Tahukah Anda? Kecanduan gawai (gadget) telah jadi candu non-narkoba terbesar. Bahkan, ada sebuah penelitian yang menunjukkan hasil scan otak remaja dengan internet addiction disorder (IAD); hasilnya sama dengan otak orang-orang yang kecanduan alkohol, kokain atau ganja.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hal tersebut disampaikan dr. Agnes Tri Harjaningrum, SpA, dokter spesialis anak. Ia mengatakan,
kerusakan otak anak tersebut terjadi pada area yang memengaruhi proses emosional, perhatian dan area pengambilan keputusan.
“Tidak heran kalau kemudian badan kesehatan dunia WHO memasukan gaming disorder sebagai salah satu masalah kejiwaan. Jika anak bermain hape dan hapenya diambil kemudian dia menjadi tantrum, marah besar, mengganggu kehidupan sosial, menurunkan prestasi sekolah, dan berlangsung terus -menerus berbulan-bulan, artinya si anak sudah bisa masuk dalam kriteria kecanduan digital,” tutur Agnes, Jum’at, (13/7/2018).
Jika anak kecil menggunakan gadget tidak terkontrol, menurut Agnes dapat berdampak dalam meningkatkan resiko ADHD, terlambat bicara, tingkah laku agresif, penurunan konsentrasi dan lainnya.
“Sementara untuk anak remaja, dampaknya bahkan bisa membuat depresi hingga bunuh diri, mengganggu pola tidur, pola makan, obesitas, gangguan konsentrasi, bulying, gangguan belajar, pornografi dan masih banyak yang lainnya,” tegasnya.
Agnes menekankan, gawai tidak selamanya berbahaya, bahkan banyak manfaat bagi remaja asal dapat digunakan dengan bijak.
Sebuah penelitian pada remaja di Inggris menyatakan, asal digunakan secara moderate/tidak berlebihan, digital media tidak harmful bahkan dapat bermanfaat asal contentnya bermanfaat.
“Seberapa lamakah moderate itu? Untuk remaja dalam penelitian itu dikatakan 2 sampai 4 jam saja dalam sehari. Kalau mengikuti AAP (American Academy of Pediatrics), anak dibawah 2 tahun tidak boleh diberikan gadget sama sekali, usia 2 sampai 5 tahun hanya boleh 1 jam per hari, itupun disarankan tontonannya yang edukatif seperti Sesame Street,” terang dia.
Agnes melanjutkan, menggunakan digital media sangat berkaitan erat dengan pola asuh orangtua.
Ia menceritakan, ada sebuah kasus dimana ibu memberikan apa saja yang dimau anaknya karena kehilangan kakaknya yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, sang anak tidak mau melepas gadgetnya dan akan marah dan ‘ngamuk’ apabila gadgetnya diambil.
“Kasus dengan latar belakang orangtua seperti ini mungkin langka, tapi di jaman sekarang berapa banyak orangtua yang telah menjadikan gadget sebagai ‘baby sitter’ baru? Anak nangis sedikit sodorin hape, anak merengek minta main sama ayah, tapi ayah sibuk, kasih ipad,”
Cegah Anak Ketagihan Digital Media
Penulis buku Smart Patient ini mengungkapkan, jalan satu-satunya untuk mencegah ketagihan digital media adalah dengan pola asuh orangtua yang dapat dengan tegas memberikan rambu-rambu pemakaian gadget daan memberikan alternatif kegiatan yang menarik.
“Seringkali, orangtua tidak tegas dan tidak konsisten menjalankan kesepakatan yang ada, atau malah orangtuanya yang kecanduan hape dan tentu saja dicontoh anaknya,”
Ia menambahkan, bagi orangtua berpendidikan dan tinggal di kota besar bisa belajar sendiri cara pola asuh yang baik, dengan mengikuti kelas parenting.
“Pilihan lainnya, masukan saja anak ke full day school atau pesantren yang melarang adanya hape, gampang kan?”
Bagi orangtua yang tinggal di pelosok desa, ia memikirkan betapa sulitnya. Maka dari itu, mengingat sulitnya menjadi orangtua, pemerintah dapat berperan untuk mengadakan kelas parenting di setiap sekolah negeri.
“Mungkin jalan masih akan sangat panjang untuk menuju sebuah perubahan, tapi setidaknya selamatkan lah anak-anak kita sendiri dan sekitar kita supaya si setan gepeng tidak menyedot kehidupan kita terlalu dalam ke pusarannya. Karena kalau sampai kecanduan efeknya sungguh merusak generasi bangsa,” pungkas Agnes.
Eveline Ramadhini