Wartapilihan.com, Jakarta – Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait rancangan undang-undang terorisme tidak pernah menemukan titik temu sejak Agustus 2016 saat Kapolri, Tito Karnavian membahas RUU Terorisme dengan Panitia Kerja (PANJA) DPR RI. Hari ini, Rabu (22/3), Pemerintah dari unsur Kemenkumham, TNI dan Polri membahas finalisasi RUU Terorisme.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham, Prof. DR. Enny Nurbaningsih mengatakan, rancangan undang-undang terorisme ini ditujukan untuk pencegahan, penindakan dan pasca. “Korban terorisme akan kami buatkan definisi sesuai DIM yang ada. Apakah ini diatur dalam definisi atau ketentuan pasal. Sehingga nanti jelas kompensasi, restitusi dan rehabilitasinya,” jelas Prof. Enny di Ruang Rapat Komisi VIII DPR, Senayan, Jakarta.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284).
“Ada penambahan-penambahan baru terkait penentuan sesuai kebutuhan di dalam rancangan yang diajukan. Tergantung pasal-pasal yang nanti ditarik ke ketentuan umum. Termasuk soal pengawasan, Presiden menyampaikan ke semua elemen struktural tidak boleh membentuk lembaga baru, hanya unsur-unsurnya yang harus diperbaiki,” imbuhnya.
Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
2. Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil,
militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau
Korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum, termasuk yang berada di luar negeri.
4. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik
dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan
menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang,
termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
5. Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum
berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik
dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik
atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang
atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki
seseorang atau masyarakat.
6. Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah Republik Indonesia
dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
7. Perwakilan Negara Asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler
asing beserta anggota-anggotanya.
8. Deradikalisasi adalah proses tindakan yang dilakukan dengan tujuan
agar orang perseorangan atau kelompok orang tidak melakukan
perbuatan atau pemikiran yang menuntut suatu perubahan yang
diungkapkan secara keras atau ekstrim yang mengarah pada Tindak
Pidana Terorisme.
9. Organisasi Internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup
struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi
internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau
organisasi yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
10. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
11. Obyek Vital yang Strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang
mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, dan pertahanan serta
keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional.
12. Fasilitas Publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum.
13. Bahan Peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis
mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan
peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk
menimbulkan ledakan.
Dalam kesempatan sama, Mantan Gubernur Lemhannas Prof. Muladi menuturkan, definisi terorisme sangat kontroversi karena selalu mengandung 4 hal, yaitu menentukan sah atau tidaknya penggunaan kekerasan, ditujukan kepada siapa tindak kejahatan tersebut, apa yang dituju, dan apa tujuannya.
“Pada umumnya definisi terorisme itu sistematis, sengaja dan terencana. Sistem adalah suatu perilaku yang sama dari bagian-bagiannya. Setiap bagian tersebut ada transformasi nilai dan pengendalian yang sama. Semua perbuatan jahat, percobaan dan perbantuan dalam konteks terorisme pidananya sama,” terangnya.
Dalam sebuah artikel yang Prof. Mulyadi dapat, Indonesia dikritik sebagai negara yang memudahkan aktifitas teroris.
“Di Malaysia teroris bisa dihukum sangat berat, kalau kita hanya program deradikalisasi baik untuk tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana, keluarganyadan/atau orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme,” tukas dia.
Pimpinan Panja RUU Terorisme, Hanafi Rais mengatakan, substansi dari kegiatan terorisme adalah untuk mendelegitimasi negara baik dari aspek kedaulatan pertahanan maupun kemerdekaan.
“Kalau hanya mengkonsep teroris sekadar tindak pidana biasa, tentu kita terkaget gerakan terorisme di Indonesia sudah seperti gerakan di Filipina bagian selatan atau Thailand selatan, atau di kantong-kantong Myanmar, dimana tujuannya untuk mendelegitimasi negara. Sehingga perlu ada tim khusus yang mengkoordinasi apakah dari Kepolisian, TNI atau BNPT,” kata dia. |
Reporter: Ahmad Zuhdi