Din Syamsuddin: MK Ahistoris

by
Foto:zuhdi

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.

Wartapilihan.com, Jakarta –Hal tersebut diatur dalam pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Din Syamsuddin mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyetujui aliran kepercayaan merupakan penghianatan konsensus nasional tahun 1978, yang  mengatakan kepercayaan bukanlah agama.

“Sebab, saat itu (tahun 1978), penafsiran Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, negara memberikan kebebasan untuk menjalankan ibadat sesuai agama dan kepercayaannya, karena ada pihak-pihak yang memiliki keinginan aliran kepercayaan dimasukkan. Tapi alhamdulillah fraksi-fraksi menolak,” ujar Din dalam rapat pleno ke-22 MUI di Jakarta, Rabu (22/11).

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menyesalkan bahwa masalah yang sangat kontroversial ini tidak di beritakan secara massif. Bahkan, Kementerian Agama tidak dilibatkan sebagai saksi dalam sidang tersebut. Padahal, pembahasan di MK selalu mengundang para saksi dari berbagai stakeholder.

“Memang putusan MK bersifat final dan mengikat, berbeda dengan MA (Mahkamah Agung), pihak yang keberatan bisa mengajukan PK (peninjauan kembali). Namun, apakah kita terima sebagai putusan final?,” tanyanya.

Selain itu, kata Din, para pendiri NKRI tidak pernah mengatakan aliran kepercayaan merupakan entitas baru. Pasalnya, sejak Tahun 1965, Indonesia hanya mengakui enam agama, meskipun agama lain diberikan keleluasaan untuk berkembang di Indonesia.

“Oleh karena itu, aliran kepercayaan bukanlah agama dan tidak dapat disamakan dengan agama. MUI menyesalkan keputusan MK secara diam-diam yang tidak melibatkan berbagai pihak dalam prosesnya. Kita menolak ada tafsir baru yang mengatakan aliran kepercayaan merupakan entitas. Jelas ini sangat ahistoris,” tegasnya.

Din menandaskan, umat Islam dirugikan dengan putusan tersebut dalam konteks kehidupan bernegara. Terlebih, lembaga yang diberikan mandat oleh pemerintah melakukan abuse of power terhadap tafsir Undang-Undang.

“Kalau kita mau betul-betul berpegang kepada empat pilar (demokrasi), kami akang mengawal. Ini kerugian umat Islam. Wantim tidak operasional. Kami akan menyerahkan hasil rapat ini ke Dewan Pimpinan termasuk komunikasi dengan pihak-pihak lain,” tandasnya.

Perwakilan dari PUI (Persatuan Umat Islam) menilai, upaya gugatan aliran kepercayaan merupakan kejahatan statistik. Dia mencontohkan, dalam konteks Jawa Barat terdapat pembenahan data kristenisasi di Jawa Barat sangat besar, padahal tidak demikian.

“Saya melihat ada kecenderungan untuk menurunkan dominasi umat Islam di Indonesia. Kita tahu, Islam masuk ke Indonesia melalui asimilasi budaya dan masih banyak praktek-prakek kemusyrikan,” ungkapnya.

Dia menginginkan, kelompok yang masih mempercayai kemusyrikan tersebut dikeluarkan dari Islam. Sehingga, umat Islam tidak mengklaim jumlah yang dominan.

“Kita tidak terima ada keputusan MK yang tidak melibatkan stake holder. Bagaimana penegakan hukum di Indonesia kalau seperti itu,” tegasnya.

Senada hal itu, Ketua Umum Bakomubin Ali Mukhtar mempertanyakan sikap MK yang tidak mendatangkan tujuh elemen. Diantaranya anggota legislatif representasi ulama, ahli bahasa, Kementerian Agama.

“Oleh karena itu, sebagai warga negara, keputusan ini dapat mencederai umat Islam dan keputusan MPR tahun 1978. Saya mengusulkan, agar terbentuk satu keputusan jalur hukum secara konstitusional,” paparnya.

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Mohammad Siddik menyarankan agar setiap Ormas memberikan surat keberatan atas putusan MK tentang aliran kepercayaan kepada Presiden, Mahkamah Konstitusi, Kemendagri, dan Mahkamah Agung dengan tembusan Majelis Ulama Indonesia.

“Saya mengusulkan, semua organisasi yang tergabung dalam MUI menyampaikan surat kekecewaan kepada Presiden, saya yakin ada jalan keluar,” pungkasnya.

Sebagai informasi, pada Tahun 1990, Umat Islam berjumlah sekitar 90 persen. Namun, pada 2010 menurun menjadi 87,8 persen. Aliran kepercayaan saat itu dikembangkan oleh Sayyid Husen dengan nama aliran kebatinan. Di Pulau Jawa, aliran kepercayaan berkisar di antara 80 persen yang disebut dengan Sufisme Jawa. Namun, aliran kebatinan saat itu tidak dapat diakui MK, sehingga di rubah dengan nama aliran kepercayaan.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *