Fahri Hamzah: Isu Komunisme Jangan Dijadikan Proyek

by
Fahri Hamzah. Foto: Zuhdi

Seminar pelurusan sejarah 65 yang diinisiasi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) terus menuai protes. Puncaknya kemarin, Senin (18/9), dini hari, aparat terpaksa menggunakan cara represif karena masa aksi mulai menghujani batu ke dalam kantor YLBH.

Wartapilihan.com, Jakarta –Merespon hal itu, Wakil Ketua DPR RI Bidang Kesra (kesejahteraan rakyat), Fahri Hamzah, urun tanggapan atas meningkatnya suhu masyarakat DKI Jakarta khususnya terkait isu komunisme. Permainan ideologi ini, kata Fahri, tidak boleh terus menerus menggunakan instrumen-instrumen lain, karena dapat mendikotomi masyarakat secara kasar.

“Itu sebabnya dari awal saya katakan kepada pemerintah untuk membuat klarifikasi secara lebih clear tentang isu-isu yang berkembang di belakang layar dan lakukan investigasi. Jangan dibiarkan merajalela. Ini menurut saya ada pancingan-pancingan yang berlebihan dan dibikin samar tentang faham radikalisme. Ada yang dibilang ingin mendirikan negara Islam dan dibesar-besarkan. Sekarang isu PKI muncul,” kata Fahri Hamzah kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (18/9).

Lebih lanjut, Fahri tidak ingin isu ini di manufaktur oleh siapapun untuk tetap menebar kekhawatiran di tengah masyarakat. Terlebih, menjadi proyek komersial suatu kelompok atau golongan.

“Jangan sampai negara malah memproduksi proyek-proyek supaya anggarannya jalan terus. Presiden harus menyelesaikan ini. Menurut saya secara naratif merugikan bangsa kita, karena persoalan ideologi itu sudah selesai. Kita harus melangkah ke depan, bukan membangunkan kembali momok-momok di dalam benak pikiran kiri maupun kanan,” tegas Fahri.

Sebab, lanjutnya, persoalan-persoalan ideologis yang tidak diselesaikan akan menjadi bom waktu yang akhirnya dapat merugikan bangsa Indonesia sendiri. Presiden, kata dia, harus betul hati-hati dalam mengendalikan Aparatur Negara,  jangan sampai bertindak imparsial, agar tidak menimbulkan ketidakjelasan di tengah-tengah masyarakat.

“Tetapi kalau pemerintahnya kelihatan berpihak itu yang repot, ini yang harus diselesaikan. Saya minta presiden turun tangan karena ini sudah pada level membahayakan, saling curiga di antara masyarakat kita ini tidak sehat,” ungkapnya.

Fahri berharap, Presiden Jokowi menjadi negarawan yang berpihak ke semua rakyat dan mengantisipasi orang-orang di sekitarnya yang punya pretensi bekerja menarik presiden ke satu kelompok.

“Sehingga tidak muncul istilah Ahokers Jokowers. Ayo kita bahas bersama  mengatasi letupan-letupan ini dengan kapasitas dan kapabilitas,” tukasnya.

Artinya, jelas Fahri, pemimpin harus memiliki narasi sejarah. Yaitu kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang pahit dari masa lalu, menyampaikannya secara baik dan mengajak bangsa Indonesia menjadi visionaris.

Selain itu, kecerdasan konflik manajemen atau resolusi manajemen harus dimiliki seorang pemimlin. Tidak masalah jika presiden mempertemukan tokoh-tokoh PKI yang masih hidup dan betul-betul aktif dengan korban PKI yang menjadi pelaku sejarah.

“Sebab tidak boleh merasa PKI dirinya korban terus, sedangkan yang dibunuh oleh PKI bukan korban. Kita harus menimbang sejarah secara arif, tapi bisa mengelolanya secara lebih baik,” ucap dia.

Fahri heran dengan pernyataan presiden yang mengatakan, gebuk PKI. Sebab, penyelesaian duduk perkara memiliki tahapan-tahapan, bahkan di masa lalu pemerintah telah membuat Undang-Undang tentang KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

“Tapi benar iya diselesaikan, jangan memainkan isu menjelang konstelasi politik. Resolusi dan rekonsiliasi diselesaikan. Baru presiden menabur harapan-harapan,” tutup Fahri .

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *