Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pihak berwajib telah menetapkan Pimpinan Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang sebagai tersangka dalam kasus penodaan agama. Bahkan, polisi juga telah menggeledah Pesantren Al Zaytun dan kediaman Panji Gumilang. Tentu saja, berita ini mengejutkan banyak pihak. Sebab, tidak mudah dipahami, pemimpin pesantren besar, tetapi justru ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama.
Apa pun ujung dari kasus ini, kita berharap, kasus yang menjerat pimpinan Pesantren Al Zaytun ini tidak membuat trauma terhadap pendidikan pesantren. Begitu juga berbagai berita negatif yang melibatkan oknum pimpinan atau guru dan santri pesantren. Semoga semua itu tidak berdampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pesantren.
Dan memang, tampaknya berbagai kasus yang terjadi dalam lingkungan pesantren tidak menjadikan masyarakat ‘kapok’ untuk mengirimkan anak-anaknya ke pesantren. (https://ditpdpontren.kemenag.go.id). Data Kementerian Agama (5/8/2023) menunjukkan jumlah pesantren yang terdaftar telah mencapai 39.220 pesantren. Padahal, setahun lalu, pada 10 Agustus 2022, jumlah pesantren masih 36.600.
Jadi, dalam setahun, ada pertambahan jumlah pesantren sebanyak 2620 pesantren. Artinya, setiap hari, berdiri 7 pesantren di Indonesia. Tentu saja ini sangat menggembirakan dan sekaligus juga menjadi tantangan bagi dunia pesantren, mengingat amanah yang semakin berat.
Tantangan lain adalah godaan untuk “membisniskan” pesantren. Artinya, pendirian pesantren diniatkan sebagai institusi bisnis, dengan hitung-hitungan bisnis. Menurut saya, niat atau motivasi seperti ini kurang tepat, sebab sepanjang sejarahnya — adalah lembaga pendidikan dan perjuangan. Tokoh pesantren, KH Sholeh Iskandar, menyebutkan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid-din) dan lembaga iqamatud-din (lembaga perjuangan untuk menegakkan agama).
Jika kita cermati, berdasarkan tradisi pendidikan Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw, suatu institusi pendidikan patut dikategorikan sebagai pondok pesantren – sebagai lembaga pendidikan ideal — jika sekurangnya memenuhi sejumlah kriteria penting dalam pendidikan Islam, yaitu: (1) ada keteladanan pimpinan dan guru (2) ada penanaman adab/akhlak mulia (3) ada program tafaqquh fid-din (4) ada penanaman jiwa dakwah (perjuangan menegakkan kebenaran) (5) ada penanaman jiwa kemandirian (6) ada pemahaman terhadap tantangan hidup dan pemikiran kontemporer.
Sejak tahun 1928, tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara pun sudah mencitakan “pesantren” sebagai model pendidikan nasional yang ideal. Sebab, di pesantren, terjadi interaksi intensif antara guru (ki hajar) dengan para santrinya. Interaksi ini diperlukan untuk terjadinya proses penanaman nilai-nilai akhlak mulia dalam diri para santri.
Di era kebebasan informasi, pesantren banyak diminati para orang tua sebagai tempat untuk mendidik anak-anaknya. Mereka merasa lebih aman dan tenang jika anak-anaknya bersedia memasuki pendidikan di pesantren. Sebab, dalah satu tantangan besar dalam mendidik anak adalah HP. Sebab, biasanya, penggunaan HP sangat dibatasi dan diatur di pesantren.
Tetapi, sepatutnya, pesantren tidak dipandang sebagai tempat “buang anak bermasalah!” Jangan berpikir, kalau anak baik-baik, sebaiknya TIDAK dikirim ke pesantren. Tapi, kirimlah ke sekolah yang dianggap “bergengsi”. Sebaliknya, jika anak “bermasalah”, maka kirimlah ke pesantren, agar si anak mendapatkan tempat untuk memperbaiki dirinya.
Cara berpikir seperti itu tidaklah tepat. Sebab, pada hakikatnya, pesantren adalah lembaga pendidikan untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas tinggi. Bahkan, di era disrupsi, pesantren berpeluang besar menjadi “pemimpin” (imam) dalam pendidikan nasional. Pesantren adalah lembaga pendidikan terbaik.
Kepercayaan yang terus meningkat terhadap pendidikan pesantren wajib dijaga dengan sebaik-baiknya. Kita berharap, pemerintah juga semakin besar memberikan dukungan terhadap pesantren. Jika perlu, direktorat pesantren di Kemenag RI, ditingkatkan menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Pesantren, mengingat besarnya jumlah pesantren di Indonesia.
Patut dicatat, pesantren adalah lembaga pendidikan yang sangat tepat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri, dan lain-lain. Itu sudah ditegaskan dalam UUD 1945, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi. Model pendidikan pesantren lebih memungkinkan dilakukan penanaman adab atau akhlak mulia, yang memerlukan keteladanan, pembiasaan, dan disiplin penegakan aturan. Hubungan guru- murid berlangsung lebih intensif, dibandingkan dengan sekolah biasa.
Dengan semakin masifnya model pendidikan online, maka pesantren semakin berpeluang untuk memanfaatkan pembelajaran secara online pada jenjang pendidikan tinggi. Artinya, pesantren bisa menyelenggarakan pendidikan tinggi secara mandiri, dengan memanfaatkan perkuliahan secara online pada lembaga pendidikan tinggi formal. Santri bisa meraih gelar S1 sampai S3 dari berbagai universitas legal-formal, tanpa harus meninggalkan pembinaan di pesantren.
Semoga kepercayaan dan peluang besar yang dimiliki pondok-pondok pesantren dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemajuan pendidikan kita, sehingga semakin banyak lahir manusia-manusia hebat yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat bangsa dan negara. Wallahu A’lam bish-shawab. (Prabumulih, 4 Agustus 2023).