Sambil jalan pagi, seorang sahabat saya bercerita. Cerita tentang pengalaman anak sulungnya yang tinggal di Seattle, State Washington Amerika. Mobil anaknya tersenggol di tempat parkir. Anaknya sebenarnya tidak tahu. Baru tahu saat membaca pesan di secarik kertas yang ditinggalkan di kaca mobilnya.
Wartapilihan.com, Depok— Pesannya begini: “Hi my name is LG (inisial), I am so sorry but I hit the back left corner of your car. I couldn’t see through the frost on my windshield. Please call me at …” Intinya, LG minta maaf atas kesalahannya, menyenggol mobil tak sengaja. Ditinggalkannya nomor teleponnya, sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Teman saya itu bertanya, “kok bisa begitu ya Pak? Sebertanggung jawab itu orang di sana. Seumur-umur, belum pernah saya mengalami hal serupa di negeri kita. Negeri yang katanya beradat dan bersendikan Kitabullah ini”.
Jawaban saya sederhana saja: itu hasil dari pendidikan dasar yang berhasil membangun karakter (saya suka menyebutnya membangun jiwa) warga, menjadi warga yang bertanggung jawab.
“Kita semua kan juga melalui pendidikan dasar, Pak. Kok hasilnya tidak seperti itu? Bukankah pendidikan dasar kita juga mengajarkan sikap bertangung jawab dan nilai-nilai baik lainnya? Memangnya ada yang salah dengan pendidikan dasar kita?” sahabat saya balik bertanya.
“Benar Pak. Semua nilai-nilai baik itu diajarkan di sekolah-sekolah kita. Sebutlah tentang kebersihan, ketertiban (misalnya soal antre di tempat umum), anti-perundungan, di samping sikap bertanggung jawab itu sendiri. Semuanya sudah katam. Sudah lenyai bukunya karena dibalik-balik”, kata saya.
“Tapi, soalnya ada pada pilihan pendekatan yang selama ini digunakan. Pendekatannya kurang tepat. Pembangunan jiwa di sekolah-sekolah kita dijalankan dengan pendekatan kognitif. Semua dikognitifkan. Semua kita paham sepaham-pahamnya bahwa membuang sampah sembarangan salah. Menerobos antre tidak baik. Melakukan perundungan tidak elok. Hidup harus bertanggung jawab. Tapi itu dalam teori saja. Dalam praktik tidak bertemu. Sangatlah jauhnya panggang dari api. Menurut saya begitu”, saya melanjutkan.
“Pendekatan pembangunan jiwa kita harus diubah. Dari pendekatan kognitif ke pendekatan praktik. Teman saya Maskot menyebutnya “Main Alek Alek-an”. Tidak ada jalan lain. Anak-anak harus dilatih mempraktikkan bagaimana caranya bertanggung jawab atas perbuatan salah (sengaja atau tidak) yang telah dilakukan. Mempraktikkan bagaimana cara antre. Praktik hidup bersih atau tidak membuang sampah sembarangan, dan lain-lainnya”, saya terus menjelaskan.
Tak terasa kami sudah berada di bawah jembatan Siti Nurbaya. Sesi mengeluarkan keringat pagi selesai. Ocehan saya pun terhenti. Kami menuju ke kendaraan masing-masing, menuju tempat sarapan pagi.
Di mobil, saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Saya alami sendiri, di Sydney. Tepatnya di Lakemba, daerah pinggiran kota kesukaan kami berakhir pekan. Secarik kertas tertempel di kaca belakang mobil saya. Orang itu minta maaf. Sebab, ketika keluar dari parkiran, mobilnya menyenggol bagian belakang mobil saya. Ditinggalkannya pula nomor telepon genggamnya. Serupa benar dengan kejadian di Seattle.
Saya memimpikan Indonesia baru benar-benar terwujud. Suatu hari nanti. Indonesia yang rakyatnya tidak membuang sampah sembarangan, tidak menjadikan Batang Arau sebagai tong sampah besar. Bangsa yang menjadikan antre di tempat publik sebagai pakaian harian. Bangsa yang bertanggung jawab serupa cerita di Seattle dan Lakemba.
Pembenahan pendidikan dasar adalah prasyarat penting mewujudkan mimpi Indonesia baru. Prasyarat lainya adalah penegakan hukum yang konsisten dan tauladan pemimpin.
Suatu hari nanti, di kaca depan mobil anda yang sedang parkir di Permindo tertempel secarik kertas. Pemilik mobil yang menggeser mobil anda minta maaf dan meninggalkan nomor telepon genggamnya: hi, my name is… Tidak mesti menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Arab boleh juga, apalagi bahasa Indonesia.
Memimpikan yang baik-baik tidaklah terlarang, malah dianjurkan. Mari bersama bermimpi.
Makassar – Jakarta – Padang, 3 Desember 2021.
Penulis: Miko Kamal