Kenapa Hanya Bahasa Mandarin Untuk Lulusan Madrasah Aliyah?

by

Saya setuju bahasa Mandarin menjadi salah satu kompetensi lulusan Madrasah Aliyah. Bahkan tidak cuma Bahasa Mandarin, perlu juga bahasa Jepang, Korea, Tagalog, Amerika Latin, Perancis, Jerman, Itali, Nilo-Sahara, Niger Kongo, Tasmania, Torres, dan sebagainya. Sebab lulusan Madrasah Aliyah sudah selayaknya jadi da’i atau calon ulama.

Wartapilihan.com, Jakarta– Mereka yang sudah mahir berbahasa Latin, misalnya, difasilitasi pemerintah dalam hal ini Depag, untuk berdakwah di Argentina, Brazil, Meksiko, Peru, Chili dll. Mereka dibiayai pemerintah pergi ke sana, membangun masjid atau Islamic Centre, membina dan mengembangkan masyarakat muslim di sana sampai mereka mandiri dan bisa jadi warga negara sana (syukur-syukur menikah dengan orang sana).

Jadi, kompetensi bahasa asing lulusan Madrasah Aliyah bukan untuk bersaing dengan lulusan SMA dalam berebut lapangan kerja. Terlalu rendah bagi mereka kalau diarahkan menjadi kuli atau pekerja yang mengisi sector-sektor industri. Mereka itu adalah da’i, calon ulama, calon pemimpin, calon tokoh masyarakat. Fasilitasi mereka untuk menjadi ulama (tentu bahasa Arab dan Inggris sudah menjadi makanan sehari2 seperti halnya bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia dan bhs daerah masing2). Berikan mereka modal yang cukup untuk pergi berdakwah ke negeri orang. Begitulah para ulama kita jaman dahulu. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa Islam sampai di negeri ini.

Sungguh mulia niat pemerintah dalam hal ini Depag yang mengirim da’i dan ulama ke negeri lain. Selain menyebarkan agama Islam, mereka pasti nanti punya hubungan emosional dengan bangsa Indonesia, sungguhpun mereka sudah menjadi warga negara sana. Mereka bisa jadi “kaki tangan” dubes dan diplomat kita di luar negeri untuk membangun hubungan yang positif antar kedua negara.

Kalau demikian terjadi, niscaya pak menteri agama akan dikenang jasa-jasanya menyebarkan Islam dan diaspora penduduk Indonesia ke seluruh dunia. Bayangkan hasilnya 40-50 tahun ke depan. Bayangkan mereka seperti wali songo yang berdakwah di nusantara beberapa ratus tahun lalu. Mungkin yang sekarang kita kirim kelak bisa jadi presiden di sana. Pak menteri sukses dunia akhirat!

Tapi sekali lagi, jangan paksakan mereka untuk masuk dunia industri. Madrasah Aliyah disiapkan untuk jadi da’i dan ulama. Memang tidak semua jadi da’i dan ulama, sama seperti lulusan pertanian tidak semua jadi petani. Kalau mereka diarahkan menjadi pegawai, selain tidak akan bisa bersaing (persaingan sudah dimulai selama 12 tahun, tidak bisa begitu saja dimenangkan dengan mempelajari bahasa asing), hidup mereka akan terlunta-lunta dan hina, padahal Allah sudah muliakan mereka dengan ilmu agama. Ada juga yang sukses sih, tapi ya tidak bakal banyak.

Ilmu agama para lulusan Madrasah Aliyah, seperti Pak Menang bilang sudah tinggi, tinggal diarahkan sesuai kompetensinya. Jangan bilang buat apa ilmu agama tinggi-tinggi kalau tidak bisa bersaing (dalam bisnis). Itu sama saja dengan bilang, buat apa Mick Tyson punya keahlian tinju tinggi-tinggi kalau tidak bisa menang badminton melawan Taufik Hidayat (dua-duanya sudah pensiun).

Jika yang menjadi da’i dan ulama tidak ada, karena mereka sibuk berbisnis, sementara ulama yang ada satu persatu meninggal, maka dunia ini akan diisi oleh orang-orang yang bodoh. Maka terbuktilah apa sabda nabi saw:

“Sesungguhnya Allah tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.“ (HR Bukhari)

Naudzu billah min dzalik.

Budi Handrianto (Dosen UIKA Bogor)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *