Wartapilihan.com, Depok – Prof Ibnu Hamad, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia memaparkan gaya komunikasi masing-masing calon Gubernur dalam rangka putaran kedua, Pilkada DKI Jakarta. Ia menjelaskan keduanya memiliki karakter komunikasi yang berbeda.
“Dari segi cara komunikasi tentu Pak Anies dan Sandi nalarnya jalan, karena dia doktor, kelihatan keterdidikannya. Kalo Pak Ahok-Djarot lebih ke teknis. Seringkali apa yang sudah dibangun, misalnya bilang kami sudah membangun ini,” ujar Prof Ibnu Hamad kepada Warta Pilihan hari ini (17/4).
Doktor di bidang Komunikasi Politik ini menjelaskan kampanye merupakan salah satu marketing politik, dan marketing politik terkuat menurutnya adalah ketokohan atau figur. Figur memiliki peran penting karena dari hal tersebut seorang pemimpin bisa dinilai.
“Kampanye selain mengkomunikasikan sesuatu, juga jadi marketing politik. Termasuk iklan instrumen dari marketing politik. Ada iklan, kampanye, debat itu bagian dari marketing politik. Salah satu politik yang dimarketkan adalah figur. Dari cara berbicara, ketokohan, kita bisa menilai siapa kira-kira yang cocok untuk menjadi pemimpin kita.” paparnya.
Guru besar Komunikasi UI ini menyayangkan pemimpin yang selalu mengakui hasil pekerjaannya. Pasalnya, sebagai incumbent akan lebih bijak apabila mengatakan hal tersebut sebagai amanah dan fokus pada peningkatan pembangunan.
“Incumbent yang baik tidak mengatakan ‘ini yang sudah saya lakukan’, tapi bilang apa yang akan dia tingkatkan lagi setelah dia menjabat,” ujar Ibnu.
Guru besar yang dikokohkan pada tahun 2010 ini menjelaskan incumbent sudah seharusnya sukses melaksanakan programnya.
Pasalnya, ia mendapatkan kesempatan untuk memiliki kewenangan dan kesempatan, serta berbagai perangkat dari negara yang memudahkannya untuk melaksanakan berbagai kebijakan.
“Incumbent itu sudah seharusnya sukses, karena sudah melekat di dalam dirinya wewenang dan jabatan, bahkan wewenang dan kekuasaan. Incumbent itu pernah dapat anggaram, sudah seharusnya dia mendapatkan amanah. Uang dikasih, APBD dikasih, disusun rencana kegiatan, makan dikasih, gaji digaji, mobil dinas dikasih, kalau ada incumbent sukses, memang sudah seharusnya sukses,” paparnya panjang lebar.
Ia melanjutkan “Merupakan sesuatu yang kurang etis apabila mengatakan ‘Saudara sudah melakukan apa?”
Prof Ibnu melanjutkan bahwa pemimpin yang baik semestinya mengatakan ‘Tidak usah lihat apa yang sudah saya lakukan, itu memang amanah saya. Tidak usah lihat masa lalu saya, lupakan itu semua. Kita mulai dari starting yang sama. Itu akan lebih gentle.’
Lebih lanjut Ibnu Hamad memaparkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hanya satu-satunya orang yang statusnya terdakwa, namun masih bisa menjadi calon Gubernur DKI Jakarta sebagai petahana. Ia memaparkan, bukan hanya umat Islam saja yang marah jika Ahok menang, tetapi juga bangsa Indonesia. Pasalnya, statusnya sebagai terdakwa tidak membuatnya terhalang untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.
“Bukan hanya umat Islam yang (akan) marah jika Ahok menang. Karena dia sudah terdakwa. Tidak ada di dunia ini yang jadi terdakwa masih bisa jadi calon pemimpin,” ujarnya di Gedung Komunikasi, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial, Universitas Indonesia.
“Kadang maling ayam saja sudah terdakwa, mau ketemu keluarga saja tidak bisa,” paparnya melihat realita masyarakat.
Doktor di bidang Komunikasi Politik ini menjelaskan selama ini pihak yang menjadikan Ahok sebagai terdakwa ialah polisi sendiri.
“Yang menjadikan ahok terdakwa polisi sendiri. Umat islam hanya demo, yang menjadikan terdakwa tetap polisi. Jadi mestinya yang paling merasa terganggu adalah nalar semua anak bangsa.”
Ia juga menuturkan umat Islam sudah melakukan hal yang baik, pasalnya mereka tidak melakukan anarkisme terhadap Ahok dan justru umat Islam mempercayakan aparat pemerintah sebagai penegak hukum. “Umat Islam sudah baik lho, masih mempercayakan kepada hukum dan tidak main hakim sendiri,” paparnya dengan semangat.
Ahok sendiri merupakan petahana yang tersandung kasus penistaan agama ketika sedang melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 26 September 2016 lalu. Kasus tersebut menjadikan sidang terus berlangsung hingga sidang ke-17 dan pembacaan tuntutan ditunda oleh JPU sampai Pemilu DKI Jakarta selesai, yakni 20 April mendatang. I
Reporter : Eveline Ramadhini