Ekonom Prediksi Stok Pangan Aman sampai Juli 2020

by
Prof Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung

Mewabahnya pandemi Covid-19 berpotensi terjadi krisis di berbagai sektor, salah satunya krisis pangan. Peringatan krisis pangan global ini disampaikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), karena menurunnya akses pangan masyarakat, bukan karena lonjakan harga pangan yang tajam.

Wartapilihan.com, Jakarta— Bahkan, menurut Lembaga Penelitian Pangan Internasional (IFPRI), pandemi Covid-19 akan menyebabkan kontraksi pertumbuhan global minus 5 persen (IFPRI, 19 April 2020). Kelompok masyarakat menengah bawah atau negara-negara berpenghasilan menengah rendah rentan menjadi miskin dan rawan pangan, karena faktor akses pangan ini.

Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya memiliki ketahanan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Menurut UU 18/2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.

Demi memenuhi ketahanan pangan, maka keamanan pangan adalah suatu keniscayaan yang harus terpenuhi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.

Dalam UU 18/2012, menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila), Prof Bustanul Arifin, ada empat dimensi formal ketahanan pangan. Pertama, ketersediaan yang meliputi produksi, distribusi, cadangan pangan (iron stock, buffer stock), dan operasi pasar. Kedua, aksesibilitas berupa akses pangan, kaum miskin/marginal, keterjangkauan, tanggap bencana, dan keseimbangan gender.

Ketiga, stabilitas (harga) yang mencakup antar daerah, antar waktu, antar pelaku, dan manajemen cadangan (ketersediaan dan akses). Keempat, utilisasi berupa proses pengolahan, pengindustrian, pemanfaatan, keamanan pangan, kualitas pangan, BBSA (beragam, bergizi, seimbang, dan aman) serta ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal).

Adapun kerentanan kerawanan pangan dapat terjadi karena tiga hal, yaitu bencana alam terkait iklim, variabilitas curah hujan dan kehilangan produksi pangan. Bagi masyarakat Indonesia, beras masih dijadikan barometer ketersediaan pangan, walaupun Indonesia memiliki sumber karbohidarat alternatif seperti ubi kayu, ubi jalar, ganyong, gembili, sagu, dan lain-lain.

Sayangnya, menurut Bustanul, stok pangan pokok beras hanya aman sampai bulan Juli 2020. Dia merincikan, luas panen per Maret 2020 ada 1,2 juta hektar yang diperkirakan menghasilkan Gabah Kering Giling (GKG) menjadi 6,27 juta ton atau setara 3,59 juta ton beras (kumulatif 5,81 juta ton dari Januari).

“Nah, konsumsi beras bulanan itu 2,56 juta ton dengan kumulatif 7,50 juta ton. Maka, prediksinya neraca beras Maret 2020 mulai positif, surplus 1,04 juta ton,” ujar Prof Bustanul kepada Risalah belum lama ini.

Lebih lanjut, Dewan Komisioner dan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini menyebutkan, neraca beras akan aman sampai Juli 2020 dengan proyeksi produksi beras tiga bulan ke depan (April-Juni) sekitar 11 juta ton beras. Ini setelah dikurangi konsumsi dan ditambah carry over stock bulan sebelumnya, maka akhir Juni 2020 akan ada surplus beras 7,71 juta ton.

“Tapi, titik kritis beras akan terjadi pada akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021, karena panen gadu (padi yang dipanen pada musim kemarau) maksimal hanya 35 persen dari total,” katanya.

Sementara, jelas dia, laporan data dari para petani, pedagang, dan beberapa mantan kepala dinas, harga gabah di petani cukup tinggi, yaitu Rp4.900/kilogram di Jawa Timur dan Rp5.000/kilogram di Sumatera Utara. Karenanya, Bustanul merekomendasi pemerintah agar melakukan impor beras untuk mengisi stok penyangga. “Ya, setidaknya ada persediaan di atas 1,5-2 juta ton di Bulog,” katanya.

Berkaitan dengan harga, wakil ketua umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) ini menjelaskan, ada empat tantangan stabilisasi harga beras ke depan. Pertama, kebijakan baru stabilisasi harga beras dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Untuk Gabah Atau Beras pada pada 16 Maret 2020. Peraturan tersebut mulai berlaku pada 19 Maret 2020 dengan tujuan mengoptimalkan penyerapan gabah dan beras di tingkat petani.

“Kebijakan baru ini pengganti dari Inpres (Instruksi Presiden) nomor lima tahun 2015 (tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah). Ini tantangan stabilisasi tersendiri ke depan,” ujar dia.

Tantangan kedua, harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) dinaikkan menjadi Rp4.200/kilogram, gabah kering giling (GKG) menjadi Rp4.250/kilogram dan beras menjadi Rp8.300/kilogram. Namun, harga di pasaran jauh lebih tinggi.

“Ditambah, ketiga, sejak pandemi Covid-19, permintaan beras dari lapangan sangat tinggi, terutama dari instansi pemerintah, Pemda, swasta, Ormas, dan lain-lain. Ini patut kita apresiasi sebagai bentuk solidaritas bantuan kepada warga terdampak Covid-19,” ujarnya.

Dengan begitu, maka pola perdagangan sedang berubah, karena fenomena bantuan sosial ini dan sangat mungkin akan menaikan harga serta keseimbangan beras yang baru. Maka Bustanul merekomendasi agar stok beras gudang harus tetap ada dan manajemen stok aman.

“Selain itu, aliran barang antarkota dan perdagangan antarpulau tidak boleh terganggu. Petugas juga tidak boleh berlebihan dalam PSBB (pembatasan sosial berskala besar),” tuturnya.

Harga Beberapa Pangan Turun, tapi Stabil Tinggi

Bustanul menjelaskan, sampai 20 April 2020, harga eceran beberapa komoditas pangan turun dibanding harga Maret, kecuali gula, bawang merah, dan beras. Harga gula naik 1,67 persen menjadi Rp18.950/kilogram, lebih rendah dari kenaikan dua bulan 22,90 persen dan dari kenaikan satu tahun 35,69 persen.

Sementara, harga bawang merah naik 6,58 persen jadi Rp43.750/kilogram, lebih rendah dari kenaikan dua bulan 17,77 persen dan dari kenaikan satu tahun 6,71 persen. Adapun harga beras stabil, hanya naik tipis 0,42 persen selama satu bulan dan 0,84 persen selama dua bulan. Harga beras naik 2,14 persen dari harga April 2019.

“Mengapa kontribusi harga pangan pada laju inflasi Maret 2020 cukup rendah? Karena harga pangan berada pada posisi stabil tinggi,” jelas Bustanul.

Ia memberikan rekomendasi, jika mengambil pelajaran dari bawang putih, di mana 95 persen tergantung impor, maka stabilisasi harga pangan dapat diselesaikan melalui peningkatan governansi administrasi Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Surat Perizinan Impor (SPI).

Titik Kritis Gula: Administrasi Impor Menentukan

Bustanul memaparkan, produksi gula pada tahun 2019 mengalami peningkatan menjadi 2,23 juta ton dibanding tahun sebelumnya 2018, yaitu 2,17 juta ton. Konsumsi gula diperkirakan konstan pada 6 juta ton, walaupun konsumsi gula industri naik, impor gula mentah (rafinasi) juga naik.

“Ekskalasi harga gula selama April 2020 sangat tinggi, Rp18.250/kilogram, sangat jauh dari harga ideal Rp12.500/kilogram. Gula bahkan langka di pasar modern dan pasar tradisional, sehingga dapat memicu ekspektasi negatif,” ujarnya.

Menurut dia, keterlambatan keputusan impor gula kristal mentah (GKM) untuk industri gula rafinasi menjadi determinasi suplai gula di pasar. Jika pun produksi gula naik lagi pada 2020, hal ini dimungkinkan karena perbaikan teknik budidaya dan pengolahan pabrik serta musim giling yang akan terjadi pada Juni-Juli.

“Artinya, titik kritis ketersediaan gula terjadi pada April-Mei-Juni, apalagi jika urusan administrasi impor gula terus mengalami hambatan,” jelasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *