PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dengan sistem zonasi merupakan strategi pemerintah dalam mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional perlu diapresiasi. Namun, di sisi lain terdapat banyak kasus yang menimbulkan reaksi di masyarakat.
Wartapilihan.com, Jakarta –Disahkannya Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang sistem zonasi dalam PPDB pada dasarnya bertujuan untuk pemerataan dan meminimalisir mobilitas siswa ke sekolah tertentu.
Hal tersebut diungkapkan Heru Purnomo (Sekjen FSGI). Ia mengatakan, berdasarkan hasil temuan Federasi Serikat Guru Indonesia, ada beberapa masalah seperti yang terjadi di Lampung terdapat jalur mandiri, juga ada jalur SKTM di Jawa Tengah; juga, ada jalur masyarakat pra sejahtera di Jawa Barat.
Kelemahan sistem zonasi ini, terang Heru, bermula dari Pemendikbud No 14 Tahun 2018, Bab III tentang tata cara PPDB. Pada bagian ke 6 tentang biaya di pasal 19 , berbunyi:
“Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yg berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 % dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM.”
Bahkan, di Mataram NTB, sekolah di haruskan menerima 25% siswa dari jalur prasejahtera yang dibuktikan dengan kartu PKH (program Keluarga Harapan) atau KIP, sehingga menimbulkan gejolak dari pemegang kartu-kartu lain seperti KIS, KKS yang akhirnya harus di akomodir.
Heru pun mempertanyakan, “Mengapa dari pemahaman pasal di atas muncul penerimaan calon peserta didik baru dengan jalur SKTM? Seperti yang terjadi di Jateng dan Jabar, padahal dibagian ke 4 sistem zonasi pada pasal 16 ayat 1-6 tidak ada istilah jalur SKTM.”
Kedua, juga terlihat pada pasal 16 ayat 2 yang mengatakan, “Domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah di dasarkan pada alamat Kartu Keluarga ( KK) yg diterbitkan paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB.”
“Pasal ini tidak terukur dengan jelas alasan migrasi dukcapilnya dari suatu daerah ke daerah lain sehingga secara faktual, sehingga banyak ditemukan migrasi dukcapil dipergunakan untuk memperoleh peluang bersekolah di sekolah negeri (favorit) yang mengakibatkan menutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut.” tutur Heru.
Fakta seperti ini yang dilakukan oleh siswa berinisial F dari Cibinong, Bogor bersama kakaknya dengan cara menumpang KK di keluarga saudaranya yang berada di Kramat Jati, Jakarta Timur, yang selanjutnya diterima bersekolah di SMA Negeri di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur dan kakaknya diterima di SMA Negeri di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Heru mengungkapkan, akibat dari cara yang dipergunakan oleh oknum orang tua seperti di atas ialah terjadinya migrasi dukcapil yang terindikasi “mengelabui” dengan konsekuensi (1) Sibuknya mobilitas migrasi dukcapil di DKI Jakarta, (2) masalah administrasi pendudukan dengan menumpang nama di KK dari keluarga di dekat sekolah.
Selanjutnya, terkait dengan radius terdekat yang terdapat pada pasal 16 ayat 1 dikatakan, “Sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yg diterima.”
Menurut Satriwan, Wasekjen FSGI, pasal tersebut dapat membatasi sekolah yang ada di posat kota yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga.
“Sehingga minimnya jumlah siswa alih jenjang, yang menjadi rebutan dari sekolah-sekolah yang saling berdekatan. Fakta seperti di atas terjadi di kota Solo, pada SMPN 3, SMPN 25, dan SMPN 26. Dan jika sekolah tersebut menerima dari siswa dari luar zonanya maka prosentasenya hanya 5 %,” tukas dia.
“Kelemahan pasal di atas juga membawa kerugian bagi sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya sehingga berakibat bagi guru-guru yang berada di sekolah tersebut tidak terpenuhinya jumlah jam mengajar 24 jam yang berakibat tidak mendapat tunjangan sertifikasi yg selama ini diterima,” demikian pungkas Satriwan yang juga merupakan guru di salah satu sekolah swasta di Jakarta Timur.
Oleh karenanya, FSGI merekomendasikan agar melakukan perbaikan Bab II pada pasal 19 ayat satu sampai tiga, agar tidak menimbulkan kerancuan. Hal itu dapat dilakukan dengan membuat Surat Edaran Mendikbud untuk menjelaskan pasal-pasal bermasalah tersebut secara gamblang.
“Sebab untuk perbaikan Permendikbud tentu membutuhkan waktu agak lama (sedangkan PPDB sedang berlangsung),” tegasnya.
Heru juga menekankan, perlu dilakukan penegasan pada pasal 16 ayat 2 dalam migrasi dukcapil dalam satu KK paling lambat 6 bulan karena Mutasi dinas orang tuanya/kerja/pindah pemukiman sehingga secara administrasi kependudukan tetap berfungsi untuk memberikan perlindungan bagi keluarga tersebut.
Pemerintah, menurut Heru, perlu untuk memetakan kembali zonasi secara cermat hingga tingkat kelurahan/desa, meningkatkan sarana pendidikan (mendirikan sekolah-sekolah di tiap kecamatan) untuk alih jenjang agar terjadi pemerataan pendidikan.
“Juga meningkatkan anggaran pendidikan untuk kemajuan pendidikan dasar dan menengah sehingga problem pendidikan selama ini bisa berangsur-angsur mengalami peningkatan secara kualitatif dan berkeadilan,” pungkasnya.
Heru juga turut menghimbau kepada orangtua dan pengurus RT/RW agar bertindak jujur untuk mengeluarkan SKTM atau Surat Keterangan Tidak Mampu.
“Kasus meningkatkanya pembuatan SKTM oleh oknum orang tua yang ternyata adalah keluarga yang mampu demi bisa bersekolah di sekolah favorit tertentu, sangat merugikan bagi siswa-siswa lain yang secara nilai sangat memungkinkan untuk diterima di sekolah tersebut,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini