Belum lama ini viral, terjadi antrean membludak pembelian McD BTS Meal dan orang beramai-ramai menjual bungkus atau kemasan bekas makanan tersebut. Di marketplace, harganya bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan, salah satu yang termahal dijual di OLX seharga Rp 599 juta. Sementara itu, pengamat pemasaran dan Managing Partner Inventure, Yuswohady mengatakan, BTS Meal menjadi viral dengan marketing horizontal, yaitu melalui media sosial salah satunya. Menurutnya, strategi yang digunakan McD belum tentu berhasil dengan menggunakan tokoh lain, sehingga kekuatan kedekatan fans juga menjadi penentu. (kompas.com)
Pada kasus lain, yakni pornografi di dunia maya, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat total pengaduan kasus pornografi dan cyber-crime atau kejahatan online yang menjerat anak-anak pada 2014 sebanyak 322 kasus, 2015 sekira 463 kasus, 2016 meningkat menjadi 587 kasus, 2017 menjadi 608 kasus dan pada 2018 naik mencapai 679 kasus. Komisioner Bidang Pornografi dan Cyber Crime KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah mengungkapkan, peristiwa ini terjadi karena banyak faktor. Namun salah satu pemicu utamanya adalah tidak bijaknya menggunakan media sosial (medsos) atau mudahnya akses internet melalui gadget, HP, laptop dan lainnya. (www.kpai.go.id)
Kekhawatiran juga disampaikan oleh Direktorat Sekolah Menengah Pertama. Dalam rilisnya berkenaan kehati-hatian dampak negatif media social, bahwa aktivitas berselancar di internet sehari-hari yang tak bisa dipisahkan dari penggunaan media social, keadannya semakin tinggi kebutuhan akan media social. Seolah membuat banyak orang terbuai dan tidak menyadari dampak negatif yang sebenarnya muncul bersamaan dengan dampak positifnya. Adapun dampak negatif dari penggunaan media sosial secara berlebihan, antara lain gangguan kesehatan fisik, terpapar konten negatif, menimbulkan gangguan mental, terpapar hoax, mengganggu relasi, dan memicu kejahatan. (www.ditsmp.kemdikbud.go.id)
Tentu masih banyak lagi persoalan real yang telah terjadi dan menghinggapi kawula muda kita di era derasnya informasi ini dan maraknya penggunaan gadget hingga sampai ketangan para kawula muda.
Pendidikan Sebagai Penyadar Utama
Situasi pandemi ini mengharuskan aktivitas pendidikan dijalankan secara virtual. Perangkat handphone, laptop, dan lain sebagainya menjadi instrument penting agar pendidikan terus berjalan. Bahkan sebelum situasi pandemi pun, beberapa instrumen diatas sudah lekat dengan aktivitas kawula muda, seperti untuk chatting, browsing, mencari hiburan, dan seterusnya. Tetapi, akan menjadi problem laten bilamana pendidikan kurang menggeliat dalam responnya terhadap pelbagai permasalahan yang melingkupi kawula muda kiwari, seperti halnya beberapa kasus diatas.
Didalam lingkungan pendidikan, kawula mendapatkan pelbagai pemahaman yang diharapkan mampu mewujud dan membentuk kepribadian mereka. Kejujuran, kecerdasan, amanah, dan sifat-sikap terpuji lainnya diharapkan hidup tak terpisah dari aktivitas kawula muda. Pengajaran sifat-sikap baik ini tidak bisa hanya dilakukan dengan penyampaian materi, tetapi juga butuh contoh keteladanan. Dengan dua hal ini baik materi pengetahuan maupun ketauladanan, akan mengokohkan atau memperdalam pemahaman serta kesadaran kawula muda.
Mengutip pendapat dari Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya Islam and scularism, bahwa yang perlu ditentukan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga dari kota yang terdapat dalam dirinya, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai suatu yang bersifat spiritual, dan dengan demikian yang ditekankan itu bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia.[1]
Artinya, pengenalan dan memahamkan kawula muda tentang nilai manusia yang sejati adalah utama. Setelahnya, diajarkan peran dan posisinya sebagai warga kota atau daerah hingga warga negara. Dan bukan hanya pemahaman sebagai entitas fisik yang ditekankan, melainkan juga sebagai yang bersifat spiritual. Sudah menjadi faktanya, bahwa mayoritas kawula muda kita adalah muslim. Mengingat kembali nasihat Prof. al-Attas untuk kaum muslimin, bahwa Islam itu harus selalu menjadi pedoman hidup dan memberi arah tujuan kehidupan umatnya. Umat Islam harus bisa menghindar dari serbuan pengaruh-pengaruh pemikiran Barat dan Orientalis yang cenderung menyesatkan.[2] Pelbagai pengaruh tersebut datang dengan massif terutama melalui dunia maya, sebuah tempat yang tak terpisahkan dari kawula muda dan tempat menemukan segala informasi.
Mengenai metode pendidikan, Prof. al-Attas berpendapat, bahwa pendidikan sebagai suatu proses penanamn adab ke dalam diri manusia merupakan sebuah proses yang sebenarnya tidak dapt diperoleh secara mutlak melalui metode khusus, ia menganggap bahwa dalam suatu proses pembelajaran, siswa akan mendemontrasikan tingkat pemahamannya terhadap materi secara berbeda-beda, hal ini disebabkan karena ilmu dan hikmah yang merupakan dua komponen utama dalam konsepsi adab benar-benar merupakan suatu anugerah dari Allah SWT.[3] Oleh karena itu, muatan atau materi pengetahuan menjadi hal yang harus diprioritaskan dalam proses pendidikan. Dalam hal itu, salah satu yang diajarkan kepada kawula muda tentu persoalan Epistemologi Islam.
Epistemologi Islam: Intuisi atau Hati
Prof. Syed M. Naquib al-Attas menjabarkan, bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran, yaitu: indera yang sehat, laporan (khabar) yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi. Adapun intuisi, ia tidak datang pada sembarang orang, tetapi datang pada orang yang telah menjalani hidupnya dengan mengalami kebenaran agama melalui praktik pengabdian kepada Tuhan secara ikhlas. Kepadanya telah diberikan kilasan hakikat realitas dalam masa pertemuan dengan kebenaran itu. Kandungan kognitif dari intuisinya terhadap eksistensi terungkap kepadanya dalam suatu sistem realitas terpadu secara menyeluruh. Intuisi datang kepada orang jika ia telah siap untuk itu, yakni jika nalar dan pengalamannya telah terlatih untuk menerima dan menafsirkannya. Tetapi, sementara tingkat-tingkat intuisi yang dicapai melalui metode empiris dan rasional hanya mengacu kepada aspek-aspek khusus, dan bukan keseluruhannya, dari hakikat realitas. Tingkat-tingkat intuisi pada tingkat kesadaran manusia yang lebih tinggi, yang dapat dicapai oleh para nabi dan wali, memberikan pandangan langsung akan hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan.[4]
Dalam al-Qur’an, kata qalb digunakan sebanyak 144 kali. Penggunaan qalb selalu merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan akal pada manusia. Ia memiliki arti lebih khusus dari nafs sebagai penggerak naluri atau biologis, yaitu hanya terbatas pada bagian yang disadari. Sebagaimana kata qalb dalam QS. Asyu’araa’ (26) ayat 89: “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” Ada juga didalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 41: “Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: “Jika diberikan ini (yang sudah dirobah-robah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah” Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”[5]
Intuisi atau Hati dan Hamparan Informasi
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa sumber-sumber ilmu dalam epistemologi Islam tersiri dari (1) wahyu, berupa al-Qur’an dan al-Sunnah, (2) ‘aql (akal) dan qalb (kalbu/hati), dan (3) pancaindera. Sedangkan proses memeroleh ilmu dalam Islam terkait erat dengan peran jiwa manusia dan diperoleh melalui beberapa sumber, yaitu persepsi indera, akal sehat (ta’aqqul), dan institusi serta berita yang benar (khabar shadiq). Dalam epistemologi Islam, wahyu Allah SWT yang terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah merupakan sumber ilmu tertinggi sehingga scientific value (nilai ilmiah) dari wahyu tersebut di letakan pada tempat yang mestinya dan tidak boleh “diceraikan” dari sains atau ilmu. Menurut Professor al-Attas, epistemologi Islam menekankan pentingnya intuisi dalam perolehan ilmu melalui proses iluminatif. Menurutnya, Intuisi ini adalah pekerjaan dari qalb (hati).[6]
Dalam bahasa yang sederhana, hati (qalb) juga sumber yang memiliki peranan penting bagi kawula muda dalam memperoleh ilmu dan mengamalkannya. “Dengar hati nurani mu” misalnya, sebuah nasehat yang acapkali didengar oleh kita. Meskipun hati nurani tidak sama maknanya dengan intuisi, tetapi keduanya adalah hal yang saling berhubungan. Intuisi akan “hidup” bersamaan dengan hati nurani yang “hidup”. Artinya, pertimbangan atau penilaian hati nurani adalah hal yang mesti dipedulikan oleh kawula muda dalam segala aktivitas yang tentunya tak terlepas dari ilmu, termasuk ketika berada di jagat maya.
Di awal tulisan ini, ada persoalan-persoalan yang sebetulnya juga bisa disolusikan manakala kawula muda memahami hati atau intuisi sebagaimana yang tertuang dalam nash dan penjelasan cendekiawan muslim. Ia lebih dari “suara” hati, yang selalu condong pada kebaikan-kebaikan. Problem tauladan seperti pengidolaan boy band korea diatas, lalu pornografi, dan dampak negatif lainnya didalam jagat maya yang dengan sadar atau tidak sadar akan kehadirannya sudah lebih dulu hati atau bahkan intuisi “mengetuk” akan selalu berhati-hati. Kemauan dan kemampuan “menghidupkan” hati dan intuisi selalu urgent untuk dilatih dimana pun dan kemana pun.
Islam mengajarkan umat manusia untuk menjaga kebersihan dan kesucian hati. Bahkan hati harus dijaga dari macam-macam penyakit hati yang merusak manusia. Syekh Ibnu Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam menerangkan tanda matinya hati seseorang. “Salah satu tanda matinya hati yaitu jika tidak merasa sedih atau susah karena ketinggalan melakukan suatu amal perbuatan baik dan kewajiban. Serta tidak menyesal jika telah berbuat dosa atau perbuatan melanggar.” (Syekh Ibnu Atha’illah dalam Al Hikam)
Wallahu a’lam bish showab.
Penulis: Taufiq Hidayat
[1] Andi Wiratama. 2009. “Konsep Pendidikan Islam dan Tantangannya Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Jurnal At-Ta’dib Vol. 5. No. 1 Shafar 1430.
[2] Mohammad David El Hakim, Eni Fariyatul Fahyuni. 2020. “Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed Naquib Al-Attas dan Relevansinya bagi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia”. Islamika: Jurnal Keislaman dan Ilmu Pendidikan.
[3] Abdul Ghoni. 2017. “Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer”. JURNAL LENTERA: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi Volume 3 Nomor 1.
[4] Lailah Alf. 2018. “Konsep Ilmu Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Analisis buku Islam dan Filsafat Sains)”. TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 2 No. 2.
[5] Dinar Dewi Kania. 2012. “Konsep Aql dan Qalb dalam Perspektif Islam”. Artikel publikasi INSISTS.
[6] Ghazi Abdullah Muttaqien. 2019. “Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas Tentang Islamisasi Ilmu”. JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol. 4 No. 2.