GURU TIDAK DIBANGGAKAN,  TAPI DIMINTA AGAR DIHORMATI

by
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam beberapa kunjungan ke lembaga pendidikan Islam saya mendapat laporan, bahwa ada beberapa murid atau santri yang tidak atau kurang hormat kepada guru. Bahkan, ada beberapa kasus pelecehan terhadap guru yang tidak sepatutnya terjadi. Padahal, beradab kepada guru adalah kunci sukses pendidikan. 
Wartapilihan.com, Depok– Setiap lembaga pendidikan pasti berharap para muridnya memiliki adab yang tinggi kepada para guru mereka. Tetapi, harapan itu tak sepenuhnya terwujud. Sebab, wali murid atau bahkan pimpinan dan para guru itu sendiri tidak memandang profesi guru sebagai profesi yang mulia dan membanggakan. Apalagi, profesi guru ngaji atau guru-guru lain yang dianggap berpenghasilan rendah.
Dalam beberapa kesempatan kunjungan itu, terlihat poster-poster ucapan selamat kepada lulusan SMA Islam yang diterima kuliah di sejumlah program studi atau jurusan kuliah non-pendidikan. Dan memang sudah biasa terjadi, jurusan-jurusan kuliah ilmu pendidikan dan keguruan kalah peminatnya dibandingkan jurusan kedokteran, akuntansi, manajemen, Teknologi Informasi, dan sebagainya.
Ini kondisi yang paradoks. Para guru di lembaga pendidikan Islam itu sendiri berusaha mendorong para muridnya – khususnya yang pintar-pintar — agar setelah lulus dari SMA-nya, janganlah memilih untuk melanjutkan kuliah keguruan atau janganlah nantinya menjadi guru. Jadi, para guru itu sendiri yang tidak memandang mulia kuliah keguruan atau menjalani profesi sebagai guru. Dengan kata lain, ia sudah memandang rendah dirinya sendiri.
Beberapa kali saya mendengar cerita dari sejumlah guru “sekolah elite” yang membanggakan bahwa sekian banyak lulusan pesantren atau sekolahnya diterima di jurusan-jurusan yang membanggakan. Kondisi itu yang membuat pesantren atau sekolahnya semakin diminati. Apalagi, jika ditambah dengan prestasi hafalan al-Quran dan prestasi olimpiade sains dalam berbagai tingkatan.
Karena itu, bisa dibayangkan, betapa beratnya tugas para guru untuk mendidik adab atau akhlak para muridnya agar beradab kepada guru, sementara pada saat yang sama, para murid itu diajari untuk tidak bangga menjadi guru. Mungkin, inilah ujian berat bagi para guru, sehingga semakin besar pula pahala yang diterimanya.
Padahal, tugas guru itu begitu mulia. Sebab, para guru bertugas untuk memperbaiki jiwa manusia. Untuk mendidik para muridnya agar cinta Allah, cinta Rasul, dan berkhlak mulia, memerlukan strategi yang cerdas dan bijak. Para guru diharuskan memiliki wisdom (hikmah) – sebagaimana Luqman al-Hakim (QS Luqman: 12) – agar sukses dalam mendidik para muridnya.
Memperbaiki dan mensucikan jiwa manusia tidak lebih mudah dibandingkan mengobati penyakit demam berdarah atau memperbaiki laptop yang rusak. Menjadi selebritis dengan tingkat popularitas dan penghasilan yang tinggi lebih dibanggakan ketimbang dengan guru-guru yang tekun mendidik para muridnya agar berakhlak mulia dan mengobati jiwa para muridnya agar terhindar dari penyakit jiwa yang merusak diri manusia, seperti sombong, malas, dengki, penakut, riya’, lemah, dan sebagainya.
Kondisi seperti ini terjadi akibat kekacauan ilmu dan hilagnya adab. Ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu ain harusnya lebih diutamakan dan ditempatkan di tempat tertinggi dalam hirarkis ilmu. Jangan sampai ilmu untuk memutihkan kulit lebih dimuliakan ketimbang ilmu untuk menguatkan iman dan mensucikan jiwa manusia. Inilah tantangan berat dunia pendidikan Islam di era hegemoni peradaban sekuler dan materialis.
Dalam peradaban seperti ini, manusia dihormati setinggi-tingginya karena harta, tahta, dan popularitasnya; bukan karena taqwanya; bukan karena iman dan akhlak mulianya. Imbasnya ke dunia pendidikan kita. Banyak orang tua mau membayar mahal untuk pendidikan anaknya yang memberikan peluang besar meraih kesuksesan materi dan duniawi.
Islam bukanlah agama yang menyuruh pemeluknya menjadi orang miskin dan lemah. Rasulullah saw memerintahkan umatnya agar menjadi umat yang kuat. Sebab, mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah, dibandingkan dengan mukmin yang lemah. Karena itu, Rasulullah mencontohkan para sahabat beliau sebagai “umat terbaik” (khaira ummah).
Dalam konsep pendidikan Islam, manusia terbaik adalah manusia yang taqwa dan berguna bagi sesama. Silakan memiliki jabatan tinggi atau harta berlimpah! Tapi, yang penting, jabatan dan harta itu berguna; bukan justru menjadi mudharat buat masyarakat.
Para guru SMA sudah sepatutnya memberikan penjelasan kepada para muridnya, bahwa manusia yang paling mulia adalah yang taqwa dan berakhlak mulia. Menjadi guru adalah profesi yang sangat mulia karena jelas-jelas memberikan manfaat kepada sesama dan mengalirkan pahala tanpa henti kepada para guru, orang tua, dan juga para gurunya para guru itu.
Kampus yang terbaik adalah kampus yang mendidik para mahasiswanya menjadi manusia yang bertaqwa, berakhlak mulia, dan berguna bagi sesama. Semoga Allah melindungi dan membimbing kita semua agar senantiasa istiqamah di jalan yang lurus. Amin. (Depok, 25 April 2024).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *