Menjelang Pilpres 2019, calon presiden yang 2014 lalu bertarung, untuk pemilihan mendatang diduga akan bertarung kembali. Pertarungan meme, balas pidato, dan kaos bertagar #2019GantiPresiden di berita-berita pun bermunculan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Bisa dibilang, balas pidato ini bermula dari Prabowo yang berpidato bahwa 2030 Indonesia akan bubar. Belum lagi soal kaos #2019GantiPresiden dibalas dengan kaos #Lanjut2Periode. Tak lupa sensasi Presiden Joko Widodo yang baru-baru menggunakan Motor Gedenya untuk mengunjungi petani. Sebetulnya bagaimana seharusnya kita sebagai rakyat menyikapi hal seperti ini?
Budayawan Sudjiwo Tedjo mengatakan secara implisit soal bagaimana menyikapinya. Ia melihat, pertarungan ini seolah pertandingan tinju. Dalam memilih tahun 2019 mendatang, ia menyarankan agar jangan memilih pemimpin yang berdasarkan penglihatan mata, dan segala indra manusia.
“Jangan pilih ‘Aku’ yang sakit ketika diputus cinta, yang sangat tergantung dengan data. Karena di dalam ‘Aku’ masih ada ‘Aku’,” tutur Sudjiwo, di acara Indonesia Lawyer Club bertajuk ‘Jokowi Prabowo Berbalas Pantun’, di TV One, Selasa malam, (10/4/2018).
Sudjiwo pun mencontohkan, ketika seseorang naik sepeda bannya bocor, maka pengendara sepeda seyogyanya dapat merasakan hal itu. “Di dalam ‘Aku’ masih ada ‘Aku’. Yang memilih nanti (di Pilpres 2019) adalah ‘Aku’ yang naik sepeda itu),”
Dengan kata lain, Sudjiwo bermaksud agar memilih dengan hati, bukan melihat apa yang terlihat dengan indra. Pasalnya, media sebetulnya dengan mudahnya dapat men-setting agar manusia memilih berdasarkan apa yang baik menurut media. Padahal pemimpin yang telah dicitrakan baik oleh media belum tentu demikian.
“Selama ini kita memilih tanpa ideologi, melainkan hanya melihat pendapat seseorang seperti ini dan seperti itu. Padahal kita tahu dia berbicara seperti itu karena berpihak pada pihak tertentu,” pungkas dia.
Sementara itu, Rocky Gerung dalam kesempatan yang sama menanggapi adu meme antara Jokowi dan Prabowo yang bertebaran di jagat maya. Menurut dia, balas pidato yang dilakukan Jokowi ialah reaksi presiden atas pidato Prabowo, bukan berpidato lagi atas pidato Prabowo.
Adapun soal Kaos #2019GantiPresiden, tagar tersebut menurut dosen Universitas Indonesia ini hanyalah fiksi bukan realitas.
“Hashtag itu adalah fiksi, ngapain bereaksi atas fiksi. Fiksi juga akhirnya (reaksi tersebut),” ungkap Rocky.
“Orang yang bereaksi terlalu keras, ada problem terhadap kondisi psikologisnya,” pungkas dia yang membuat tertawa para hadirin.
Kaos tersebut, ia melihatnya hanya sebagai ekspresi oposisi saja, sehingga tidak perlu fobia seperti itu. “Fobia adalah ketakutan yang diwariskan sejak nenek moyang dahulu. Kita merasa fobia dengan binatang buas karena akan diserang. Reaksinya adalah berburu. Tapi kan hashtag ini bukan binatang buas, jadi tidak perlu sefobia itu,” tukas Rocky.
Eveline Ramadhini