, Aleppo, dan Hasaka—yang dikendalikan oleh Kurdi.
konflik telah menewaskan ratusan ribu orang, membuat lebih dari 11 juta orang Suriah kehilangan tempat tinggal, dan menciptakan krisis pengungsi terburuk di dunia.
Beberapa anak terpaksa bergabung dengan kelompok bersenjata untuk bertahan hidup, kata Save the Children.
“Mereka telah melihat teman-teman dan keluarga mereka tewas di depan mata mereka atau terkubur di bawah reruntuhan rumah mereka,” kata laporan itu. “Mereka adalah generasi penerus yang akan harus membangun kembali negara mereka yang telah hancur.”
Stres Toxic
Jika tidak diobati, kata laporan itu, trauma harian bisa memiliki konsekuensi lainnya, yaitu mengganggu perkembangan otak selama masa pertumbuhan dan cenderung menyebabkan meningkatnya masalah kesehatan setelah dewasa, termasuk depresi dan penyakit jantung.
Hasil wawancara mengungkapkan, sebagian besar anak-anak telah menjadi lebih agresif atau menunjukkan beberapa gejala gangguan stres pasca-trauma.
“Anak saya bangun dengan ketakutan di tengah malam. Dia bangun sambil berteriak,” laporan itu mengutip Firas, ayah dari seorang anak laki-laki berusia tiga tahun.
Kurangnya sekolah telah memperburuk krisis. Satu dari tiga sekolah telah menjadi puing-puing, sisanya digunakan untuk penampungan pengungsi, berubah menjadi pangkalan militer, atau ruang penyiksaan, kata badan amal tersebut.
Hal ini dikutip dari salah satu guru di kota yang terkepung di Madaya yang mengatakan murid “membuat gambar anak-anak yang dibantai dalam perang.”
Laporan itu juga menyebutkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga, anak-anak muda yang direkrut ke dalam kelompok-kelompok bersenjata, dan anak perempuan menikah pada usia 12 tahun.
Badan amal tersebut menyerukan agar program kesehatan mental lebih ditingkatkan di seluruh Suriah, tersedianya dana yang memadai untuk sumber daya psikologis, dan pelatihan bagi para guru.
Badan amal itu menambahkan: “Pada akhirnya, anak-anak menginginkan penyebab utama stres mereka—kekerasan yang terus menghujani desa dan kota-kota Suriah dengan impunitas—untuk diakhiri.” Demikian dilaporkan Reuters.
Reporter: Moedja Azim