Dr. Isa Multazam: Candu Gadget Bagai Lingkaran Setan

by
Sumber: http://porosberita.com/wp-content/uploads/2015/05/Anak-anak-dan-ponsel-atau-HP.jpg

Gadget yang memberikan berbagai kemudahan dalam kehidupan ternyata di sisi lain memberi dampak buruk bagi anak, yakni candu yang berpotensi menular pada candu lainnya.

Wartapilihan.com, Jakarta — Seorang psikiater anak dan remaja, dr. Isa Multazam Noor, MSc, SpKJ(K) mengatakan, candu terhadap gawai (gadget) bagaikan lingkaran setan. Pasalnya, candu terhadap gawai merupakan ‘pintu masuk’ bagi candu yang lainnya.

“Kecanduan gadget bagaikan sebuah lingkaran setan, karena dengan kemudahan yang ditawarkan gadget, bahaya lain yang sedang mengintaipun seperti memiliki celah untuk masuk, yaitu: cyber bullying, bully (perseteruan) di media sosial, masalah keluarga atau suami-istri, sampai bunuh diri,” ujarnya.

“Bentuk kecanduan lain yang diperantarai oleh kecanduan gadget di atas, seperti: kecanduan selfi (swafoto), kecanduan wefie (swafoto kelompok), kecanduan media sosial (posting, eksis, dan tampil narsis), kecanduan games, kecanduan internet, kecanduan belanja online (shopaholic), kecanduan berjudi (judi patologis), kecanduan masturbasi akibat konten pornografi, kecanduan video porno, bahkan sampai pada kecanduan seks,” ungkap dr. Isa, seperti yang ia tulis dalam Selasar.com, Ahad, (20/8/2017).

Ia menerangkan, kecanduan dalam istilah medis disebut dengan “adiksi.” Individu yang mengalami adiksi, menurutnya, biasanya tidak sadar diri bahwa perilakunya itu telah mengakibatkan masalah pada individu tersebut atau anggota keluarga lain. Individu ingin selalu dan berulang-ulang melakukan hal itu padahal keluarga telah begitu mengkhawatirkannya. “Individu akan menjadi kesal atau frustrasi apabila tidak dapat melakukan hal yang di inginkannya itu,” paparnya.

Psikiater Anak di Institute of Mental Health, Addiction, and Neuroscience (IMAN) ini mengatakan, seseorang dapat menjadi kecanduan gawai manakala aktivitas swafoto (selfie) dilakukan dengan frekuensi berlebihan, serta keinginan mendapatkan perhatian dari komunitas media sosialnya.

“Bahkan sampai muncul perasaan frustrasi bila tidak memperoleh ‘like’ atau sedikit yang ‘nge-like’ atau retweet komentar dari anggota lain di jejaring sosialnya. Sebuah berita di internet bahkan pernah melaporkan seorang remaja perempuan yang bunuh diri karena akun media sosial miliknya yang telah memiliki banyak pengikut (follower) ditutup oleh orangtuanya,” papar dr Isa prihatin.

Ia juga prihatin terhadap unggahan video terbaru dari perilaku anak perempuan yang kecanduan tarian lagu Despacito yang telah di-like oleh jutaan orang. “Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bagi orangtua dalam menyaring konten yang sedang viral dalam perangkat gadget, khususnya media sosial bagi perkembangan jiwa anak dan remaja mereka,” tutur dia.

Menurutnya, adiksi atau kecanduan gadget tentu pada akhirnya akan berujung pada permasalahan kesehatan jiwa, yakni gejala toleransi (peningkatan intensitas aktivitas penggunaan gadget untuk merasakan efek yang sama), gejala withdrawal (putus pemakaian gadget) dan gejala dependent (ketergantungan dengan aktivitas terkait gadget). “Gambaran psikologis yang tampak akibat kondisi diatas adalah masalah emosional: rasa cemas apabila tidak bersama gadget atau depresi (tertekan) bila tanpa gadget,” ungkap dia.

Maka dari itu, orangtua perlu melakukan kontrol terhadap anak, seperti membuat jadwal terstruktur pada kegiatan harian, pengalihan kegiatan positif, seperti aktivitas olahraga, klub seminar dan hobi yang menyenangkan dengan niat kuat untuk menurunkan ketergantungan.

“Sebagai orangtua tentunya dapat memberikan kontrol dan mengenali aktivitas anak dan remaja saat berselancar di dunia maya atau saat menggunakan telepon pintar. Prinsipnya, orangtua harus tahu aturan usia ketat dalam penggunaan media dan pertemanan dalam jejaring sosial,” imbuh Psikiater Anak di Rumah Sakit Mental di Jakarta ini.

“Pilihan berupa program “diet gadget atau digital” dapat mulai dikembangkan. Diet digital berupa penetapan waktu bebas gadget atau gadget free time yang kemudian ditingkatkan intensitasnya dengan metode ‘gadget free day’,” sarannya.

Selain upaya kontrol, dr Isa menekankan, orangtua berperan menjelaskan, bahwa media sosial bukan dinding curhat bagi anak dan remaja. Justru peran orangtualah yang paling penting dalam mengenali problematika remaja (galau, baper, bikes) yang sedang dialami oleh anak mereka. “Orangtua dapat berposisi sebagai teman yang bisa mengerti dalam upaya membina hubungannya dengan remaja yang sedang bergejolak dalam proses pencarian jati diri. Orangtua harus peka dan membawa kembali ke dunia nyata apabila anak mereka tampak terlihat aktif di dunia maya,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *