Kasus Muslim Rohingya, Konflik Agama atau Ras?

by
https://cdn.tmpo.co

Konflik sosial yang terjadi di Myanmar antara Budha Arakan dan Muslim Rohingya memacu banyak analisa. Ada yang memandang konflik ini dikarenakan ras, juga ada yang menyatakan karena agama. Bagaimana pandangan pakar sejarah Alwi Alatas?

Wartapilihan.com, Depok – Konflik yang mengorbankan ratusan ribu korban jiwa ini menjadi tragedi yang cukup mengerikan di Asia. Kenyataannya, konflik ini penyebabnya sangat kompleks, mulai dari kebijakan pemerintah yang meminggirkan muslim Rohingya, ditambah lagi dengan konflik horizontal antara Budha Arakan dengan Muslim Rohingya.

Menurut Alwi Alatas sebagai pakar sejarah, ia melihat konflik ini sebagai fenomena sosial-keagamaan, tidak hanya masalah ras, tetapi juga masalah agama. Keduanya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan.

“Mungkin saja rasnya lebih menonjol, tapi bukan berarti konflik agama tidak ada. Karena tidak bisa dipisahkan, keduanya tercampur,” ungkap Alwi, kepada Warta Pilihan, Rabu, (27/9/2017), saat ditemui di Pesantren At-Taqwa, Cilodong, Depok.

Ia mengatakan demikian, karena ungkapan ketidaksukaan pada Muslim seringkali muncul. Misal, ada seorang tokoh agama Budha yang mengatakan, Myanmar bisa seperti Indonesia yang mayoritasnya Muslim apabila terus dibiarkan hidup.

“Mungkin saja orang mengatakan dia menyerang Rohingya bukan karena agama. Tapi kadang ungkapan ketidaksukaan terhadap agama muncul. Saya pernah baca, ada tokoh Budha bilang, Myanmar tidak mau seperti Indonesia yang menjadi mayoritas Islam padahal dulunya mayoritas budha,” imbuhnya.

“Itu kan satu ekspresi ketidaksukaan terhadap Islam. Artinya konflik ini bukannya sama sekali tanpa muatan agama,” lanjut Alwi.

Lelaki kelahiran Jakarta ini memaparkan, ada etnis Muslim lain di Myanmar dan secara umum tidak ada masalah dengan mereka. Tetapi, ada juga Muslim selain Rohingya di Arakan, Myanmar, yang terkena imbas sehingga kampungnya ikut terbakar. Karena itu, menurut dia tidak bisa dipisah sepenuhnya apakah konflik ini terjadi karena konflik ras saja atau karena konflik agama saja.

Adapun mengenai ketidaksukaan terhadap ras Rohingya, hal ini pernah disampaikan oleh Ye Myint Aung, Konsul Myanmar pada saat di Hongkong tahun 2009 dengan menyatakan, “Kenyataannya, Rohingya bukanlah ‘Masyarakat Myanmar’ dan bukan pula kelompok etnis Myanmar. Anda akan melihat di dalam gambar bahwa warna kulit mereka ‘coklat kehitaman.’ Warna kulit orang-orang Myanmar terang dan lembut, juga sedap dipandang. (Warna kulit saya merupakan tipikal warna kulit seorang pria Myanmar yang asli dan Anda akan menerima betapa tampannya rekan Anda, Mr. Ye, ini). Hal ini berbeda dengan apa yang Anda lihat dan baca di surat-surat kabar. (Mereka itu sama jeleknya dengan ogre).

Doktor dari jurusan Sejarah dan Peradaban Universiti Islam Antarabangsa Malaysia ini mengatakan, bahwa perkataan tersebut menunjukkan adanya sikap rasis. “Ogre itu sejenis monster dalam dunia mitologi. Monster yang kasar dan jelek, ugly. Jadi dia menggambarkan Rohingya begitu, lain dengan orang Myanmar yang kulitnya cerah,” lanjut Alwi.

Kebijakan Myanmar ini, menurut dia, mirip dengan Apartheid di Afrika Selatan yang membedakan kulit hitam dan putih. Hanya saja, warga negara kulit hitam dianggap kelas dua, dengan kata lain masih dianggap sebagai warga negara. Sedangkan di Myanmar, Muslim Rohingya sama sekali dianggap bukan warga negara.

“Ini lebih serius, muslim Rohingya bahkan tidak dianggap sebagai warga negara.” tandasnya.

Alwi menambahkan, hal yang jadi penyebab turun-temurunnya konflik ini ialah peran pemerintah dengan kebijakannya, masyarakat Budha Arakan yang terus menebarkan kebencian kepada muslim Rohingya, serta peran media massa. “Selama kebijakan pemerintah belum berubah, di masa depan kejadian ini akan terus-menerus berulang. Maka, pihak internasional harus terus menekan pemerintah Myanmar agar merubah kebijakannya,” ia menerangkan.

“Jika Myanmar tidak mau berubah, dia sendiri juga akan rugi pada akhirnya. Masyarakat internasional akan melihat Myanmar sebagai salah satu negara yang paling tidak toleran dan tidak berperikemanusiaan. Sejarah akan mencatat itu,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini