Elly Risman: Sifat Iri Muncul dari Komunikasi yang Salah

by
Foto: Yayasan Kita dan Buah Hati

Pernahkah Anda melihat seseorang yang iri pada Anda? Atau, bahkan Anda yang diirikan oleh orang lain. Mengapa sifat iri bisa muncul pada diri seseorang ketika dia dewasa?

Wartapilihan.com, Jakarta –-Menurut Elly Risman selaku pakar parenting, sifat iri atau tidak suka jika orang lain senang disebabkan ketika masih kecil mengalami pola komunikasi yang keliru. Komunikasi yang keliru ini terejawantah dalam kekerasan kata dan juga emosi.

“Pola komunikasi yang keliru melemahkan konsep diri seseorang. Biasanya, orang dengan konsep diri negatif memandang dirinya sendiri (self image) dengan kaca mata negatif,” kata Elly, Jum’at, (23/2/2018), di Facebook Yayasan Kita dan Buah Hati.

Implikasinya, ada suatu perasaan tidak berharga, merasa tidak mampu, merasa tidak layak, merasa sebagai korban keadaan, merasa sebagai korban atas perbuatan orang lain, merasa layak diperlakukan buruk oleh orang lain, dan pola pikir negatif lainnya.

“Hal ini dikarenakan harga dan kepercayaan diri anak hancur karena komunikasi yang keliru membuat alam bawah sadar anak merekam bahwa kehadiran dirinya di dunia tidak diterima oleh orangtuanya,” lanjut Elly.

Selain hal di atas, pola komunikasi yang keliru dapat membuat anak sulit diajak kerjasama. Ada anak yang merespon dengan diam dan tidak peduli atau melawan dan menentang.

Ketika seorang dewasa iri atau tidak stabil jiwanya, menurut dia, hal ini dikarenakan batang otak mereka terlalu sensitif. Sudah pernah kita bahas sebelumnya, bahwa mekanisme kerja batang otak adalah refleks “menyerang” atau “kabur”.

“Mekanisme ini diciptakan Tuhan sebagai mekanisme pertahanan diri. Jika orangtua terbiasa dengan komunikasi yang keliru, anak akan merasa tidak nyaman dan alam bawah sadarnya akan mengaktifkan mekanisme pertahanan diri di batang otak. Jika komunikasi keliru ini berulang, batang otak akan terlalu sensitif, perilaku refleks pun muncul tanpa pemikiran mendalam,” terangnya.

Elly mengatakan, anak yang diasuh dengan pola komunikasi yang keliru besar kemungkinan tidak optimal dalam memanfaatkan kemampuan berfikirnya karena tidak terbiasa memilih dan mengambil keputusan bagi diri sendiri. Terlebih bagi anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan otoriter.

“Maka coba lihat ke diri kita juga, apakah tumbuh menjadi anak yang bahagia, percaya diri, kritis, dan cerdas? Ataukah lebih cuek, mudah marah, atau takut mengambil keputusan? Makna dari komunikasi yang berlangsung selama ini akan nampak dari bagaimana reaksi yang kita terima sekarang,” tandasnya.

Memperbaiki Pola Komunikasi

Setiap manusia pada dasarnya memiliki cara berpikir dan pengalaman yang berbeda, yang berdampak pada persepsi yang berbeda dalam memandang sesuatu. Kendati demikian, untuk saling memahami satu sama lain ialah dengan melakukan komunikasi yang baik dan benar.

“Kita butuh melakukan komunikasi untuk mematangkan Prefrontal Cortex anak kita melalui mengajarkan nilai-nilai, menegaskan hal ini benar atau salah, baik atau buruk, melatihnya berpikir, memilih, dan mengambil keputusan. Komunikasi membentuk wiring di otak sehingga apa yang kita ajarkan akan menjadi kebiasaan dan kenangan,” tutur Elly melanjutkan.

Untuk membentuk keluarga yang solid dan saling bekerjasama juga jelas membutuhkan komunikasi. Seringkali masalah yang terjadi di kehidupan, keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan masyarakat, muncul karena miskomunikasi. “Dan rupanya dapat diselesaikan hanya dengan komunikasi yang baik dan dua arah,”

Dalam konsep Johari Window, sebuah konsep yang dikemukakan oleh dua psikolog Amerika, Joseph Luft dan Harrington Ingham dikatakan, dalam setiap diri manusia ada empat hal, (1) Area terbuka, yaitu hal yang kita tahu dan orang lain tahu, (2) Area tersembunyi, dimana ada hal yang kita tahu dan orang lain tidak tahu, (3) area buta, yakni ada hal yang kita tidak tahu tapi orang lain tahu, dan (4) area tidak diketahui, dimana kita dan orang lain sama-sama tidak tahu.

“Kita semua pasti pernah melakukan kesalahan karena hal-hal yang terjadi di area tersembunyi. Oleh karena itu kita juga membutuhkan komunikasi untuk membantu pasangan, anak, sahabat, dan keluarga kita mempersempit area tersembunyi dan memperlebar area terbuka dalam diri mereka agar kita sama-sama dapat mengurangi kemungkinan melakukan kesalahan karena ketidaktahuan atas sesuatu yang ada pada diri kita masing-masing,” terang Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati ini.

Indikator Komunikasi yang Baik

Salah satu indikator Komunikasi yang baik antara orangtua dan anaknya ialah sang anak terbuka kepada orangtua, mulai dari
bercerita mengenai keseharian dan bertanya hingga hal ‘tabu’ hanya dapat dilakukan anak kepada orang yang sangat dipercaya. “Memang lidah kelu dan perlu putar otak lebih kencang ketika anak bertanya, tak perlu buru-buru memberi jawaban, namun pastikan ia akan terus bertanya pada kita orangtuanya,” tutur Elly.

Tantangan dunia saat ini menurut Elly begitu dahsyat. Jika bukan orangtua yang menjadi teman terdekatnya, bisa jadi ia berteman dengan dunia luar yang bebas nilai. “Tante TV yang mencontohkan hal tidak mendidik, paman Google yang memberi jawaban berlebihan tanpa melihat usia dan batasan pertanyaan, atau teman sebaya yang sama-sama dalam masa pencarian dan belum memiliki pemahaman yang utuh,” tekannya.

Maka Elly menyarankan, orangtua perlu menjadi ‘mesin penjawab’ pertanyaan anak-anak kita. Perlu juga untuk menunjukkan padanya bahwa anak aman bertanya apa saja kepada orangtuanya.

“Pertanyaannya mungkin akan satu saja, tapi diulang-ulang terus hingga 70 kali sehari. Bosen? Sabar adalah pembuluh darahnya orangtua, bukan?” Pungkas Elly.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *