Koalisi menyatakan desakan kepada presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE.
Wartapilihan.com, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.
“Pertama, seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi,” ujar Peneliti Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga dalam keterangannya di Jakarta.
Dalam keyakinan ICJR, LBH Pers dan IJRS, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”. Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas.
“Selama ini Pasal 27 ayat satu UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender,” tutur dia.
Pasal 27 ayat tiga juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online. Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal. “Pasal ini seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas,” katanya.
Komentar umum PBB No. 34 merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi, jika tidak memungkinkan aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara. Selain itu, pidana penghinaan pun tidak lagi relevan dalam banyak aspek menggunakan hukum pidana, aparat sudah mulai harus mengarahkan delik penghinaan ke ranah perdata yang memang sudah diakomodir misalnya dalam 1372 KUHPerdata (BW).
Contoh lainnya adalah pasal tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
“Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden,” katanya.
Maka itu, Koalisi menyatakan desakan kepada presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE. Kedua, desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk mencabut semua pasal pasal karet yang kerap kali menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat oleh masyarakat
“Ketiga, desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk merevisi ketentuan hukum acara pidana dalamn UU ITE agar dapat menjamin adanya fair trial dan sinkronisasi dengan perubahan KUHAP kedepan, salah satunya memperkuat judicial scrutiny (izin pengadilan untuk melakukan upaya paksa),” katanya.
Keempat, desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk merevisi ketentuan mengenai kewenangan pemerintah eksekutif yang terlalu besar untuk melakukan pemutusan akses elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE. Kelima, desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk mengevaluasi secara menyeluruh implementasi UU ITE oleh aparat penegak hukum, termasuk mendorong aparat untuk memiliki pemahaman dan perspektif hak asasi manusia dan profesionalitas dalam menangani setiap perkara UU ITE.