Dalam beberapa tahun terakhir, Iran disebut-sebut telah melontarkan gagasan untuk mendirikan ‘pemerintahan internasional’ (internasionalisasi) untuk mengelola ibadah haji tahunan umat Muslim. Namun, Saudi dengan keras menolak gagasan itu.
Wartapilihan.com, Jakarta –Mengelola haji dan umrah bukan seperti menyelenggarakan ritual kolosal yang hanya berdurasi pendek dan berkutat pada satu tempat. Haji sangat complicated, merangkumi berbagai napak tilas dan melibatkan jutaan orang dengan kultur berbeda, negara yang berbeda dan durasi yang lama.
Ibadah haji sarat dengan nilai-nilai metafisik yang terkadang di luar jangkau nalar manusia. Semua peristiwa tidak bisa diukur dengan kalkulasi matematis. Sejak tahun 1980 pasca revolusi Iran, Iran terus menyuarakan internasionalisasi dua tanah suci dan pengelolaan haji atau umrah. Wacana internasionalisasi terus diangkat dan disampaikan Iran ke PBB.
Demikian disampaikan Wasekjen MUI Ustaz Zaitun Rasmin bersama sejumlah Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) dan Majelis Intelektual Muda dan Ulama Indonesia (MIUMI) di AQL, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (15/2). Menurutnya, internasionalisasi penyelenggaraan haji dan urusan dua tanah suci Makkah dan Madinah akan menimbulkan problema besar dan persengketaan serta perselisihan yang sangat berbahaya
“Jika (internasionalisasi) ini digulirkan, kami khawatir dapat memicu situasi chaos dalam pelaksanaan ibadah haji bahkan dapat menjadi ancaman bagi stabilitas dua tanah suci dan wilayah sekitarnya,” ujar Zaitun.
Selama ini, lanjutnya, Pemerintah Saudi Arabia telah memberikan perhatian yang sangat besar dalam penyelenggaraan Ibadah Haji serta ururan dua tanah suci. Hal ini terbukti dengan pembangunan dan renovasi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi serta perluasan keduanya berlipat-lipat ganda serta pembangunan jalan dan sarana-prasarana yang sangat berkualitas demi kemudahan pelaksanaan ibadah haji dan umrah, dan Saudi Arabia terus menerus membuat kedua masjid suci tersebut semakin besar dan indah dari waktu ke waktu.
“Ada pihak-pihak tertentu yang ingin memiliki peran di dunia Islam. Padahal, itu tidak mungkin. Apalagi mereka aliran yang bertentangan dengan mainstream atau Sunni,” tutur Ketua Umum Wahdah Islamiyah itu.
Karena itu, kata Zaitun, tidak ada kebutuhan dan alasan untuk internasionalisasi penyelenggaraan haji dan urusan dua tanah suci Makkah dan Madinah. Ia menduga ada pihak yang cemburu dengan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ibdaha haji dan umrah. Selama satu milenium lebih pengelolaan tersebut menjadi sumber utama yang menjadi tulang punggung perekonomian Arab Saudi.
“Bolehkah orang yang cemburu dengan Bali, Borobudur dan lain sebagainya. Ini semua merupakan karunia dari Yang Maha Kuasa. Ke depan, para ulama akan terus menyuarakan dan diharapkan isu ini tidak muncul lagi. Masih banyak urusan umat Islam yang perlu dibahas,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) DKI Jakarta Haikal Hassan, menurut dia, wacana internasionalisasi bukan hal baru yang dilakukan Iran. Sebelumnya, Iran terus memaksakan kehendaknya di PBB.
“Lagi-lagi kita disuguhkan dagelan bahwa Makkah dan Madinah dikelola secara internasionalisasi. Saya menduga Iran melakukannya karena fakta-fakta seperti ini sudah ada rentetannya. Insya Allah mustahil ada dukungan dari negara lain kecuali Iran itu sendiri (yang ingin internasionalisasi),” ungkap Haikal.
Sosiolog Musni Umar menjelaskan isu internasionalisasi tidak mudah diimplementasikan. Sebab, ketika terjadi banyak perbedaan prinsip, maka akan berujung kepada perpecahan. Jika itu terjadi, intervensi asing akan mudah masuk dengan dalih humanitarian intervention.
“Kita berharap pelayanan kepada jamaah ditingkatkan. Tidak hanya keamanan, tapi juga hal-hal yang menyangkut keselamatan agar tidak terulang hal-hal yang tidak di inginkan,” katanya.
Terpisah, Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih dan Tabligh Yunahar Ilyas menuturkan, menurut kesepakatan internasional, Negara manapun harus tunduk pada peraturan nasionalnya, tidak dapat diintervensi oleh pihak luar. Wacana internasionalisasi yang dihembuskan Iran menurutnya naif, karena selama ini Saudi Arabia melakukan pengelolaan ibadah haji dan umrah secara baik serta profesional.
“Saya khawatir akan terjadi perbedaan-perbedaan dan memecah belah umat Islam. Saya curiga orang yang ingin melakukan intrnasionalisasi ini punya kepentingan-kepentingan lain. Ide ini hanya akan membawa mudharat-mudharat kepada dunia Islam,” tegas Yunahar.
Duta Besar Riyadh untuk Liga Arab, Ahmed Qattan menegaskan, upaya untuk menginternasionalisasi Tempat Suci Makkah dan Madinah adalah bagian dari konspirasi yang lebih luas. Politisasi maupun internasionalisasi situs suci Arab Saudi, kata Qattan adalah ‘jalur merah’ yang sama artinya dengan ‘bunuh diri politik’.
“Pemerintah Arab Saudi menegaskan penolakannya terhadap isu politisasi atau internasionalisasi ibadah haji. Isu tersebut menunjukkan bahwa negara-negara tertentu mengikuti jejak Iran yang sebelumnya mencoba untuk mempromosikan gagasan yang disebut merendahkan Saudi,” ujar Qattan seperti dilansir dari Anadolu Agency, Rabu (14/2).
Sebagai informasi, Arab Saudi memutuskan hubungannya dengan Iran pada awal 2016, setelah para demonstran Iran menggeledah dua misi diplomatik Saudi di Teheran dan Masyhad. Musim panas lalu, Arab Saudi dan tiga negara Arab yakni Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, secara kolektif memutuskan hubungan dengan Qatar.
Mereka menuduh Doha mendukung terorisme dan berdiri terlalu dekat dengan Iran. Qatar menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa upaya untuk mengisolasinya oleh negara-negara Teluk lainnya merupakan pelanggaran hukum internasional.
Ahmad Zuhdi.