Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904) memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang disebut sebagai ’emansipasi’. Apakah sama emansipasi dengan feminisme?
Wartapilihan.com, Jakarta –Direktur Eksekutif INSISTS, Henri Shalahuddin menjelaskan, emansipasi dan Feminisme adalah dua hal yang berbeda. Pasalnya, menurut Henry, pendidikan merupakan kebutuhan dasar sehingga berbeda dengan kesetaraan gender yang notabene memandang laki-laki dan perempuan tidak boleh bersifat hirarkis, melainkan harus setara dalam segala aspek.
“Emansipasi tidak bisa disamakan dengan feminisme. Pendidikan adalah kebutuhan dasar. Aktivis feminis beda. RA Kartini hanya menginginkan perempuan untuk sekolah, diberi kebebasan pada saat dipingit. Dipingit itu bukan berarti menghapuskan hak-hak,” ungkap Henry, di Gedung Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu pagi, (9/9/2017).
Sebelum penjajah datang, Henri mengatakan, perempuan di Indonesia baik-baik saja. “Memang ada permasalahan sosial yang dinamis, dari satu zaman ke zaman lain. Tetapi yang diperjuangkan pada saat itu adalah hak-hak dasar,” tandas dia.
Ia memaparkan, selama ini sebetulnya ada kesalahan dalam memahami perjuangan RA Kartini. Kaum feminis selalu ‘mengklaim’ bahwa peringatan hari Kartini merupakan simbol pengarusutamaan gender.
“Saya kira ada kesalahan dalam memahami perjuangan RA Kartini, sehingga setiap kali memperingati lebaynya bukan main. Untuk mengokohkan kesetaraan gender, untuk mengokohkan kepentingan elit perempuan (feminis). Padahal tidak demikian,” tutur Henry.
Lelaki yang fokus pada studi gender ini menegaskan, ada distorsi yang mendasar terhadap perlakuan terhadap hari Kartini yang biasanya diperingati pada 21 April yang merupakan tanggal lahir RA Kartini.
“Setiap 21 April memperingati, yang selalu dipakai kondean, kewanitaan, anak-anak TK SD dilipstik. Kalau RA Kartini bangkit dari kubur marah dia. Pasti marah. Karena bukan begitu. Jadi saya kira banyak distorsi,” imbuhnya.
Ia menyayangkan, isu pengarusutamaan gender ini sudah menjadi program pemerintah. Dengan kata lain, melibatkan perempuan sebagai bagian dari pembangunan. Padahal, tugas utama perempuan adalah melengkapi laki-laki agar tercipta keluarga yang harmoni.
“Sekarang repotnya, di satu sisi pengarusutamaan gender sudah menjadi program pemerintah, sudah jadi SK presiden untuk diintegrasikan dalam semua pembangunan. Semua pembangunan harus melibatkan perempuan,”
“Memang kesetaraan gender bisa diterapkan untuk Indonesia yang beragam. Kalau kita mau mengambil nilai feminisme, kita ambil saja yang budayanya cocok dengan Indonesia,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini