Tanggal 10 Ramadhan, hari ini, adalah hari wafatnya istri Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa Sallam, Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai (555-620 M), bertempat di Mekah, Arab Saudi.
Wartapilihan.com, Jakarta – Rasulullah Muhammad Saw bersabda “Sebaik-baik perempuan penghuni surga adalah: Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun dan Maryam binti Imran.”
Rasulullah sangat mencintai sang istri, Khadijah. Ketika Khadijah harus pulang kehadiratNya lebih dulu yang hampir bersamaan dengan meninggalnya Abu Thalib, membuatnya sangat bersedih hingga dalam Sirah Nabawiyah sering disebut sebagai Tahun Kesedihan (‘Aamul Huzni).
Bahkan Aisyah pun sempat cemburu mendengar Nabi berkata, “Dia (Khadijah) adalah seorang wanita terbaik, karena ia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbangan, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan seluruh harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak kudapatkan dari isteri-isteri yang lain,” kenang Rasul setelah kepergiannya.
Sesungguhnya apa yang telah membuat Rasul kian terkenang dengan Khadijah, di tengah pernikahan yang berlangsung selama kurang-lebih 25 tahun tersebut? Rasulullah pun menikah Khadijah dalam keadaan janda, dan lebih tua dari nabi sekitar 15 tahun.
Khadijah adalah istri yang sangat mengabdi pada suaminya. Ia selalu mendampingi Rasul ketika Rasul sedang kepayahan pada awal mula berdakwah dan menerima Wahyu. Ketika pertama kalinya mendapatkan wahyu di Gua Hira tentang ayat pertama Al-Quran surat Al-Alaq, ia pulang ke rumah dalam keadaan gemetar dan berguncang hebat, karena menerima isi kalam yang dahsyat. Di rumah ia disambut oleh Khadijah, badannya sungguh menggigil dan belum sempat ia bercerita. Kemudian, tanpa bertanya atau ikut panik, justru dengan tenangnya ia menyelimuti Sang Nabi dan menemaninya hingga normal kembali.
Begitu pun, ketika Nabi bercerita kepadanya bahwa ia diutus menjadi Nabi sehingga ada rasa gundah dan takut, Khadijah menyemangati Nabi dengan berkata, “Berbahagialah wahai putra pamanku dan teguhlah engkau. Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada di tangan-Nya! Sungguh aku berharap engkau menjadi nabinya umat ini.” (Ibnu Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah, 1/236).
Salah satu kegundahan sang Rasul, ia berkata kepada Khadijah, “Sungguh aku melihat suatu cahaya. Aku mendengar suara. Aku takut kalau aku gila.”
Dengan tenang, Khadijah menjawab, “Tidak mungkin Allah akan membuatmu demikian wahai putra Abdullah.” Kemudian, Khadijah menemui Waraqah bin Naufal. Ia ceritakan keadaan tersebut padanya. “Jika benar, maka itu adalah Namus seperti Namusnya Musa. Sekiranya saat dia diutus dan aku masih hidup, aku akan melindunginya, menolongnya, dan beriman kepadanya,” kata Waraqah. (HR. Ahmad 2846).
Dari kisah tersebut dapat didapatkan hikmah bagi para istri masa kini, bahwa seorang istri terbaik, bukan selalu yang pandai memasak, pandai membersihkan rumah, dan lain sebaginya. Melainkan, selalu ada ketika dibutuhkan, dan mencoba mengerti juga selalu menghargai apapun yang ada pada diri suami. Seperti Khadijah, istri yang selalu mendampingi Rasul dalam keadaan senang maupun susah, dan mengokohkan langkah suami dalam menempuh misi hidupnya.
Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala dalam QS Ar-Ruum ayat 21, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Eveline Ramadhini