Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 11 September 2023, sebuah media online menulis berita dengan judul mencolok: “Demo Tolak Pengembangan Kawasan Rempang Rusuh, Jenderal Polisi Terluka, Kaca Kantor Pecah.”
Disebutkan bahwa demo penolakan pengembangan kawasan Pulau Rempang di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, berlangsung ricuh, Senin (11/9/2023). Beberapa orang polisi dan petugas pengamanan aksi unjuk rasa terluka akibat lemparan batu.
Ini demo untuk kali kedua terkait nasib warga Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepri menolak penggusuran ribuan rumah penduduk untuk rencana pembangunan Rempang Eco City.
Beberapa orang petugas yang terluka itu, terdiri dari petugas Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam dan dari pihak Kepolisian. Mereka langsung dibawa ke klinik yang ada di dalam kantor BP Batam untuk mendapat perawatan.
Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait mengatakan salah satu korban yang terluka merupakan pejabat utama BP Batam yakni, Direktur Pengamanan (Dirpam) BP Batam Brigjen Pol Muhammad Badrus. (httpd://wartakota.tribunnews.com).
Beberapa hari sebelumnya, pada 7 September 2023, juga sudah terjadi bentrokan antara warga dengan aparat. Kompas.id (7/9/2023) menulis berita: “Bentrokan di Pulau Rempang, Belasan Siswa Pingsan karena Gas Air Mata.” Diberitakan, bahwa bentrokan aparat dan warga terjadi di Pulau Rempang, Batam. Sejumlah warga ditangkap dan siswa di dua sekolah terkena tembakan gas air mata. Belasan siswa dilaporkan pingsan karena gas air mata.
Salah seorang warga Pulau Rempang, Sri Rusmiati (52), mengatakan, bentrokan terjadi setelah ratusan warga menghadang kedatangan aparat gabungan dari Batam di Jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) IV. Kedatangan aparat itu untuk mengawal pengukuran lahan terkait dengan proyek Rempang Eco City.
*****
Mencermati pernyataan berbagai pihak terkait kasus Rempang, bisa disimpulkan bahwa kasus tersebut terjadi karena berbagai faktor. Ada yang menyebut karena faktor komunikasi. Yakni, karena kurangnya sosialisasi rencana proyek pembangunan tersebut kepada warga yang kampungnya akan direlokasi.
Memang ada sejumlah penduduk yang mengaku belum tahu rencana relokasi kampungnya. Padahal, ribuan penduduk itu sudah menghuni kampungnya secara turun-temurun selama ratusan tahun. Karena itulah mereka menolak keras rencana relokasi kampung mereka.
Padahal, petinggi BP Batam sudah menjelaskan bahwa penduduk yang bersedia direlokasi akan mendapatkan rumah tipe-45 dengan luas tanah 500 meter. Bahkan, kata para pejabat setempat, mereka akan dibangunkan satu perkampungan Melayu modern dengan luas tanah mencapai ratusan hektar. Masih ada pemberian uang bulanan bernilai jutaan rupiah.
Dalam kasus Rempang ini, pemerintah pusat dan daerah senantiasa mengedepankan logika investasi yang akan membawa keuntungan materi bagi masyarakat dan negara. Proyek industri raksasa itu akan menyedot investasi senilai ratusan trilyun rupiah sampai tahun 2080 dan mampu menarik tenaga kerja sampai 30 ribu orang.
Meskipun pemerintah telah memberikan berbagai penjelasan tentang pentingnya Proyek Investasi dalam kasus Rempang, tetapi banyak sekali respon masyarakat yang menolaknya. PP Muhammadiyah minta proyek di Rempang itu ditinjau kembali. Seorang ulama pengurus PBNU menyampaikan perlunya proyek itu ditunda.
Di media sosial, sudah tak terhitung lagi suara berbagai tokoh dan kelompok masyarakat yang mengecam keras terjadinya bentrokan masyarakat dengan aparat. Menyimak berbagai tayangan video tentang bentrokan masyarakat dan aparat, sungguh memilukan. Karena tugas, aparat harus berhadapan dan bentrok dengan warga masyarakat yang bertekad mempertahankan kampung halaman mereka yang terancam digusur.
Menyimak banyak narasi yang sudah muncul di ruang publik, sudah terbentuk opini di kalangan umat Islam, bahwa kaum Muslim Melayu sedang terancam identitas kultural dan keagamaan mereka. Mereka akan digusur dengan alasan pembangunan dengan investor dari China. Mereka dipaksa untuk meninggalkan kampung halaman yang sudah ratusan tahun dihuni oleh leluhurnya.
Sejumlah warga Kampung Tua di Pulau Rempang yang akan digusur menyatakan, bahwa mereka tidak menolak pembangunan, tetapi memohon dengan memelas, agar mereka tidak dipaksa pindah; agar kampung halaman mereka tidak digusur. Sejumlah demonstran menyatakan mereka siap mati, demi mempertahankan kampung halaman mereka.
Yang patut dipikirkan serius adalah bahwa Kasus Rempang ini sudah memasuki wilayah yang sangat sensitif, yaitu soal kehormatan Melayu. Melayu adalah Islam. Melayu bukan sekedar identitas kesukuan. Sebab, dalam sejarahnya, suku apa saja di wilayah Nusantara yang menjadi muslim, maka mereka disebut sebagai “Melayu”. Melayu bahkan sudah menjadi identitas peradaban Islam yang khas, yakni Peradaban Melayu Islam (Islamic Malay Civilization).
Karena itulah, apa yang terjadi pada masyarakat Melayu di Rempang, langsung dirasakan oleh masyarakat Muslim Melayu di mana saja. Semoga pemerintah pusat, daerah, dan para tokoh masyarakat muslim segera bermusyawarah dengan serius. Kasus Rempang bukan sekedar menyangkut masalah “uang”, tetapi sudah memasuki wilayah perasaan keagamaan dan harga diri masyarakat muslim Melayu. Jadi, kita berharap, masalah ini segera bisa diselesaikan dengan cara seksama dan bijaksana. Aamiin. (Depok, 12 September 2023).