Wartapilihan.com, Brussels – Ahmed, remaja Belgia, masih mengingat perkataan bernada permusuhan yang ia terima dari gurunya di hari pertama ketika ia baru masuk sekolah olahraga pada September tahun lalu.
“Jika kamu akan meledakkan bom, peringatkan saya karena saya punya anak perempuan dan dia membutuhkan saya,” remaja kelahiran Maroko yang berusia 16 tahun itu masih ingat kata-kata gurunya yang dikatakan di depan teman-teman sekelasnya.
Pengalaman calon pesepak bola tersebut adalah contoh dari apa yang kelompok HAM mengatakan kenaikan pelecehan secara verbal dan fisik yang diarahkan kepada Muslim Belgia sejak pengeboman bunuh diri yang menewaskan 32 orang dan melukai ratusan lainnya di Brussels.
“Jauh di lubuk hati, itu menyakiti saya, tetapi saya tertawa kepada semua orang agar tidak terlihat,” kata Ahmed, namanya disamarkan oleh AFP karena masih di bawah umur, di rumahnya di Brussels.
Perkataan bernada permusuhan terus diterimanya selama di sekolahnya untuk atlet masa depan di Belgia selatan. “Semua itu karena asal-usul saya.”
Peningkatan insiden Islamofobia dilaporkan pada awal bulan setelah serangan bom bunuh diri, kata Unia, badan publik Belgia untuk kesempatan yang sama dan perjuangan melawan rasisme.
Fakta menunjukkan bahwa serangan itu dilakukan oleh laki-laki muda Muslim sehingga banyak dari mereka yang tinggal di distrik Brussels yang sebagian besar Muslim, seperti Molenbeek, memicu prasangka buruk.
Aktivis mengatakan, satu tahun kemudian, masalah malah semakin memburuk, bukannya memudar.
“Tindakan Islamofobia telah meningkat dalam jumlah dan keseriusan,” kata Hajib El Hajjaji, dari lembaga Kolektif terhadap Islamofobia di Belgia (CCIB).
Organisasi non-pemerintah ini mencatat, 120 insiden Islamofobia terjadi pada tahun 2016, termasuk 36 insiden di bulan yang sama saat tejadi serangan (Maret 2016).
Puncak Gunung Es
CCIB mencatat kasus ketika seorang pria memukul seorang wanita Muslim dengan tasnya dan melemparkan pelecehan verbal saat dia meninggalkan rumah sakit pada tanggal 23 Maret 2016.
Tempat kerja tidak terlindung dari “polarisasi masyarakat,” kata Direktur Unia, Patrick Charlier. Tahun lalu, jumlah insiden yang dimotivasi oleh ras atau agama meningkat sebesar 14 persen menjadi 91 persen, kata Unia.
Pelecehan berbau SARA juga terjadi dalam dunia olahraga.
Pesepak bola Perancis-Aljazair, Idriss Saadi, yang bermain di tim divisi satu Courtrai, meluapkan kemarahan di televisi ketika ia dipanggil “kotor Arab, kotor teroris” dari bangku penonton.
“Kami berada dalam era ketika kata-kata membawa sentimen tertentu. Ini sangat serius,” kata pesepak bola berusia 25 tahun itu.
“Kami hanya melihat bagian yang terlihat dari gunung es,” kata Hajjaji.
Banyak korban yang tidak melaporkan insiden yang dialaminya karena mereka telah “kehilangan kepercayaan pada polisi atau lembaga serupa,” katanya.
Namun, dia mengatakan, ada juga “gerakan persahabatan, keterbukaan, dan dialog.”
Kami Ingin Hidup
Menyusul aksi pengeboman di Brussels dan serangan di Paris empat bulan sebelumnya, pihak berwenang Belgia meluncurkan “Canal Plan” untuk melawan radikalisasi di Molenbeek dan lingkungan lainnya yang semuanya berada di sepanjang kanal industri di Brussels.
Rencana yang termasuk meningkatkan penyebaran pasukan keamanan juga menargetkan perdagangan narkoba sebagai sumber pendanaan terorisme.
Namun, Liga Hak Asasi Manusia Belgia mengatakan, permasalahannya adalah polisi menggunakan “profiling etnis” selama pemeriksaan yang ilegal.
“Perdana Menteri kami (Charles Michel) harus seperti Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, mengirim pesan positif pengakuan, menolak kebencian, dan menolak menyamakan Muslim dengan terorisme,” kata Hajjaji.
Dia mengatakan Kota Barcelona di Spanyol yang memiliki rencana untuk melawan Islamofobia adalah contoh yang baik.
Memperhatikan peningkatan ujaran kebencian dan populisme sayap kanan di Eropa, pihak berwenang di Kota Catalan pada bulan Januari meluncurkan sebuah proyek selama 18 bulan untuk memperbaiki citra Muslim, menampilkan keragaman agama, dan meningkatkan perang terhadap diskriminasi.
Ini visi yang didukung oleh ayah Ahmed, Zine El Aabedin.
“Kita tidak bisa menuduh seluruh masyarakat idiot telah memicu bom. Kami ingin hidup, menciptakan generasi yang bekerja untuk kebaikan Belgia,” katanya.
“Kami di sini bukan untuk meledakkan bom. Apakah Anda mengerti apa yang saya maksud?”
Demikian diwartakan AFP. I
Reporter: Moedja Adzim