Investasi dana haji menjadi polemik, apakah dapat di produktifkan untuk infrastruktur seperti jalan tol atau penginapan di sekitar Masjidil Haram.
Wartapilihan.com, Jakarta —Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PAN Ali Taher Parasong menuturkan, perlu penjelasan etimologis apa maksud dari infrastruktur. Apabila infrastruktur menyangkut dana BPIH, maka sesuai dengan undang-undang nomor 34 tahun 2014 sudah ada pembatasnya. Pembatasan pertama terletak pada pasal 3 bahwa pengelolaan dana haji bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji.
“Kalau untuk pembangunan infrastruktur, infrastruktur di jalankan oleh siapa? BUMN. Kira-kira selama ini BUMN untung atau rugi? Peraturan pemerintah mengenai investasi belum ada karena BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) belum memiliki bussiness plan, tidak punya kantor dan aktifitas yang jelas,” kata Ali Taher dalam acara diskusi di Media Center, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/8).
Kedua, rasionalitas dan efisiensi dari penggunaan dana haji. Ketiga, kepentingan atau manfaat bagi umat Islam bukan hanya di pasal 34 tetapi di pasal 26 dinyatakan dengan tegas bahwa pengelola keuangan haji di dalam BPIH harus secara transparan dan akuntabel, untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi jamaah haji dan umat Islam.
“Pertanyaan berikutnya apabila itu digunakan untuk kepentingan non umat Islam atau non haji, lantas di mana cantolan hukumnya? Pandangan yuridis itu kita melihat tidak ada celah selain kepentingan umat Islam atau jamaah haji. Maka isu yang berkaitan dengan dana haji untuk pembangunan infrastruktur secara undang-undang tidak dibenarkan,” ungkap politisi dari Partai Amanat Nasional tersebut.
Sebab, menurutnya, prinsip dalam Undang-Undang jika ada diskresi maka dapat diubah undang-undang tersebut, tetapi jika tidak ada diskresi, maka tidak dijalani untuk pembangunan infrastruktur dari dana jamaah haji.
“Komisi VIII sampai saat ini tegas tidak ada kepentingan dana PPIH untuk pembangunan infrastruktur apalagi hard infrastruktur seperti pembangunan Jalan Raya, Jalan Tol dan lain-lain. Yang di maksud infrastruktur itu adalah infrastruktur haji. Apakah itu Hotel atau perbaikan fasilitas-fasilitas haji, Maka kalau di luar itu tidak ada jalan,” tandasnya.
Selain itu, simpul Ali Taher, Komisi VIII DPR RI tidak hanya memanggil Menag tetapi memanggil pihak-pihak terkait setelah BPIH termasuk badan pengawas atau sarana prasarana. Namun, posisi BPKH saat ini belum jelas dimana mitranya karena menyangkut dana masyarakat.
“Investasi dalam pasal 88 itu boleh dalam investasi lain. Misalnya investasi emas uang dan lain-lain sepanjang itu tidak bertentangan dengan syariah. Tanpa pendekatan Syariah, investasi itu tidak bisa dibenarkan,” pungkasnya.
Dalam kesempatan sama, Sektetaris Majelis Fatwa MUI Asrorun Niam menyatakan, pada prinsipnya dana calon jemaah haji yang sudah dibayarkan untuk rencana pemberangkatan haji namun masih waiting list, secara syar’i masih milik jamaah.
“Jamaah memiliki otoritas terhadap uang yang dimiliki, tetapi untuk kemaslahatan dana itu bisa di-tasharuf-kan untuk kepentingan yang produktif misalnya untuk kepentingan sukuk. Namun pihak pengelola harus memenuhi persyaratan setidaknya ada 4. Pertama, kepentingan investasi itu harus memenuhi prinsip kepatuhan Syariah,” kata Niam.
Kedua, ada nilai kemanfaatan yang kemudian balik kepada calon jamaah yang punya dana tadi. Ketiga, instrumen keuangan atau jenis investasi harus dipastikan aman low risk sekalipun dengan return yang rendah. Dalam teori ekonomi dikenal high risk high return.
“Jadi jangan hanya karena ingin mengejar return yang tinggi kemudian spekulasinya tinggi itu tidak diperkenankan. Prinsipnya adalah aman,” jelas dia.
Keempat, adalah Liquid karena dana ini pada hakikatnya ditujukan untuk kepentingan penyelenggaraan ibadah haji. Disinilah peran BPKH sesuai dengan mandat undang-undang 34 tahun 2014 soal penempatan pada infrastruktur. Secara operasional harus dikaji visibilitasnya.
“BPKH secara undang-undang badan hukum publik yang pembiayaannya diambil dari dana ini (dana haji) bukan dari dana APBN. Meski demikian, analoginya posisi BPKH itu mirip kalau dalam masalah wakaf Nazir atau dalam masalah zakat Amil. Dia dapat mendayagunakan pengelolaan untuk kepentingan dan kemaslahatan pemilik dana tersebut,” imbuhnya.
Menurutnya, 5 tahun sebelum hiruk-pikuk ini tepatnya 1 Juni 2012 yang menyatakan pada prinsipnya dana haji bisa di-tasharuf-kan untuk kepentingan yang bersifat produktif dan memenuhi asas kepatuhan syariah.
“Infrastruktur kan banyak banyak sifat dan jenisnya. Kalau infrastruktur memenuhi 4 syarat ini apa masalahnya. Misalnya untuk kepentingan jamaah di Mekkah yang kemudian dengan itu menekan harga yang dibebankan kepada para jamaah, ini bagus juga manfaatnya balik pada para jamaah,” terang dia.
Sebab, pengertian penggunaan di luar jamaah ini bukan investasinya tetapi pemanfaatannya seperti sukuk. Bisa aja investasinya tidak terkait langsung tetapi manfaatnya berkait langsung.
“Yang menentukan ini aman itu bukan MUI. Kriteria keamanan lebih pada aspek visibilitas kemudian resikonya sejauh mana dan likuiditas. Yang paling penting bagaimana Pemerintah menjawab permasalahan-permasalahan yang sering kali muncul. Misalnya biaya mahal, fasilitas kurang, ini bisa tertutupi minimal,” tutup Niam.
Ahmad Zuhdi