Hari Anak Nasional (HAN) jatuh setiap tanggal 23 Juli. Rangkaian perayaan HAN yang bervisi menciptakan generasi sehat, sangat kontras dengan kenyataan bahwa pada tanggal yang bersamaan, di Surabaya, diselenggarakan kegiatan Audisi Beasiswa Djarum Bulutangkis, yang diikuti oleh 802 anak usia 6 – 14 tahun yang juga datang dari berbagai daerah.
Wartapilihan.com, Jakarta — Aspirasi penolakan anak-anak terhadap rokok sesungguhnya sudah digemakan sejak bertahun-tahun silam. Hal tersebut disampaikan Seto Mulyadi (Kak Seto), Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Pada tahun 2016, misalnya, salah satu poin Suara Anak adalah meminta agar Indonesia mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Juga pada tahun 2017 anak–anak meminta perlindungan dari iklan, promosi dan sponsor rokok.
“Namun tragis, bertepatan dengan Hari Anak Nasional 2018, 802 anak usia 6-14 tahun mengenakan kaos bertuliskan DJARUM tanpa mereka sadari bahwa mereka telah dimanfaatkan untuk mempromosikan produk rokok tersebut dan berisiko menjadi perokok di kemudian hari,” tutur Seto, Minggu, (22/7/2018).
Sebagaimana penelitian DiFanza, Wellman, Sargent, Weitzman, Hipple, dan Winickoff yang dilakukan untuk Tobacco Consortium, Center for Child Health Research of the American Academy of Pediatrics disimpulkan, promosi rokok akan memperteguh sikap, kepercayaan, dan ekspektasi terkait konsumsi rokok.
“Semakin tinggi ekspos terhadap rokok, semakin tinggi pula resiko anak menjadi perokok,” lanjut dia.
Ringkasnya, melibatkan anak–anak dalam kegiatan yang diselenggarakan perusahaan rokok sungguh hal yang membahayakan, menurut dia. Masyarakat harus berhadapan dengan situasi seburuk itu, lanjut Kak Seto, tak pelak harus gencar menggedor keinsafan seluruh elemen bangsa akan mutlak pentingnya perlindungan anak-anak Indonesia dari bahaya rokok.
“Terlalu naif untuk memandang anak-anak peserta audisi badminton itu sebatas sebagai generasi belia yang bercita-cita menjadi olahragawan. Ini bukan ihwal bagaimana anak-anak mengembangkan diri menjadi atlet profesional,” tukas dia.
Keberadaan perusahaan produsen rokok sebagai penyelenggara program audisi tahunan tersebut mengharuskan semua pihak untuk secara bijak mencermatinya sebagai strategi pembentukan cognitive dissonance yang dimainkan perusahaan rokok dimaksud untuk menetralkan persepsi masyarakat akan bahaya rokok, utamanya di kalangan anak-anak.
Cognitive dissonance, kata Seto, merupakan kondisi ketika manusia berhadapan dengan sejumlah informasi yang bertentangan satu sama lain mengenai objek tertentu.
Spesifik dalam kasus ini, informasi-informasi yang saling kontras itu adalah rokok (diidentikkan sebagai benda yang menyakitkan) dengan olahraga bulutangkis (terasosiasi sebagai benda yang menyehatkan).
“Berada dalam cognitive dissonance, manusia mengalami kerancuan berpikir. Akibatnya, manusia akan mengalami kesulitan untuk menarik simpulan pasti atas objek tersebut. Konkretnya, masyarakat–utamanya anak-anak–akan tidak mampu menentukan sikap definitif mereka terhadap rokok,” tegasnya.
Sementara itu, Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak menambahkan, pelibatan anak-anak pada kegiatan yang disponsori perusahaan rokok adalah pelanggaran terhadap PP No. 109 Tahun 2012 Pasal 47 ayat 1 yang menyebutkan, setiap penyelenggaraan kegiatan yang disponsori peroduk tembakau dilarang mengikutsertakan anak di bawah 18 tahun.
“Apalagi dengan meminta anak-anak mengenakan kaos dengan tulisan DJARUM, itu tidak etis dan melanggar aspek perlindungan anak. Mengingat bahwa rokok adalah produk yang membahayakan kesehatan dan mengandung zat adiknya,” tegas Lisda.
Oleh karena itu, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan Yayasan Lentera Anak mendesak Pemerintah untuk menjadi motor utama bagi seluruh komponen negara agar menaruh perhatian luar biasa terhadap upaya yang dimainkan perusahaan rokok untuk menetralkan persepsi masyarakat akan bahaya rokok utamanya di kalangan anak-anak.
“Langkah kolektif semesta untuk melawannya patut diwujudkan dengan melarang secara menyeluruh iklan, promosi, dan sponsor rokok serta melarang secara menyeluruh kegiatan yang melibatkan anak yang diselenggarakan dan/atau didukung perusahaan rokok,” tutur dia.
Menurut Lisda, penting untuk emanggil pelaku usaha selain perusahaan rokok untuk berkiprah nyata menumbuhkan generasi belia sehat dan berbakat, termasuk dengan berperan memajukan dunia perbulutangkisan daerah dan nasional.
“Kita juga perlu menyemangati orang tua, masyarakat, dan anak-anak untuk membangun sikap kritis terhadap berbagai upaya destruktif sistematis yang dilakukan melalui berbagai media promosi dan event untuk menyimpangkan persepsi publik–utamanya anak-anak– akan bahaya rokok,” tegas dia.
“Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan Yayasan Lentera Anak menjadikan terealisasinya ketiga butir di atas, khususnya butir pertama, sebagai tolok ukur keberhasilan negara dalam melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya rokok,” pungkas Lisda.
Eveline Ramadhini